Pengantin pria beserta rombongannya nampak memasuki halaman rumah yang telah disulap menjadi sebuah ruangan yang teduh dan mewah dari tenda yang dihiasi berbagai macam bunga serta lampu hias. Di sebelah utara, nampak panggung pelaminan yang begitu megah menghadap ke selatan dimana kursi-kursi tamu berdampingan diletakkan berbaris rapi menghadap pelaminan. Tempat untuk para tamu wanita dan laki-laki dibuat terpisah dan hanya dibatasi oleh sekat kain sebatas pinggang orang dewasa.
Layla tersenyum, dalam hati berpikir, mengapa harus ada pembatas jika tingginya hanya sepinggang orang dewasa? Di samping masing-masing bagian kursi tamu pula, berjejer beberapa stand makanan serta meja prasmanan yang siap disajikan untuk para tamu yang datang. Layla sendiri memilih duduk di kursi baris ke dua dari depan dan memilih kursi terluar dekat dengan karpet merah yang telah dilewati pengantin pria yang kini duduk di kursi akad. Di samping Layla, terdapat Ibrahim beserta Haykal dan juga Adnan yang tak terpisahkan, sedari tadi mereka ingin bersama terus hingga memilih kursi pun harus bersisian. Layla menatap punggung ibu mertuanya yang duduk di samping Yasmin, ia nampaknya enggan untuk menoleh ke belakang. Meski begitu, sejak kedatangannya Layla sudah menyapanya dan bersikap seperti biasanya. Sudah lebih dari lima menit pengantin pria datang, penghulu beserta petugas lainnya sudah siap. Sementara pengantin wanita menunggu di dalam rumah selama ijab qobul dilangsungkan, namun akad tersebut belum juga dimulai, membuat Layla mengernyitkan dahi. Layla pun mencondongkan tubuhnya dan menepuk pundak Yasmin yang duduk di depannya dengan pelan, "Mbak kenapa belum dimulai juga?" tanya Layla penasaran. Yasmin menoleh ke arah Layla dan berkata, "Lagi nunggu saksi satu lagi, Pak Sudirman." "Oh iya, Layla gak memperhatikan." jawab Layla menatap ke depan. "Iya, beliau masih di jalan katanya. Nah itu beliau sudah datang." ucap Yasmin sambil menghembuskan nafas lega melihat kedatangan saksi penting dalam akad nanti. Layla pun ikut menoleh dan terkejut menatap sosok tua dan terlihat berwibawa tengah berjalan ke depan menggunakan sebuah tongkat. Ia tahu sosok tersebut kala nama yang Yasmin sebutkan tadi. Namun bukan itu yang menjadi alasan keterkejutannya, Layla menatap tubuh tegap dan jangkung yang berjalan di sisinya. Mengapit lengan kiri Sudirman yang berjalan pelan dan menuntunnya sampai di kursi saksi di depan. 'Mas Raffa?' Raffa terlihat maskulin dengan kemeja batik dengan jahitan rapi berwarna hitam yang dominan dengan corak warna biru navy dipadu dengan celana kain hitam yang rapi. Jam tangan hitam di lengan kirinya menambah kharisma yang membuat beberapa pasang mata tak cukup menatap satu kali ke arahnya. Layla mengalihkan tatapannya menghindari sosok Raffa yang terlihat menatapnya dari depan sana. Dengan gugup Layla berpura-pura membenarkan pakaian Ibra yang tengah asik bermain mobil-mobilannya bersama kedua kakaknya, ketiga anak itu seolah mempunyai dunianya sendiri dari pada ikut riuh bersama orang dewasa di sekelilingnya yang menyaksikan inti acara yang dinanti. Sosok Sudirman yang bersama Raffa terlihat begitu berwibawa, ditambah karena adanya Raffa yang muda dan berkharisma. Terdengar bisik-bisik para ibu-ibu di belakang membicarakan mereka. "Duh Pak Dirman masih sehat aja ya diumurnya yang sudah 70-an." "Itu anaknya yang bungsu kan?" "Iya, si Raffa. Ganteng ya? Duh mana masih bujang lagi." Layla menoleh sejenak ke belakang dimana dua ibu-ibu tengah berbisik membelakangi Layla bersama dua temannya di bangku belakang. Layla kurang mengenali mereka, namun nampaknya mereka adalah saudara dari Ustadz Soleh dan Umi Siti, orang tua Zidan. "Ngomong-ngomong, kemarin-kemarin katanya Pak Dadang datang ke rumah Pak Dirman, nawarin si Lia, anaknya jadi mantu Pak Dirman!" Kembali ucapan-ucapan di belakang terdengar oleh Layla membuatnya tak sadar ikut mendengarkan. "Yang bener?" "Tapi kayaknya ditolak, soalnya gak ada kabar lagi sampai hari ini." "Selera si Raffa tinggi banget kayaknya. Si Lia yang PNS aja ditolak." "Umur udah mateng belum nikah-nikah!" "Maunya sama cewe kota kali, kan dia tinggalnya di kota sekarang mah." "Ihh dulu juga pernah ada temen kuliahnya Pak Dirman dari kota dateng ke rumahnya, bawa anak gadis, tapi gak jadi juga. Layla menggeleng mendengar cerita-cerita yang keluar dari omongan ibu-ibu tersebut. Dan kenapa juga telinganya seolah sengaja mendengarkannya dengan seksama. Layla mengucap istigfar dalam hatinya, ia sudah berdosa kali ini. "Mungkin belum waktunya aja dia nikah, ibu-ibu. Sudah jangan ghibah mulu, acaranya sebentar lagi di mulai." ucap seorang ibu-ibu lainnya mengakhiri perbincangan mereka. "Maaf terlambat, anak saya yang bungsu tiba-tiba sudah datang tadi subuh." ucap Pak Dirman menghadap para tamu undangan. "Gak papa, pak. Alhamdulillah Mas Raffa juga bisa ikut menyaksikan akad pernikahan ini." sahut Soleh, ayah mempelai pria yang duduk di seberang meja. Terlihat Raffa menyalami beberapa orang yang ada di meja akad, termasuk si penganti pria yang merupakan kenalannya. "Semoga lancar ucap qobulnya." "Aamiin... Aamiin... Silahkan duduk mas, disana masih ada kursi kosong." ucap Zidan, si pengantin sembari menunjuk sebuah kursi yang kosong di barisan kedua. Raffa mengangguk dan tersenyum sebelum berbalik menuju kursi yang ditunjuk tadi. Dan entah benar atau tidaknya, Layla merasa Raffa kembali menatapnya meskipun sekilas sebelum duduk di kursinya. Hal itu membuat Layla berdebar tak menentu. Layla mengernyit, seharusnya jantungnya tak boleh bereaksi seperti itu. ***** Raffa tak bisa berhenti menatap sekitar tempat acara. Benaknya mengharapkan kehadiran seseorang yang selama ini ditunggunya. Namun sejak turun di parkiran, Raffa tak kunjung menemukannya hingga ia berdiri di depan pelaminan mengantar sang bapak menduduki kursi saksi. Hingga kemudian, tatapannya terpaku pada sosok di sebelah kiri, pada baris ke dua duduk berjejer bersama beberapa anak laki-laki, Raffa melihatnya, ia berhasil menemukan sosok yang ia cari sedari tadi. Tanpa sadar ia melengkungkan sedikit senyumannya, tipis dan secepat kilat membuat beberapa orang tidak menyadarinya. Namun Raffa bisa memastikan Layla merasakan tatapannya dan menangkap gerakan bibirnya tadi. Terlihat dari caranya menghindar dari tatapan yang sesekali ia layangkan kepadanya. Raffa tersenyum dalam hati, Layla nampak luar biasa cantik hari ini. Lelah akibat perjalanan jauh tadi malam sepertinya terbayar lunas melihat wajah manis Layla pagi ini. Rangkaian demi rangkaian acara Raffa ikuti dengan seksama. Namun pesona Layla yang sulit ia abaikan sesekali membuat ia menolehkan kepalanya untuk menatap sosok Layla berkali-kali. Namun kini sosok itu menghilang dan hanya terdapat tiga anak yang tidak bisa terdiam di kursinya. Raffa mengedarkan pandangannya dan tak menemukan Layla sama sekali. Lalu jeritan dua orang anak mengusik acara sungkeman yang sedang dilakukan dengan khidmat itu. Raffa menatap Ibra yang menangis setelah dipukul Adnan yang terlihat marah. Para orang tua hanya menatap penasaran dan tidak ada yang mencoba menenangkan Ibra, sementara Adnan sedang ditenangkan oleh ibunya sendiri, tebak Raffa. Ketidak hadiran Layla membuat Ibra semakin menangis kencang menyebut sang ibu. Raffa ingin mendekat, namun ada sekat yang tak bisa ia lalui meskipun itu hanya sebatas kain tipis. Melihat Ibra yang menangis sendirian dan kebingungan membuat Raffa tak tega. Hingga saat bocah itu memutuskan untuk berjalan keluar dari ruangan, ia berjalan melintasi kain pembatas itu dan terdiam menatap barisan para pria dewasa yang terduduk di sana. Matanya sembab, dengan air mata yang masih bercucuran di permukaan pipinya yang tembam. Hingga mata bening dan berair itu menemukan sosok yang dikenalnya, Ibra segera saja menghampirinya karena pria yang ternyata juga tengah menatapnya dan melambaikan tangan memintanya mendekat. Arman, sang paman menatap heran kala anak kecil itu tidak menghampirinya, melainkan mendekat ke arah kursi di belakangnya. Ia pun menoleh ke belakang dan terkejut melihat Raffa yang tengah berinteraksi dengan keponakannya. Raffa yang mendapat tatapan tanya Arman hanya tersenyum ramah sebelum kembali memfokuskan perhatiannya kepada Ibrahim. Benaknya merasa kegirangan saat Ibra masih mengingat sosok dirinya. Arman hanya terdiam, kembali membalikkan badannya menghadap ke depan. Pikirannya tak bisa diam kala Ibra lebih memilih menghampiri Raffa ketimbang dirinya yang merupakan pamannya. "Ibra, kenapa menangis?" tanya Raffa yang menaikkan Ibra ke atas pangkuannya. Anak kecil itu masih sesenggukkan sisa dari tangisnya. "Mau mobil." lirih Ibra. Raffa hanya tersenyum seraya menyeka air mata Ibra menggunakan sapu tangan hitam yang dibawanya di dalam saku. "Ibra bawa mobil mainan tadi?" tanya Raffa. Ibra mengangguk, lalu mengadu kepada lelaki yang dikenalnya itu. "Dibawa kakak. Ibra mau mobil!" Raffa bingung sesaat, bagaimana cara menghentikan tangisan anak kecil itu. "Ibra mau makan enggak? Lihat, banyak makanan disana." Ibra menggeleng dan kembali terisak kencang, merengek meminta mainannya. "Mau mobil..." Raffa menghela nafas pasrah, ia pun berinisiatif keluar dan mencari anak kecil yang sudah membawa mainan Ibra. "Kita keluar ya, kita cari kakak kamu." "Ibu kamu, sedang kemana?" tanya Raffa setelah mereka berada di luar. Raffa menengok ke semua penjuru arah untuk menemukan sosok wanita yang dicarinya. Namun Layla tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. "Pipis." Di sana, Ibra melihat Adnan yang tengah berada di teras rumah neneknya dan berteriak memanggilnya, "Kakak... Mau mobil Ibra!" Raffa pun membawa Ibra mendekati anak yang seusianya itu. Adnan tengah asik bermain sambil rebahan ditemani oleh ibunya dan dua orang perempuan yang tak dikenalinya. Yasmin tersenyum saat melihat Ibra dan juga bingung akan sosok tinggi dan asing yang sedang memangku anak tersebut. "Iya, kakak kasih mobilnya ke Ibra ya? Kakak kan sudah punya." bujuk Yasmin berharap anaknya mau memberikan mainan milik Ibra. Mata Yasmin sesekali menatap Raffa yang sesekali menenangkan Ibra yang merengek-rengek. Benaknya bertanya-tanya siapa sosok yang terlihat begitu dekat dengan keponakannya itu. Namun Adnan keras kepala enggan memberikan mainan yang telah ia rampas dari tangan Ibra. "Mau dua!" ucap Adnan sembari berteriak dan kembali menangis, membuat Yaskin kelabakan dan segera menenangkan kembali anaknya. "Nanti pinjam punya kakak Haykal ya?" ucap Yasmin berusaha membujuk. Namun Adnan kekeuh dengan pendiriannya. Ia masih memeluk erat mobil-mobilan milik Ibra, sementara mobil miliknya sendiri dibiarkan tergeletak. "Kalau begitu beli yang baru?" "Gak mau!" teriak Adnan membuat Yasmin menghela nafas jengah. Anaknya memang memiliki watak yang keras kepala. Raffa mendesah kesal menatap anak kecil yang masih merampas mainan Ibra, ia pun berusaha membujuk Ibra berharap anak itu mau menuruti perkataannya. "Nanti om kasih mobil-mobilan yang baru, mau?" "Mau itu..." gumam Ibra dengan tangan yang masih menunjuk-nunjuk ke arah mobil-mobilannya. "Nanti beli yang pakai remot, mau? Biarkan mobil itu dipinjam sama kakak Adnan, ya?" Bujuk Raffa lagi, berusaha menawarkan sesuatu yang lebih menarik ketimbang mobil-mobilan kecil itu. Dan hal itu berhasil membuat Ibra mau mengalah, bocah itu mengangguk meskipun air matanya belum bisa berhenti mengalir. Raffa mendesah lega, Ibra ternyata lebih bisa diatur ketimbang anak kecil yang menyebalkan itu. "Bagus, nanti pulang dari sini ikut om beli mobil-mobilan yang baru, ok?" "Maafin kakak ya, Ibra?" ucap Yasmin sedih karena Ibra yang selalu berakhir mengalah ketika terjadi rebutan dengan kakaknya ini. "Loh, ada apa ini? Raffa, kenapa kamu gendong Ibra?" Firda menatap kedua cucunya yang terlihat habis menangis, dari kejauhan pun tadi ia mendengar suara teriakan dan tangisan anak kecil membuatnya semakin bertanya dan menghampirinya. "Ibra nangis karena mainannya direbut Adnan, Mi." tutur Yasmin. "Duh, anak-anak ini. Kalau main itu yang akur dong, jangan rebutan terus! Kamu Ibra, turun sini, jangan nyusahin orang lain. Ibu kamu juga, kemana perginya? Kenapa lama sekali?! Gak sadar apa dia punya anak kecil?!" cerocos Firda seraya menarik-narik lengan Ibra, namun anak itu tak mau turun dan malah memeluk Raffa semakin erat, membuat tubuh yang dipeluknya sedikit terdorong pelan ke belakang. "Gak papa umi, lagi pula saya mengenal Ibra. Biarkan Ibra bersama saya sejenak." jelas Raffa membuat Yasmin diam-diam menerka seraya memandang curiga kepadanya. Di samping itu, Ibra yang mendengar omelan neneknya langsung mencengkram erat pegangannya di kerah kemeja Raffa, dan Raffa yang merasakannya mengelus pelan punggung mungil itu berharap dapat menyalurkan perasaan nyaman dan aman saat bersamanya. "Mau es krim om ..." lirih Ibra seakan pertanda Ibra ingin pergi menjauh dari situasi ini. Raffa pun mengerti akan kemauannya dan memilih menjauh. Lagi pula, sepertinya Ibra sudah tidak terlalu minat lagi akan mainannya itu. Dari dalam rumah, Layla berjalan keluar dan melihat Yasmin bersama Adnan dan mertuanya. Ia pun terheran karena anaknya tak bersama mereka, karena ia tadi menitipkannya kepada iparnya tersebut. "Mbak, Ibra dimana ya?" tanya Layla mendekat. Yasmin yang masih menatap punggung Raffa tersentak menoleh dan mendongak ke arah Layla, "Oh itu, sama om-nya..." Layla terdiam mendengar jawaban Yasmin, "Sama Mas Arman?" tanya Layla memastikan. Namun Firda dengan cepat menyela sebelum Yasmin menjawab, "Layla, ada hubungan apa kamu sama Raffa?" tanya-nya tajam. Layla tak mengerti tujuan mertuanya bertanya demikian, entah kenapa juga ia tiba-tiba bertanya akan lelaki itu kepadanya. "Gak ada Umi." jawab Layla pasti. Firda menggeleng, kejadian tadi tak seperti apa yang dijawab Layla. "Gak mungkin gak ada kalau Ibra saja begitu lengket sama Raffa!" sanggah Firda tak suka. Kini Layla mengerti kenapa mertuanya bertanya seperti itu kepadanya. Ia tidak tahu harus berkata apa, situasi ini terlalu mendadak untuk ia cermati. Namun yang dipikirannya saat ini, Ia harus segera menemukan Ibra. "Maaf Umi, sepertinya Layla harus cari Ibrahim dulu." ujar Layla sembari turun dari teras rumah. Namun perkataan Firda menghentikan langkahnya seketika, "Kamu dengar Layla, jangan permalukan nama Umi dan sekeluarga gara-gara kelakuan kamu! Kamu juga jangan mengalirkan dosa terus sama anakku cuma gara-gara kamu yang kecentilan sama lelaki lain, aku tak terima, Layla!" Suara yang sarat akan kemarahan itu terdengar menembus hingga ke dalam hatinya, membuat Layla menahan sesak dan perih. "Layla mengerti Umi..." lirih Layla menjauh.Pengantin pria beserta rombongannya nampak memasuki halaman rumah yang telah disulap menjadi sebuah ruangan yang teduh dan mewah dari tenda yang dihiasi berbagai macam bunga serta lampu hias. Di sebelah utara, nampak panggung pelaminan yang begitu megah menghadap ke selatan dimana kursi-kursi tamu berdampingan diletakkan berbaris rapi menghadap pelaminan. Tempat untuk para tamu wanita dan laki-laki dibuat terpisah dan hanya dibatasi oleh sekat kain sebatas pinggang orang dewasa.Layla tersenyum, dalam hati berpikir, mengapa harus ada pembatas jika tingginya hanya sepinggang orang dewasa? Di samping masing-masing bagian kursi tamu pula, berjejer beberapa stand makanan serta meja prasmanan yang siap disajikan untuk para tamu yang datang.Layla sendiri memilih duduk di kursi baris ke dua dari depan dan memilih kursi terluar dekat dengan karpet merah yang telah dilewati pengantin pria yang kini duduk di kursi akad.Di samping Layla, terdapat Ibrahim
Satu bulan kemudian. Di pagi hari yang cerah, Layla sudah disibukkan dengan kegiatan membuat kue. Di samping itu, hari ini ia yang mengurus semua keperluan dapur dikarenakan sang ibu tengah sakit. Dan kini, Layla keluar dari rumahnya menuju gerobak sayur yang berhenti di depan rumahnya. Terlihat sayuran hijau yang masih segar berkilauan terkena sinar matahari pagi membuat Layla tergiur untuk memasak semua sayuran segar itu. Tak lama kemudian, segerombolan ibu-ibu ikut menghampiri gerobak sayur dan mulai memilih-milih belanjaan mereka. Seperti biasa, mereka memilih sambil berbincang-bincang dan bercanda, namun Layla hanya diam dan sesekali mendengarkan. "Seger banget ya terongnya, mana gede-gede." Sahut seorang perempuan paruh baya yang wajahnya tebal akan riasan make up. Bibirnya yang merah menyala terkikik geli seraya memperlihatkan terong ungu yang berukuran besar dan panjang itu ke arah ibu-ibu di samp
Raffa Adi Wijaya adalah seorang dosen muda di sebuah universitas ternama di Jogja. Ia tumbuh dan besar di lingkungan pondok pesantren hingga memasuki bangku kuliah. Setelah lulus dan menjadi sarjana, Raffa menerima beasiswa untuk melanjutkan studi ke Mesir selama 4 tahun. Raffa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.Raffa remaja memang seorang pemuda yang penuh prestasi, sifatnya pendiam dan lebih senang menyibukkan diri dengan membaca buku. Namun dengan sikapnya itu, ia mampu bergabung dengan sebuah organisasi kemahasiswaan yang membuatnya semakin dikenal berbagai kalangan.Raffa remaja penuh dengan ambisi untuk menyelesaikan pendidikannya. Tidak ada kisah percintaan yang mewarnai sebagian perjalanan hidupnya. Ia terlalu serius belajar dan menata masa depannya sendiri hingga sampai diusiannya yang ke 35, ia masih melajang dan tengah menyelesaikan pendidikan doktornya.Keseriusannya dalam belajar membuatnya menjadi kaku dalam menghadapi persoalan asmara. Raf
Di hari yang cerah, Layla tengah disibukkan dengan aktivitas barunya. Sudah sepekan ini Layla menerima orderan aneka kue bolu dan kue basah lainnya. Setelah pertimbangan yang matang, akhirnya Layla menyetujui permintaan bapaknya untuk membuka usaha. Hitung-hitung untuk menambah uang jajan Ibra yang mulai beranjak besar, tidak mungkin juga ia selalu bergantung kepada ibu dan bapaknya terus menerus. Sempat ia berpikir untuk bekerja di luar, namun ia tak tega meninggalkan Ibra dan melewatkan tumbuh kembang anaknya itu.Alhasil, dalam seminggu ini sudah ada beberapa pelanggan tetap yang setiap hari memesan. Layla bersyukur usahanya diberi kemudahan. Kesedihan serta kemuraman hatinya sedikit demi sedikit teralihkan oleh kegiatan barunya itu.Suara alarm panggangan berbunyi keras mengejutkan Layla yang tengah melamun. "Astagfirulloh, malah ngelamun!" Layla lantas membuka oven dan mengeluarkan hasil panggangannya.Layla tersenyum senang kala melihat bolu panggang
Pukul tujuh malam, seperti biasa setelah sholat maghrib ia duduk di ruang tv bersama Ibrahim yang asik menonton animasi favoritnya bersama Fatma. Tak lama kemudian, Usman datang disusul Ardi yang tak biasanya mau ikut bergabung berkumpul bersama.Layla memandang heran kepada Ardi yang kini duduk berselonjor di samping ibunya dan sesekali mengajak Ibra bercanda. Adik bungsunya itu memang jarang ikut bergabung duduk bersama seperti ini, ia lebih sering suka menyendiri di kamar atau jika mau ia akan pergi keluar bersama teman-temannya."Tumben banget keluar kamar." celetuk Layla kepada Ardi. Sang adik yang merasa terpanggil menatap kakaknya dengan cengiran lebarnya."Tau banget bapak habis pencairan. Mau minta duit ya?" tuduh Layla yang tak dijawab Ardi. Pemuda itu terus menampilkan cengiran lebarnya."Memangnya kamu mau apa, minta uang jajan tambahan ke bapak?" timpal Usman melihat gelagat anaknya yang seperti itu. Mendekat jika ada maunya.
Suasana malam nampak tentram, hanya suara dari layar televisi yang menyala dengan volume kecil. Ibra tengah asik menonton tayangan kartun domba kesukaannya. Sementara Layla sedang duduk di sampingnya ditemani Usman. Fatma sendiri sudah memasuki kamarnya karena mau istirahat lebih awal setelah seharian berkutat di dapur.Dan Ibrahim? Ia masih terjaga karena siang tadi tidur lama hingga hari menjelang malam. Tak lama kemudian suara Usman mengalihkan perhatian Layla."Layl, bapak mau jual tanah lagi yang di legok."Layla terkejut mendengar pernyataan sang bapak, "Loh, kenapa pak?" tanyanya penasaran."Bapak sudah capek nyawah."Kan bisa disewakan, pak?""Tanahnya sudah ditawar harga tinggi. Lumayan buat modal usaha. Nanti uangnya kamu pakai kalau mau buka usaha."Bukan ingin menyuruh anaknya sengaja mencari nafkah, hanya saja ia ingin mengabulkan keinginan Layla yang belum tercapai.Layla menggeleng menolak usulan