“Haris, kamu baik-baik aja?” Wanita di sampingnya cemas. Pipi mantan suamiku itu dielus-elus.
“Sekarang kamu berani tampar aku, heuh???” Kedua mata Haris nyalak menatapku.
“Jelas aku berani. Mulut kamu itu kayak comberan. Seenak jidat ngatain orang selingkuh. Jelas-jelas kamu yang selingkuh!!” Aku benar-benar geram dan muak melihat si Haris. Kadang aku heran, kenapa ketemu manusia bermuka Badak terus sih?
“Terus ngapain kamu ke sini, pilih gaun pengantin segala, kalau bukan mau nikah lagi??”
“Eh, Parasit! Makanya jadi orang tuh tanya dulu sebelum menjudge!” Siska menyela.
“Haris, jadi ini mantan istri kamu?” Wanita di sebelah Haris bertanya menatapku dan Siska bergantian.
“Iya. Dia yang namanya Lai
PoV HarisTak kusangka, Laila berani menamparku di depan Siska dan Susi. Bagaimana bisa, wanita yang dulunya sangat lemah lembut berubah jadi kasar?? Ini pasti karena hasutan sahabatnya! Siska, si tomboy!Bukan hanya Laila yang kena hasutan Siska, Susi juga. Sikap Susi berubah 180 derajat setelah bertemu Laila dan Siska.Sialan!“Yangsus, tunggu! Tungu dulu!” kutarik lengan Susi.“Lepasin! Lepasin tangan aku!!” Tak kudengar ucapannya, tetap menggenggam dengan kuat.“Diam! Dengerin aku dulu!” Susi mulai melemah, tidak meronta-ronta lagi.“Jangan dengerin omongan Siska. Dia bilang kayak gitu karena sakit hati. Dulu, Siska pernah suka sama aku juga, tapi aku lebih memilih Laila.” Tentu saja, penjelasanku penuh kebohongan.“Laila gak tau, kalau sahabatnya itu suka sama aku. Padahal, Siska suka diam-diam menggoda.” Kalau bicara ngarang, aku emang j
Langkah kaki kuayunkan menuju kantin Perusahaan. Di kantin, aku termangu. Mengingat kembali perjalanan hidup. Terutama tentang persoalan cinta. Mungkin, memang seharusnya aku menyendiri dulu. Tidak membuka hati pada laki-laki siapapun. Setidaknya untuk saat ini atau beberapa tahun kemudian.Perjumpaan dengan Haris dan Sadewa seolah menguak luka lama. Luka lama yang terkadang masih kurasa.Menarik napas panjang, memejamkan mata. Tenang, saat ini yang kurasakan. Jauh dari para pria.Melihat kopi yang sudah mulai dingin. Lalu menyesapnya hingga tetes terakhir.“Sadewa udah pulang. Gue batalin kerja sama kita.” Mendongak, tanpa kusadari, Siska sudah duduk di bangku yang bersebarangan.“Kenapa?”“Muak gue. Ucapannya tinggi banget. Males dah ngadepin manusia congkak kek dia.”Tak lama secangkir kopi yang masih mengepul diantar pelayan. Entah kapan Siska memesan kopi tersebut.
Setelah menerima telepon Nafisa, aku segera memesan ojek online. Lagi ngirit, gak perlulah pesan grab mobil atau taksi. Keluar apartemen, menunggu di depan lobby. Butuh sepuluh menit hingga akhirnya ojek itu datang.Menepuk pundak tukang ojek, memberitahukan alamat yang akan dituju, motor itu pun mulai melaju.Perjalanan kali ini lumayan macet, mungkin karena bersamaan dengan jam keluar karyawan. Debu asap dari knalpot membuat mataku sedikit perih. Meski mengenakan masker dan helm, tetap saja debu jalanan membuat aliran napas agak tersengal.“Bang, gak ada jalan tikus? Biar cepet nyampenya.” Bosan sekali berlama-lama di tengah jalan raya. Entah sudah berapa kali kulirik arloji di pergelangan, hampir dua puluh lima menit terjebak macet. Sialan! Segini naik motor, bagaimana kalau naik taksi?“Gak bisa, Mas. Jalan tikus adanya dua ratus meteran lagi. Masuk gang.” Aku mendesah frustasi. Hanpdhone berdering. Kuambil dari saku
Handphone berdering, aku mengerutkan kening melihat nama si penelepon. Siska.“Napa, Sis?”“Cepetan ke sini! Di sini ada Nafisa!” seru Siska. Suaranya terdengar panik.Nafisa? Kenapa dia ada di sini? Aku berdiri, melongok ke luar jendela.Ya Allah, jangan-jangan yang kecelakaan Nafisa?Secepat kilat kusambar tas di atas meja, setengah berlari menghampiri tempat kejadian kecelakaan tersebut.Aku berjalan cepat, Membelah kerumunan, kulihat Nafisa berjongkok sambil menangisi si korban, sementara Siska mengelus punggung Nafisa, menenangkannya.“Naf?”“Lailaaaa ....” Nafisa menghambur dalam pelukanku.Menelisik wajah korban, sepertinya aku mengenal orang itu. Aku berjongkok, di samping korban tersebut. Kedua mataku membulat, saat menyadari kalau korban tersebut adalah Haris, mantan suamiku.Tapi kenapa Nafisa menangis?Sirine ambulance terdengar.
“Laila?” Siska memecah keheningan di antara kami.“Hm?”“Nafisa udah tau kalau si Haris mantan laki lo?” Siska menatapku, aku menggeleng.“Mau sampe kapan lo rahasiain?” sahabatku duduk di sebelah.“Entah. Lo tau sendiri kan keadaan sekarang kayak gimana? Gak tega gue bilangnya," ucapku bimbang. sebenarnya aku ingin berterus terang tapi keadaan yang membuatku tak tega menyampaikan perihal kalau Haris adalah mantan suamiku.“Gak tega bilang soal apa?” Aku dan Siska menoleh ke asal suara. Nafisa sudah berdiri di belakang kami.“Kapan lo dateng?” Siska salah tingkah, aku pun sama. Berdehem, menyuruh Nafisa duduk di antara kami.“Apaa ... ada sesuatu yang kamu rahasiain, La?”Melihat arah Siska, minta bantuan buat mengalihkan pembicaraan.“Itu, Naf ... hm ... soal Haris.” Duh, Siska kenapa bilang kayak gitu.
lSelesai makan, Damar langsung pamit. Aku mengantarnya sampai depan rumah.“Kamu bawa lagi aja mobil aku.” Aku menawarkan, Damar menoleh memicingkan mata.“Masa aku anterin ke sini terus aku bawa lagi. Kalau aku bawa lagi, besok kamu berangkat ke kantor gimana?”“Ya kamu jemputlah!”Ups! Duh aku ngomong apaan sih? Ngarep amat? Bikin repot orang aja. Melirik Damar, ia mengangkat sebelah alis.“Ya udah besok aku jemput.” Sahutnya saat taksi online berhenti tepat di depan gerbang. Aku mengikutinya dari belakang.“Kalau kamu pulang naik taksi, gak usah jemput aku.”“Sekarang gak jemput. Besok jemputnya. Dah ya aku pulang.” Dia membuka pintu mobil, tapi tidak langsung masuk. Malah menoleh ke belakang, menghadapku.“Besok, tunggu aku jam delapan. Kalau aku telat datang, jewer telinga aku. Oke?”Aku tersenyum dikulum. Memukul bahunya pelan
Tiba di parkiran kantor, Damar mematikan mesin mobil. Aku bergegas turun. Namun, lelaki berkulit putih itu masih saja duduk di balik kemudi. Aku menghampiri, berdiri di samping kaca pintu mobil.“Kenapa gak turun?” tanyaku heran. Dia tampak santai.“Kamu duluan.”“Kok gitu?” Aku semakin heran mendengar jawabannya. Damar tampak berpikir.“Gak apa-apa emang, seorang bos jalan bareng sama bawahan?” Kedua bola mataku membulat. Tak menyangka Damar akan berkata demikian.“Kamu ini ... ah! Udahlah terserah.” Aku pikir dia tidak menganggapku bos. Paling tidak menganggap teman atau sahabat. Tapi ternyata? Sudahlah! Aku berjalan cepat, memasuki lobby, masuk lift, menyusuri koridor menuju ruang dengan perasaan yang tak menentu. Antara emosi dan kecewa. Tapi kenapa mesti demikian??Sapaan dari para karyawa
Hubunganku dengan Damar semakin dekat. Apalagi semenjak Siska cuti mau menikah. Semua pekerjaan Siska, Damar yang mengerjakan.“Hallo,” sapaku saat Damar menelepon.“Nanti malam ada acara gak?”“Enggak ada sih. Kenapa?” Aku bertanya balik sambil mengganti chanel televisi. Sabtu Minggu kantor libur. Biasanya dua hari itu aku habiskan waktu berleha-leha di rumah bersama Bi Inah.“Mau diapelin gak?” Mengerutkan dahi, berpikir maksud pertanyaan sepupu sahabatku.“Diapelin siapa?” tanyaku menahan tawa. Kalau sudah dekat, Damar tipikal cowok yang humoris. Aku sering tertawa jika bersamanya.“Mas Damar. Mau gak?”Seketika tawaku meledak. Dia bilang Mas Damar? Ya ampun lucu amat. Usianya aja jauh lebih muda dariku, masa dipanggil ‘Mas’.“Laah ... malah ketawa. Oke, nanti malam aku ke rumah kamu. Jangan diusir apalagi diteriaki maling. Ok