Satu bulan kemudian.
Di pagi hari yang cerah, Layla sudah disibukkan dengan kegiatan membuat kue. Di samping itu, hari ini ia yang mengurus semua keperluan dapur dikarenakan sang ibu tengah sakit. Dan kini, Layla keluar dari rumahnya menuju gerobak sayur yang berhenti di depan rumahnya. Terlihat sayuran hijau yang masih segar berkilauan terkena sinar matahari pagi membuat Layla tergiur untuk memasak semua sayuran segar itu. Tak lama kemudian, segerombolan ibu-ibu ikut menghampiri gerobak sayur dan mulai memilih-milih belanjaan mereka. Seperti biasa, mereka memilih sambil berbincang-bincang dan bercanda, namun Layla hanya diam dan sesekali mendengarkan. "Seger banget ya terongnya, mana gede-gede." Sahut seorang perempuan paruh baya yang wajahnya tebal akan riasan make up. Bibirnya yang merah menyala terkikik geli seraya memperlihatkan terong ungu yang berukuran besar dan panjang itu ke arah ibu-ibu di sampingnya. Layla sendiri tengah memilih-milih sayuran di seberangnya. Janda muda itu masih kebingungan dan tengah berpikir akan masakan apa yang hendak ia masak nanti. "Nih Layla terongnya, kamu pasti suka kan..." ujar Bu Nelly, perempuan tadi seraya melambai-lambai terong itu di atas. Layla menoleh sejenak dan tersenyum tipis seraya menggeleng. "Suka lah mana besar-besar ya..." Timpal ibu-ibu lainnya. Layla pun akhirnya menjawab, "Gak bu, lagi gak pengen makan terong." "Masa gak pengen... Kamu gak kangen makan terong emang?" tanya Bu Nelly sambil cekikikan. Layla yang terlampau serius, menanggapinya dengan gelengan kepala. Dirinya memang tidak sedang ingin memasak terong. "Dari tadi pilih-pilih terus, gak lihat apa yang lain juga pada mau beli?" tanya seorang ibu-ibu dengan gamis besarnya, menatap Layla dengan tatapan sinis dan mulut mencibir. "Yang lain juga lagi pilih-pilih kan bu?" timpal Layla menghentikan tangannya yang hendak meraih sebungkus tomat. "Saya beli iga aja 2 bungkus, tomat, bombay, sama telur puyuh masing-masing satu bungkus, pak." ujar Layla sembari menyerahkan belanjaannya secara asal ke arah tukang sayur untuk dihitung. "Banyak duitnya ya, Layl? Dari kemari aja beli paket terus!" tanya Nelly yang memiliki alis hitam tebal. Ia menatap belanjaann Layla yang lumayan wah. Ia sendiri sedang kebingungan hendak membeli apa dengan uang lima belas ribu-nya. Bu Erni, yang memakai hijab kebesaran itu menatap Layla semakin mencibir, "Masa? Dia kan lagi usaha bikin bolu, wajar kan dia punya penghasilan. Mau beli apa aja terserah dia." sahutnya menggebu-gebu, nampak suara akan ketidaksukaannya. "Halahh... Pesanan baru sedikit aja sok pamer beli ini itu!" Timpal Bu Tiwi, pensiunan PNS yang baru saja menghampiri gerobak tukang sayur. "Hush... Pak Usman kan baru jual tanah, wajar aja lagi banyak uang " bisik ibu-ibu lainnya kepada Bu Tiwi, namun masih terdengar di telinga Layla. Layla sendiri mengetuk-ngetukkan jarinya di pinggiran gerobak menunggu belanjaannya selesai dihitung. Berharap tukang sayur yang sudah sepuh itu segera menyelesaikan hitungannya. "Eh Layla, tanah yang di Legok emang udah ke jual ya?" tanya Bu Tiwi kepada Layla yang seakan ketinggalan berita penting. "Iya bu Alhamdulillah. Saya duluan ya, bu ibu." jawab Layla segera setelah belanjaannya dibayar. Ia lantas pergi meninggalkan kerumunan ibu-ibu yang semakin riuh membicarakan dirinya, atau hal lainnya. Layla menghembuskan nafas jengah, menaruh kresek belanjaannya ke atas meja makan lalu mengambil segelas air. Berinteraksi dengan ibu-ibu tetangga rumahnya memang selalu membuatnya selalu mengucapkan istigfar dalam hati. Memang benar apa kata ibunya, kalau belanja di pasar lebih enak ketimbang belanja di tukang sayur keliling depan rumahnya. Meskipun jarak rumah ke pasar lumayan hauh, namun harga jual di pasar lebih murah dan tentunya tak perlu berbasa basi apalagi mendengar gibahan serta sindiran tetangga yang tak menyukainya. Namun Fatma yang hari ini terserang flu membuat ia tak bisa beranjak dari kasurnya. Alhasil, Layla sendiri yang keluar untuk membeli bahan untuk masakan. Layla sendiri tak ingin pergi ke pasar karena sedari subuh tadi ia sudah mulai membuat adonan bolunya. Dan tak mungkin meninggalkan pekerjaannya terlalu lama. Layla tak ingin terlalu memikirkan ucapan-ucapan tetangganya itu, lebih baik ia segera memasak sembari menunggu bolu panggangnya matang. Hari ini Layla memasak sop iga yang baru saja dibeli. Ibra sendiri sedang dibawa Usman bermain ke anak sepupunya yang tak jauh dari komplek rumahnya. Dan Layla bisa sedikit tenang karena ada sang ayah yang mengasuh anaknya. 30 menit kemudian, Layla yang telah menyelesaikan masakannya menerima panggilan telepon dari Yasmin. Layla pun mengangkat panggilan itu segera. Terdengar sapaan hangat dari Yasmin, sang kakak ipar. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Ada apa ya?" tanya Layla ramah. "Layla, maaf ya sore kemarin mbak gak bisa temuin kamu, soalnya mbak ke klinik periksa Adnan yang lagi demam." Seketika Layla kembali teringat kejadian kemarin sore dimana ia sedang mengantar kue pesanan kakak iparnya. Waktu itu, ibu mertuanya-lah yang menerima pesanan Yasmin, wajahnya nampak muram. Tidak ada uluran tangan, atau pelukan terbuka bagi dirinya. Dirinya seperti orang asing yang tak dikenal. "Iya mbak, gak papa. Lagi pula ada Umi yang terima bolu-nya. Sekarang gimana keadaan Adnan, mbak?" "Demamnya sudah reda, cuma masih agak lemes karena dari kemarin muntah terus " "Semoga cepat sembuh buat Adnan, ya mbak." "Aamiin, makasih do'anya Layl. Ngomong-ngomong, bolu-nya enak, Layl. Kemarin Umi Sarah juga coba, enak katamya. Nanti mbak pesan buat tasyakuran walimatul ursy Zihan, ya... Mbak juga minta maaf acara pernikahannya gak bisa diundur lagi." ucap Yasmin tak enak hati. Pernikahan adik perempuannya bersama anak dari salah satu dewan guru di yayasan milik keluarga suaminya sudah ditentukan tanggal pernikahannya jauh-jauh hari, dan Yasmin tak bisa mengubah waktu acara tersebut meskipun keluarga sang suami masih berduka. Abi Hasan, sang pimpinan yayasan sekaligus ayah dari almarhum Raihan juga sudah memaklumi dan mengizinkan acara tersebut tetap dilaksanakan sesuai jadwalnya. Dan Yasmin berharap, Layla yang baru saja mengalami musibah beserta keluarga suaminya dapat berlapang dada dan ikut bahagia dalam acara pernikahan adiknya nanti. "Gak papa, mbak. Lagi pula kan acaranya sudah ditentukan dari jauh-jauh hari, sebelum musibah itu datang. Layla berdo'a semoga acaranya lancar tidak ada hambatan apapun." jawab Layla sembari menuturkan harapannya untuk calon pengantin. "Iya, kalau ada waktu, kamu nanti datang ke rumah Umi ya, ikut kumpul-kumpul. Kamu ikut sama mbak aja." Ajak Yasmin lembut, Layla membayangkan wajah teduh Yasmin yang tengah tersenyum. Layla tersenyum tipis, Yasmin adalah orang yang selalu peduli padanya disaat orang-orang di yayasan selalu mengacuhkannya. Yasmin sendiri adalah anak dari salah satu kiayi ternama di kotanya. Ia juga merupakan kakak tingkatnya sewaktu di pesantren, jadi ia tak terlalu asing dengan Yasmin dan bisa akrab layaknya kakak dan adik. Layla kadang mengeluh jika perasaannya sedang sensitif. Keluarga suaminya suka menyanjung Yasmin di depan orang-orang. Melihat dari latar belakang dan juga paras serta sikapnya yang lemah lembut membuat Firda begitu menyayangi menantu kesayangannya itu, hal itu kadang memicu rasa iri di hati Layla. Namun Layla harus bersabar karena dirinya bukan Yasmin yang bisa dibanggakan. "Iya mbak, makasih sudah ajak Layla. Insyaalloh Layla akan datang." jawab Layla senang. Setidaknya ada Yasmin yang masih mau menerimanya sebagai keluarga. "Mbak tunggu ya, nanti mbak hitung dulu pesan bolu-nya berapa, soalnya mau diskusi dulu sama Umi." "Kalau begitu mbak tutup dulu teleponnya, mau ke rumah Umi. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Layla menyimpan ponselnya ke atas meja bersamaan dengan datangny Fatma yang menghampiri. "Siapa yang telepon, Layl?" tanya Fatma penasaran. Dilihatnya sang anak yang tersenyum sumringah setelah menjawab telepon. "Mbak Yasmin. Sudah mendingan, bu?" tanya Layla sembari memapah Fatma lalu mendudukannya di atas kursi. "Bicara apa?" tanya Fatma masih ingin tahu. Baru kali ini ada orang yang menelepon anaknya dari pihak keluarga suaminya. Dalam hati, Fatma selalu merasa kasihan melihat Layla yang abaikan oleh keluarga almarhum suaminya semenjak ia kembali pulang ke rumahnya. "Bicara biasa aja, bu. Tadi mbak Yasmin katanya mau pesan bolu buat acara syukuran pernikahan Zihan." "Alhamdulillah kalau gitu. Kalau ada waktu, kamu datang ke rumah Umi Sarah, bantu tenaga sedikit-sedikit." saran Fatma yang langsung dianggukki Layla. "Iya bu, tadi mbak Yasmin juga sudah ajak Layla." Setelah itu, Fatma bangkit dari duduknya, "Ibu mau ke kamar mandi dulu." Beritahunya kemudian. "Hati-hati, bu." ***** Hari pernikahan Zihan tiba, Layla yang menginap di rumah orang tua Yasmin tengah disibukkan dengan persiapan menyambut para tamu sedari subuh tadi. Beruntung Ibra selalu tenang dan tidak rewel, terlebih ada Adnan dan Haykal, sang kakak yang selalu menemani dan mengajaknya bermain. Layla yang sudah rapi dengan gaun brokat yang berwarna navy senada dengan kerudungnya nampak memasuki kamar pengantin dimana Yasmin juga tengah ada di sana sedang di dandani oleh MUA. Di sampingnya, Zihan sang pengantin tengah di rias oleh 3 MUA sekaligus. "Mbak, baju Adnan sama Haykal mau yang mana ya?" tanya Layla yang sedang mengurusi Adnan, anak kedua Yasmin. Ia baru saja memandikan kedua anak Yasmin dan juga Ibra, dan kini Layla tebak anak-anak itu tengah berlari dan melompat-lompat di atas kasur kamar ibunya. Yasmin sendiri sudah 2 hari menginap di rumah kedua orang tuanya karena tengah mengadakan hajat besar. Dan hari ini merupakan inti dari acara tersebut. "Ada koko gamis warna navy yang digantung, celananya yang warna hitam di simpan di lemari warna biru. Kamu cari dan suruh Bi Tina aja buat urus anak-anak, nanti kamu kesini lagi buat di dandani." "Nggak ah mbak, Layla gak usah pakai make up." tolak Layla halus, ia selalu tak percaya diri jika wajahnya dirias oleh make up. Yasmin menggeleng pelan menolak penolakan Layla, "Harus dong, biar pangling. Kamu samperin dulu Bi Tina ya, mbak sebentar lagi selesai." ujar Yasmin tak menerima penolakan lagi. Mau tak mau Layla menuruti perintah Yasmin dan kembali lagi setelah ketiga anak kecil iy ada yang mengurusi. Saat kembali, Yasmin telah selesai di rias dan tengah merapikan penampilannya. Layla memperhatikan penampilan Yasmin yang semakin cantik karena wajahnya dipolesi make-up. "Cantik banget, mbak. Pasti Mas Arman tambah klepek-kelepek sama Mbak." kekeh Layla bercanda. "Bisa aja, kamu... Sudah sana giliran kamu. Mbak mau lihat anak-anak dulu." ujar Yasmin sebelum meninggalkan ruangan. Layla sendiri mulai duduk dan langsung ditangani oleh seorang MUA yang sama dengan Yasmin. Wajahnya langsung di olesi beberapa krim yang Layla kurang tahu karena ia belum pernah memakainya selain bedak padat ke wajahnya. Di sela-sela kegiatannya, beberapa kali MUA itu berdecak kagum dengan pahatan wajah Layla yang sempurna. Dan Layla hanya tersenyum tipis menanggapinya. "Hidungnya bagus banget neng, mirip artis India." "Kulitnya mulus banget ih, kayaknya belum pernah ngerasain jerawatan ya?" "Bulu matanya juga lentik banget, kenapa gak jadi model aja, neng?" "Ih cantik banget sih, kalau mau jadi mantu ibu, ibu gak akan nolak! Sayangnya anak ibu sudah pada nikah semua!" "Saya sudah punya anak, bu." jawab Layla sembari terkekeh. Wanita paruh baya yang tengah menyapu blush on itu berdecak mendengar jawaban Layla. "Aihh kirain ibu masih perawan!" keluh MUA itu. Percakapan pun terus berlanjut hingga Layla selesai dengan riasannya. Wajah yang tadinya polos dan hanya memakai seulas bedak kini tampak pangling dan berona karena sapuan pewarna di wajah. Layla menatap pantulan dirinya di cermin, nampak cantik sekali bayangan dirinya saat ini. Namun perasaan ragu dan tak nyaman masih menyergapinya. Ia takut dandanannya terlalu mencolok dan menimbulkan perhatian orang-orang, mengingat dirinya berstatus janda yang baru ditinggal mati suaminya. "Bu, apa ini gak berlebihan ya?" tanya Layla ragu, sudah berulang kali Layla mempertanyakan hal yang sama. Sedari tadi pun Layla sudah mewanti-wanti MUA tersebut agar mendandaninya tidak terlalu menor. "Itu sudah cantik, neng sayang. Kamu gak suka hasil dandanannya?" "Suka bu, saya cuma takut dianggap berlebihan." "Mbak Layl percaya diri aja, gak usah dipikirin omongan orang-orang kalau ada yang komentar jelek, mbak cantik banget hari ini." Komentar Zihan mendengar percakapan dua orang di sampingnya. MUA tadi mengangguk setuju dan tersenyum sumringah, namun Layla hanya diam saja, merasa penampilannya kali ini adalah kesalahan. "Neng, itu suaminya nyamperin." Suara Bu Ratih, sang MUA mengejutkan Layla yang tengah melamun, ia kemudian menatap sosok pria yang berdiri di ambang pintu menatapnya. "Itu kakak saya, bu." sahut Zihan menatap Wildan yang masih terdiam belum menyampaikan apa yang membuatnya datang ke sini. "Calon pengantin pria-nya sudah datang, kamu sudah siap?" Beritahu Wildan mengalihkan pandangannya ke arah sang adik. "Sudah kak." jawab Zihan yang telah siap mengenakan gaun kebaya warna putih dilengkapi siger di kepalanya. Hiasan batu permata dan mutiara yang merekat di kebaya memancarkan kilau cahaya yang membuatnya semakin bersinar. Tak lupa juga hiasan bunga melati asli yang menjadi pemikat aroma yang menguar di sekitan tubuh si pengantin. "Loh, neng bukan iparnya pengantin?" tanya Bu Ratih penasaran, seingatnya anak Umi Sarah yang laki-laki itu sudah menikah dan mengira perempuan yang baru saja ia dandani adalah istrinya. "Bukan bu, saya adik ipar nya mbak Yasmin, dari pihak suaminya." jelas Layla. Bu Ratih mengangguk paham, "Ohh, jadi neng menantunya Umi Firda juga? Kebetulan ibu juga kenal sama dia. Eh tapi bukannya cuma dua..." ucapnya setengah terkejut setengah mencerna kepingan ingatan yang mencoba diingatnya. Ia tahu jika Umi Firda mempunyai 2 anak laki-laki dan keduanya sudah menikah, ia sendiri tahu Yasmin adalah salah satu menantunya Umi Firda, dan anak lelaki yang ke 3 itu sudah meninggal dunia beberapa waktu lalu, berarti... "Masyaalloh... Maaf neng, ibu gak tahu, haduh maaf ya dari tadi saya ngomong gak jelas sama neng. Sekali lagi ibu minta maaf." ucap Bu Ratih merasa begitu bersalah. Tak seharusnya ia banyak bicara kalau anggapannya itu salah. Seharusnya juga ia tadi bertanya dulu siapa Layla sebenarnya dan apa hubungannya dengan keluarga pengantin. Jika sudah begini, ia sendiri yang menanggung malunya! Layla tersenyum memaklumi, "Gak papa bu, makasih sudah make-up in saya, saya keluar dulu. Zihan, mbak duluan ya." ucap Layla kemudian. Ia keluar membawa tasnya ingin mencari sang anak yang entah dimana keberadaannya saat ini. Begitu keluar kamar, Layla dikejutkan dengan sosok Wildan yang berdiri di lorong dekat kamar Zihan. Layla tersenyum tipis melihat Wildan yang balas menatapnya. "Ibrahim sedang sarapan di dapur." ucap Wildan tenang. Hal itu membuat Layla mengerutkan dahinya. Entah apa maksud dari perkataan Wildan. Ia bahkan tidak bertanya ataupun memberitahu maksud tujuannya saat ini. "O-ohh iya mas, makasih sudah beritahu. Layla permisi duluan." jawab Layla, mungkin Wildan mendengar percakapannya tadi sebelum keluar kamar, pikir Layla. Perempuan itu pun melanjutkan langkahnya menuruni tangga seraya mencoba menghilangkan kebingungannya.Satu bulan kemudian. Di pagi hari yang cerah, Layla sudah disibukkan dengan kegiatan membuat kue. Di samping itu, hari ini ia yang mengurus semua keperluan dapur dikarenakan sang ibu tengah sakit. Dan kini, Layla keluar dari rumahnya menuju gerobak sayur yang berhenti di depan rumahnya. Terlihat sayuran hijau yang masih segar berkilauan terkena sinar matahari pagi membuat Layla tergiur untuk memasak semua sayuran segar itu. Tak lama kemudian, segerombolan ibu-ibu ikut menghampiri gerobak sayur dan mulai memilih-milih belanjaan mereka. Seperti biasa, mereka memilih sambil berbincang-bincang dan bercanda, namun Layla hanya diam dan sesekali mendengarkan. "Seger banget ya terongnya, mana gede-gede." Sahut seorang perempuan paruh baya yang wajahnya tebal akan riasan make up. Bibirnya yang merah menyala terkikik geli seraya memperlihatkan terong ungu yang berukuran besar dan panjang itu ke arah ibu-ibu di samp
Raffa Adi Wijaya adalah seorang dosen muda di sebuah universitas ternama di Jogja. Ia tumbuh dan besar di lingkungan pondok pesantren hingga memasuki bangku kuliah. Setelah lulus dan menjadi sarjana, Raffa menerima beasiswa untuk melanjutkan studi ke Mesir selama 4 tahun. Raffa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.Raffa remaja memang seorang pemuda yang penuh prestasi, sifatnya pendiam dan lebih senang menyibukkan diri dengan membaca buku. Namun dengan sikapnya itu, ia mampu bergabung dengan sebuah organisasi kemahasiswaan yang membuatnya semakin dikenal berbagai kalangan.Raffa remaja penuh dengan ambisi untuk menyelesaikan pendidikannya. Tidak ada kisah percintaan yang mewarnai sebagian perjalanan hidupnya. Ia terlalu serius belajar dan menata masa depannya sendiri hingga sampai diusiannya yang ke 35, ia masih melajang dan tengah menyelesaikan pendidikan doktornya.Keseriusannya dalam belajar membuatnya menjadi kaku dalam menghadapi persoalan asmara. Raf
Di hari yang cerah, Layla tengah disibukkan dengan aktivitas barunya. Sudah sepekan ini Layla menerima orderan aneka kue bolu dan kue basah lainnya. Setelah pertimbangan yang matang, akhirnya Layla menyetujui permintaan bapaknya untuk membuka usaha. Hitung-hitung untuk menambah uang jajan Ibra yang mulai beranjak besar, tidak mungkin juga ia selalu bergantung kepada ibu dan bapaknya terus menerus. Sempat ia berpikir untuk bekerja di luar, namun ia tak tega meninggalkan Ibra dan melewatkan tumbuh kembang anaknya itu.Alhasil, dalam seminggu ini sudah ada beberapa pelanggan tetap yang setiap hari memesan. Layla bersyukur usahanya diberi kemudahan. Kesedihan serta kemuraman hatinya sedikit demi sedikit teralihkan oleh kegiatan barunya itu.Suara alarm panggangan berbunyi keras mengejutkan Layla yang tengah melamun. "Astagfirulloh, malah ngelamun!" Layla lantas membuka oven dan mengeluarkan hasil panggangannya.Layla tersenyum senang kala melihat bolu panggang
Pukul tujuh malam, seperti biasa setelah sholat maghrib ia duduk di ruang tv bersama Ibrahim yang asik menonton animasi favoritnya bersama Fatma. Tak lama kemudian, Usman datang disusul Ardi yang tak biasanya mau ikut bergabung berkumpul bersama.Layla memandang heran kepada Ardi yang kini duduk berselonjor di samping ibunya dan sesekali mengajak Ibra bercanda. Adik bungsunya itu memang jarang ikut bergabung duduk bersama seperti ini, ia lebih sering suka menyendiri di kamar atau jika mau ia akan pergi keluar bersama teman-temannya."Tumben banget keluar kamar." celetuk Layla kepada Ardi. Sang adik yang merasa terpanggil menatap kakaknya dengan cengiran lebarnya."Tau banget bapak habis pencairan. Mau minta duit ya?" tuduh Layla yang tak dijawab Ardi. Pemuda itu terus menampilkan cengiran lebarnya."Memangnya kamu mau apa, minta uang jajan tambahan ke bapak?" timpal Usman melihat gelagat anaknya yang seperti itu. Mendekat jika ada maunya.
Suasana malam nampak tentram, hanya suara dari layar televisi yang menyala dengan volume kecil. Ibra tengah asik menonton tayangan kartun domba kesukaannya. Sementara Layla sedang duduk di sampingnya ditemani Usman. Fatma sendiri sudah memasuki kamarnya karena mau istirahat lebih awal setelah seharian berkutat di dapur.Dan Ibrahim? Ia masih terjaga karena siang tadi tidur lama hingga hari menjelang malam. Tak lama kemudian suara Usman mengalihkan perhatian Layla."Layl, bapak mau jual tanah lagi yang di legok."Layla terkejut mendengar pernyataan sang bapak, "Loh, kenapa pak?" tanyanya penasaran."Bapak sudah capek nyawah."Kan bisa disewakan, pak?""Tanahnya sudah ditawar harga tinggi. Lumayan buat modal usaha. Nanti uangnya kamu pakai kalau mau buka usaha."Bukan ingin menyuruh anaknya sengaja mencari nafkah, hanya saja ia ingin mengabulkan keinginan Layla yang belum tercapai.Layla menggeleng menolak usulan
Layla Azhari merupakan seorang janda muda yang ditinggal mati suaminya. Pernikahan yang baru dibangun selama 4 tahun dan baru dikaruniai seorang anak harus runtuh kala Farhan Hidayat, meninggal dunia karena kecelakaan motor.Layla begitu terpukul akan kejadian yang dialaminya. Kini ia kehilangan sosok pemimpin sekaligus pelindung bagi keluarganya.Duka yang dialami Layla ternyata bukan sekedar itu, mertua yang ia kira menghargainya dengan tega mengusirnya secara halus dari rumah yang telah susah payah ia bangun bersama mendiang suaminya setahun yang lalu dari tanah pemberian ayah mertuanya. Mereka beralasan untuk meminjamkan rumah tersebut untuk ditempati anak laki-laki ke tiganya yang baru saja menikah. Apalagi ibu mertuanya itu juga merasa mendapat hak waris dari anaknya yang bahkan belum pantas untuk dibahas mengingat suaminya meninggal belum lama ini.Dan dengan santai sang ibu mertua pun menyuruhnya untuk tinggal kembali bersamanya. Layla yang merasa haknya diabaikan, merasa saki