Namaku Sarnih, berasal dari kampung pinggiran kota. Perkampungan kumuh tepatnya. Tapi itu beberapa tahun silam.
Sekarang aku sudah berganti nama menjadi Sahrini. Biar lebih keren. Karena aku bukan lagi Sarnih si penjual gorengan keliling, melainkan wanita sosialita. Memiliki teman arisan, dan pengoleksi perhiasan.
Kastaku terangakat berkat kepiawaian anak semata wayangku dalam menaklukan Laila anak tunggal pemilik perkebunan teh terbesar di Negara ini. Yang aku dengar, teh yang dihasilkan dari perkebunan keluarga Laila akan diimpor ke luar negeri. Aduhaaaii ... bahasaku keren sekali. Udah kayak orang kaya sungguhan. Kasta, sosialita, impor, bahasa asing yang dulu tak pernah aku ucapkan.
Sebenarnya Haris tipikal laki-laki playboy. Dulunya kerap kali bergonta ganti pacar. Kenapa aku bisa tahu? Ya karena aku ibunya. Haris selalu bercerita tentang wanita-wanita yang ia dekati. Tentu bukan karena cinta. Semua itu karena harta.
Tapi jalinan asmara Haris dengan wanita tak pernah berlangsung lama, paling lama hanya dua bulan. Karena mereka sadar, hanya dimanfaatkan saja oleh aku dan anakku terutama dalam masalah keuangan.
Tidak dengan Laila. Perempuan keturunan Arab itu justru bersedia dinikahi oleh Haris. Walaupun kami tidak memberinya apa-apa, hanya mas kawin berupa cincin dua gram.
Aku juga aneh, kenapa ia tidak merasa kami manfaatin? Malah justru terlihat begitu mencintai Haris. Padahal aku tahu, Haris tidak sungguh-sungguh mencintainya. Buktinya, waktu aku lihat ponselnya, sering menemukan pesan singkat dari para wanita lain. Bagiku tidak masalah. Yang penting si Laila tidak tahu.
“Jangan sampe Laila tahu belangnya kamu, Har. Lagian kamu itu cari selingkuhan bukannya yang lebih tajir, malah lebih miskin.”
Aku paling kesal kalau Haris sudah diporotin uangnya oleh wanita-wanita murahan. Aku pernah mengomelinya soal ini.“Kamu jangan bodoh, Haris! Mau-maunya diporotin wanita?!”
“Biarinlah, Bu. Buat hiburan doang. Lagian murah kok. Semalam Cuma 500 ribu.” Kilahnya. Aku makin geram.
“500 ribu juga uang, Haris! Emang si Laila gak bisa ngasih servis yang memuaskan?”
“Memuaskan sih, Bu. Tapi bosen.”
Laki-laki ternyata sama saja. Makin bertambah umur, sikap Haris makin mirip kelakuannya sama almarhum Ayahnya. Bosenan! Diam-diam menghanyutkan!Selain itu, Laila sangat royal pada kami. Apapun yang aku atau Haris minta pastilah dikabulin. Laila memang menantu idaman. Setidaknya dalam masalah uang.
Setelah kedua orang tua Laila meninggal, kehadiranku dan Haris seperti sangat dibutuhkan olehnya.
Tak segan-segan aku minta uang dalam jumlah besar terutama ketika ia menang proyek. Laila juga seorang pengusaha. Dia memiliki usaha sendiri bersama temannya yang tomboy dan sangat tidak kami sukai.
“Laila, kamu jangan dekat-dekat sama si Siska. Dia itu tomboy. Kamu gak takut apa kalau ketularan tomboy.” Aku menakutinya walau tahu, Laila gak mungkin berubah tomboy karena ia berjilbab.
Bahkan Haris pernah berbicara lebih parah dariku.“Bukan Abang larang kamu dekat sama Siska. Abang Cuma takut, kalau Siska sebenarnya diam-diam suka sama kamu. Suka sesema jenis. Lesbian.” Ketika itu Laila sangat marah. Dia bilang,
“Aku lebih tahu siapa Siska, Bang. Abang gak usahlah mikir yang macem-macem!”
Padahal bukan itu alasan kami menyuruh Laila menjauhi Siska. Tapi karena wanita tomboy itu selalu menyindir aku dan Haris.
Sering kali ia berkata pada kami, kalau aku dan Haris Cuma parasit.Sangat menyakitkan sekali ucapannya. Tapi aku atau Haris tak menanggapinya. Sebab tau, pasti Laila lebih membela Siska ketimbang kami.
***
Hari Rabu adalah jadwalku berkumpul dengan teman-teman sosialita. Mereka rata-rata usianya jauh lebih muda dariku. Tapi tidak masalah, yang penting mereka royal.“Hai ... Jeng, Jeng ... sebentar lagi kita kedatangan tamu dari Korea lhooo ... doi itu penjual dan pengoleksi emas berlian.” Ujar Jeng Ria ketua ganks kami.
“Wooooowww ... seriusan Jeng?”
Jeng Ria mengangguk. Tak lama, wanita Korea itu datang. Kami pun menyambutnya dengan hangat.Namanya Meyla Chan. Katanya dia keturunan Korea. Lahir di Indonesia.
Orangnya ramah dan perhatian. Terutama padaku. Mungkin karena aku lebih tua dari yang lainnya. Dia sempat menawarkan berlian padaku.“Aduh Mey ... Saya lagi gak bawa uang sebanyak itu. Mungkin lain waktu aja kali ya?” Tolakku secara halus.
Di tengah obrolan, aku ijin ke toilet. Ingin menelepon Haris. Menyuruh dia untuk menjemputku di sini. Agar aku bisa mengenalkan putra semata wayangku yang tampan itu dengan Meyla.
“Ada apa, Bu?”
“Kamu lagi di mana?”“Di jalan. Mau pulang inih!”“Oh bagus. Kayaknya memang kalian jodoh.”“Jodoh? Maksud Ibu apa?”“Kamu jemput ibu di tempat arisan biasa ya.”“Males ah, Bu. Gak ada yang cantik. Tante-tante semua.”“Enggak. Hari ini ada wanita seumuran dengan Laila. Perempuan tajir. Keturunan Korea. Ibu mau kenalin kamu sama dia. Cepetan ya!” Aku langsung mematikan sambungan telepon. Haris pasti mau datang ke sini. Dia kan anak yang penurut.Satu persatu, teman arisanku pulang. Tinggalah aku dan Meyla. Aku sengaja mengajaknya ngobrol lebih lama. Sambil menunggu Haris datang menjemput.
“Kenapa Meyla belum menikah?”
“Menikah?” Dia balik bertanya terkekeh.“Mau menikah sama siapa kalau calon suaminya juga belum ada.” Celetuknya.
“Ah masa sih? Meyla kan cantik, baik, masa gak ada laki-laki yang suka?”
“Belum ada yang cocok, Bu.”
Tak lama kulihat Haris masuk restoran tempat aku dan kawan-kawan berkumpul. Aku melambaikan tangan. Haris langsung menghampiri.“Meyla, ini anak Ibu. Namanya Haris Prayoga.” Ucapku memperkenalkan anak semata wayang. Meyla berdiri, mengulurkan tangannya terlebih dahulu, Haris pun menyambutnya.
“Meyla Chan.”
“Haris Prayoga.”Mereka cukup lama saling pandang. Aku berdehem. Tautan tangan Haris dan Meyla otomatis dilepas. Aku senang melihat ekspresi malu-malu Meyla.“Haris ini pengusaha perkebunan teh lho, Mey.” Aku langsung mempromosikan Haris. Terlihat kekaguman dari raut wajah Meyla. Aku sangat yakin, kalau Meyla sudah jatuh hati pada Haris.
Benda apa itu? Kok seperti gulungan rambut? Kayaknya benar rambut. Kucoba menelisik benda persegi empat yang dibalut oleh helaian-helaian rambut yang sangat tebal.“Bi, coba ambil yang itu.” Perintahku, Bi Inah mengangguk. Mengambil benda persegi panjang tersebut.Bi Inah dan Mang Karman meneliti. Mengorek benda apa sebenarnya di balik balutan rambut.“Ini gepokan uang, Non!” seru Mang Karman. Gulungan rambut disingkirkan. Terpampang jelas setumpuk uang seratus ribu. Aku heran, kenapa uang sebanyak itu dililit dengan rambut sangat tebal?“Kok dililit sama rambut? Buat apa?” tanyaku heran. Menatap suami istri yang berdiri di depanku bergantian. Sejenak kami diam.“Bibi tau, Non.” Celetuk Bi Inah. Memecah keheningan. Aku dan Mang Karman menatap Bi inah seksama. Menunggu kelanjutan ucapannya.“Katanya, kalau uang kita dililit dengan rambut. Tuyul, babi ngepet, atau
“Jangan ngomong sembarangan, Laila!” Gertak Bang Haris. Ibu memegang lengan anaknya. Menenangkan. Aku sendiri bersikap tak peduli. Acuh tak acuh. Kenapa mesti takut dengan mereka? Wong ini rumahku sendiri.“Aku serius!” jawabku menatap mereka nyalang. Enak saja, mereka memberiku pilihan. Pilihan yang jsutru sangat merugikanku. Benar kata Siska, mereka berdua memang parasit!“Ya sudah kalau itu emang maumu. Tapi kamu yang harus biayai perceraiannya!” Ibu menyela. Sudah kuduga, pasti Ibu tidak mau rugi.“Gak masalah. Yang penting sekarang kalian keluar dari rumah ini!” ucapku tegas. Jari telunjuk menjuntai ke pintu luar. Mereka pikir aku akan mengemis untuk tidak ditinggalkan? Ah, no!! Meskipun sekarang kedua orang tuaku telah tiada, tapi aku masih punya orang-orang yang peduli. Orang-orang yang sayang padaku dengan tulus.“Oh gak bisa. Sebelum ketuk palu, kami masih berhak tinggal di sini.
“Ini kopinya,” Damar datang membawa kopi pesananku.“Makasih,” jawabku singkat.“Eh, ngapain duduk di sini?” Laki-laki itu tanpa permisi duduk di kursi samping kiri.“Temenin lo lah.” Kedua bola mata Damar menatapku intens. Aku salah tingkah. Membenarkan posisi duduk.“Gak perlu. Aku pengen sendiri.” Tolakku ketus. Lagian jadi orang sok akrab banget. Kenal juga baru tadi siang. Udah sok peduli. Aku melirik ke arahnya. Damar masih saja menatapku.“Eh! Jangan liatin aku kayak gitu!!” Aku melotot Jengah! Tapi Damar bergeming. Pandangannya tak beralih.“Lo lagi ada masalah?” tanyanya. Aku memalingkan muka.Kali ini aku pilih diam. Meniup uap kopi, lalu menyesapnya perlahan. Damar masih menunggu jawaban.“Ya elah, ditanya diam aja.” Aku tak peduli. Memainkan ponsel, membuka sosial media.“Oh iya, gue u
“I-Ibu?” Terbata-bata Bang Haris memanggil Ibu.“PULANG!!!” Teriak Ibu. Aku memijat pelipis. Pikiranku seharian ini benar-benar pusing.“Siapa sih, Maaaas?” Terdengar suara manja wanita itu lagi. Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka, suami yang selama ini aku puja, yang selalu aku banggakan, tega berbuat hal keji dan menjijikan. Semakin bulat keputusanku untuk berpisah dengannya.Di saat seperti ini, aku bersyukur, karena belum dikaruniai buah hati. Benar, Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.“Ibu. Kamu diem dulu.” Bang Haris menjawab pada wanitanya.“Ibu bilang, pulang sekarang! Ada hal penting yang mau Ibu omongin!” sejak mendengar desahan wanitanya Bang Haris, Ibu sudah tidak menangis lagi.Syukurlah, setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak. Tanpa mendengar tan
POV Haris (1)Aku adalah laki-laki yang amat sangat beruntung. Memiliki istri yang cantik, cerdas, royal, pengusaha sukses, dan yang paling penting, sangat kaya raya.Dia bernama Laila Hussein. Perempuan keturunan Arab yang memiliki kekayaan yang sangat berlimpah. Anak tunggal dari pengusaha perkebunan teh di Bogor.Setelah orang tuanya meninggal, otomatis aset kekayaan Abi dan Uminya jatuh di tangan Laila.Memiliki harta yang melimpah tidak lantas membuat Laila berpangku tangan. Dia dan sahabatnya membangun perusahaan yang bergerak di bidang periklanan.Bisa dibayangkan, berapa banyak uang dan aset yang Laila miliki. Tapi, itu semua tidak akan berlangsung lama, karena sebentar lagi, harta Laila akan berpindah ke tangan padaku.Diam-diam aku dan Ibu mengambil sertifikat rumah dan membuat surat kuasa pengalihan perkebunan serta mobil pribadi Laila menjadi milikku.Laila memang istri yang baik. Dia ju
PoV HarisAku tak menyangka si Meyla berani bicara seperti itu. Kenapa juga wanita ini bisa tau kalau kami ingin hartanya? Padahal kalau jalan bersamaku, dia yang aku yang traktir.“Hahaha ... Mana mungkin kami ingin harta kamu, Mey. Harta Haris juga sudah melimpah. Bukannya kamu udah tau kalau Haris punya perkebunan teh yang luas di Bogor? Buktinya lagi ya, kalau kamu jalan sama Haris gak pernah ngeluarin uang kan?” Ibu menyangkal dugaan Meyla. Pintar juga Ibu. Aku bahkan tidak sempat berpikir. Terlalu syok dengan pertanyaan Meyla.Meyla tersenyum tipis. Kepalanya manggut-manggut.“Tapi, maaf. Aku gak ingin menikah sekarang-sekarang. Kalau Mas Haris ingin menikah, silakan saja dengan wanita lain.” Aku sudah menduga Meyla akan bicara seperti itu. Wanita seperti dia, mana mau punya suami. Meyla Inginnya kebebasan. Bagi wanita macam Meyla, punya suami Cuma jadi penghalang untuk kariernya. Ibu saja yang ngeyel, maksa terus
Sayup adzan subuh terdengar. Aku menggeliat, menguap, menyibakkan selimut menuju kamar mandi.Dalam sujud kupanjatkan rasa syukur tiada henti atas nikmat sehat dan kemudahan rejeki yang Allah berikan. Tak lupa memohon perlindungan dari orang-orang yang hendak berbuat buruk padaku.Selesai munajat, keluar kamar menemui Bi Inah. Menanyakan Ibu dan Haris pergi jam berapa?Kedua mataku menangkap sosok Ibu yang sedang menata meja makan. Mempersiapkan sarapan seperti biasa. Aku mengucek mata. Memastikan apakah yang aku lihat beneran Ibu atau hanya halusinasi.“Ayo, Laila, sarapan! Ibu udah bikin roti bakar. Rotinya juga udah Ibu kasih mayonese kesukaan kamu.” Ternyata benar itu Ibu. Kenapa dia belum juga pergi?“Kok masih berdiri di situ? Sini sarapan dulu?”Aku berjalan pelan. Menarik kursi lalu duduk.Ibu meletakkan roti bakar di atas piring yang berada di
Haris membisu. Menatap sendu. Lalu ia merunduk. Pertanyaanku tak kunjung dijawabnya.“Sudahlah, aku mau siap-siap ke kantor. Baiknya kalian juga segera berkemas. Sebelum aku usir tanpa membawa barang-barang.” Kataku sambil mengayunkan langkah menuju kamar. Ibu mendengus kesal. Membantu Bang Haris berdiri.“Sudah Ibu bilang, jangan ngemis-ngemis lagi!! Kamu pasti dapet perempuan yang lebih tajir dari si Laila!!” sungut Ibu, suaranya dipenuhi luapan amarah.Pertanyaan yang kutanyakan pada Bang Haris tadi, terjawab sudah oleh omongan Ibu. Untung saja, sejak mengetahui perselingkuhan Bang Haris melalui sambungan telepon tempo hari, Allah sudah menghapus cinta di hati ini, hilang tak berbekas.Usai mengganti pakaian dan memakai sedikit make up, aku menenteng tas bersiap berangkat ke kantor.Terdengar pintu diketuk. Aku mempersilahkannya masuk. Rupanya Bang Haris.“Laila, Abang mau ambil pakaia