PoV Haris
“Kata Haris, kamu itu wanita kaya raya tapi mat-re!!! Suka morotin duit Haris dan Ibunya!!” ucapan Tante Susi membuatku terlonjak. Tak menyangka ia berkata demikian. Kedua mata Ibu membesar. Tante Susi lancang sekali bicara seperti itu. Aduh, Bakal terjadi perang ketiga. Tatapan Meyla beralih padaku. Gawat!
“Apa benar, Mas bicara seperti itu?” Meyla berbicara datar. Tidak terlihat kemarahan di wajahnya. Aku kira dia akan langsung ngamuk, marah-marah atau menamparku berulang kali. Untunglah tidak terjadi.
“Eu, eu, a-anu, Mey—“
“Meyla, Sayang ... jangan dengerin ya omongan si Susi. Dia itu iri sama kamu, Mey ....” Ibu mencoba menenangkan Meyla. Mengusap-usap tangan Meyla.
“Kalau benar Mas Haris bicara seperti itu, aku lebih baik mundur, Tan.” Meyla menepis tangan Ibu pada lengannya.
&nb
Hari ini, aku berencana ke kota Karawang untuk berziarah ke makam Ummi dan Abi. Hampir enam bulan tidak ke sana.“Lo sendirian ke sana?” tanya Siska di sambungan telepon, saat aku ijin tidak masuk kerja.“Iya,” sahutku sambil memasukkan pakaian ke dalam tas ransel. Rencananya mau menginap di sana.“Ya udah hati-hati. Oh iya, pelaku satunya belum ketangkep. Dia masih jadi buronan.” Aku menghentikan aktivitas.“Emang gak bisa besok-besok ke makam orang tua lo nya? Paling gak sampe polisi tangkep si pelaku.” Sambung Siska.“Gak bisa, Sis. Lo tenang, insya Allah gue baik-baik aja.”“Lo hati-hati.”“Iya. Udah ya, gue mau berangkat sekarang.”“Sip.”Aku langsung menggendong tas ransel, keluar kamar dan menguncinya. Menuruni anak tangga, terlihat Bi Inah sedang mengepel.“Bi, Laila b
PoV Haris“Bu, itu bukan Meyla,” ucapku mengingatkan Ibu. Ibu masih saja menyilangkan tangannya ke pinggang wanita yang tidak kutahu namanya itu.Taksi yang kupesan pun datang. Aku menarik lengan Ibu agar terlepas dari pinggang wanita berdress tersebut. Wanita itu mulai risih.“Ayok, Bu! Kita pulang! Meyla udah nungguin Ibu di rumah.”Ibu melepaskan pelukannya. Menatapku.“Meyla nunggu Ibu di rumah?”“Iya.”“Ayo! Ayok kita pulang. Meyla ... tante dataaaangg....” Ibu bergegas masuk ke dalam taksi. Padahal aku belum bilang kalau taksi itu pesananku. Benar-benar aneh tingkah ibu sekarang.“Mas, lebih baik Ibunya dimasukin ke rumah sakit jiwa. Bahaya kalau dibiarin keluyuran begitu.” celetuk wanita tersebut.“Maaf, Mbak. Ibu saya gak gila
Ternyata masakannya enak juga. Walaupun dengan menu sederhana. Apalagi goreng ikan Lelenya, gurih!Tak terasa nasi di atas piring sudah habis tanpa sisa. Begitu pula dengan sambal terasinya. Benar-benar mantap!“Enak ‘kan?” Damar bertanya sambil memerhatikanku. Aku kikuk dibuatnya.“Iya enak," sahutku malu-malu.“Iyalah, piringnya sampe bersih!” celetukkan Damar membuatku semakin tersipu malu. Aku diam tak menanggapi guyonan laki-laki berkemeja biru muda itu.“Mau nambah?” tanyanya yang kutanggapi dengan menggeleng cepat.“Udah kenyang,” sahutku menyeruput teh hangat yang berada di sisi. Segar ... apalagi cuacanya mendung begini. Membuat badan terasa hangat.“Aku mau bayar dulu.” Damar beranjak menemui penjual pecel tersebut. Selesai membayar, Damar meng
PoV Haris“Har, Haris!”“Iya, Yang?” Tante Susi menepuk bahuku, embuyarkan lamunan. Aku masih tak percaya kalau selama ini ibu hanya menjadikanku Sapi perah.“Malah ngelamun. Jadi sekarang Ibu kamu gimana keadaannya?” tanya Tante Susi menatapku. Aku mengembuskan napas.“Masih kayak orang gila. Nyebut-nyebut nama Meyla terus.” Guratan wajah tante Susi terlihat tidak suka.“Ibu kamu terlalu obsesi pengen punya mantu kayak si Meyla. Jadiilah gila begitu. Padahal aku juga tak kalah cantik dari si Meyla. Aku cantik, seksi, montok, kaya raya, Apalagi coba yang kurang? Dasar gak waras.” Mulut tante Susi menyerocos tiada henti.“Sudahlah, ibu gak suka karena Yangsus janda.” Tante Susi terlihat gusar.“Janda perawan kan sama-sama perempuan. Malah banyak tuh, perempuan yang belum nikah tapi udah gak perawan. Mending akulah, gak perawan juga ya jelas karena p
Pagi harinya kulihat Nafisa sedang menikmati sarapan. Aku duduk di kursi yang bersebrangan dengannya.“Pagi, Laila.” Sapa Nafisa menggigit roti.“Pagi,” sahutku sambil mengolesi roti tawar dengan selai.“Ada beberapa hal yang mau aku bicarain. Apa kamu buru-buru?” Celetuk Nafisa setelah ia meminum susu.“Enggak. Bicara apa?” Kulihat Nafisa yang mengenakan kaos lengan panjang dan celana jeans dengan lekat.“Pertama, tujuan aku ke sini sebenarnya mau mengembalikan uang tabungan Ummi. Jadi begini, uang tabungan Ummi yang aku bawa kabur, aku gunakan untuk modal usaha bersama Jhoni di Amerika. Usaha kami berjalan dengan lancar. Aku membuka usaha restoran. Jhoni yang memang pernah menjadi chef di salah satu hotel, akhirnya bisa membuat restoran kami semakin maju.” Nafisa menjeda bicara, ia meneguk kembali susu yang tinggal setengah.“Aku pikir, Ummi dan Abi masih ada. Aku ke s
PoV HarisTak berapa lama, wanita renta dengan gamis hitam kerudung putih datang menghampiri. Wanita itu duduk di atas kursi roda didorong oleh wanita yang menyambut kedatangan kami.“Bunda, dua orang ini yang ingin bertemu. Mas, Mbak, beliau adalah Bunda Fatimah. Pengurus panti yang lama.” Wanita berkerudung hijau memperkenalkan. Aku tersenyum sambil mengangguk.“Kalian siapa? Mau apa?” terdengar parau suara Bunda Fatimah.“Saya Susi, ini Haris. Katanya, Haris dulu pernah tinggal di sini.” Tante Susi membuka suara. Bunda Fatimah membenarkan letak kaca mata.“Oh begitu. Haris, mau tau asal usulnya?” Aku mengangguk mantap. Rasanya sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa kedua orang tua kandungku. Jika mereka berasal dari keluarga kaya raya seperti di film-film, dengan senang hati aku akan tinggal bersama mereka dan meninggalkan Tante Susi yang perhitungan itu. tapi kalau sebaliknya,
PoV LailaPerjalanan menuju kantor terjebak macet. Mungkin karena aku datang lebih siang dari biasanya. Pembicaraan dengan Nafisa lumayan menyita waktu. Tapi tak masalah, dengan begitu, aku jadi tahu kalau Nafisa masih seperti dulu. Apalagi dia masih sempat membelikanku, Mang Karman dan Bi Inah oleh-oleh. Sudah menjadi kebiasaan dia sedari dulu. Selalu membelikan buah tangan kepada kami.Kesalahan Nafisa Cuma rela kabur bersama Jhoni dan membawa uang tabungan Ummi yang tidak sedikit. Meskipun uang itu sekarang sudah dikembalikan.Di tengah kemacetan, mataku menangkap sosok yang tak asing sedang duduk bersandar di tiang listrik sambil tertawa. Penampilannya sangat urak-urakkan. Aku membuka jendela mobil, memastikan siapa wanita yang sedang duduk di pinggir trotoar jalan raya. Mataku membulat saat menyadari siapa wanita tersebut.“Ibu? Itu kan Ibunya Haris?” Karena kendaraanku berada di sisi kiri, sosok Ibu sangat jelas. Aku melihat ke dep
l“Lo yakin itu ibunya Haris?” Sepertinya Siska tidak percaya dengan ucapanku.“Gue yakin. Tadi gue udah nyuruh Meyla nemuin Ibunya Haris di pinggir trotoar.”“Dia mau?”“Mau. Katanya lagi otewe.” Siska menyilangkan kakinya.“Gue jadi penasaran. Bener gak ibunya Haris jadi gila.”“Gue gak bilang dia gila. Cuma penampilannya aja kayak orang gila.”“Elah sama aja. Ya udah, gue mau lanjut kerja.” Aku mengangguk. Membiarkan Siska melangkah keluar ruangan.Satu jam kemudian, ada pesan dari Meyla. Sebuah foto Ibunya Haris.[Lai, Ibunya Haris mengenaskan. Aku gak berani deketin. Tapi aku udah telepon ambulance rumah sakit jiwa. Biar petugas saja yang bawa dia.]Setelah membaca pesan Meyla, aku langsung menelepon.“Halo, Lai ....”“Benar kan itu ibunya Haris?”“Iya bener. Aku ngeri lia