Janda Lugu Tetanggaku 16Bab 16Ternyata Mbak Dian adalah ….“Bontot lauk untuk siapa, Mbok?” Tanyaku pada pembantu di rumahku saat melihatnya membungkus telor dasar, orek tempe pedas dan mie goreng buatannya. “Ini, Non, buat pembantu depan rumah kasihan,” jawab Mbok Wati seraya mengareti bungkus kertas minyak berwarna coklat. “Pembantunya siapa?” Aku menaruh gelas bekas minum air putih di wastafel. Mbok Wati melirik kanan kiri, “Bik Ipah, yang momong Lova,” ucapnya pelan. Keningku mengerut dalam, “kenapa emangnya?” Setahuku, Bik Ipah pembantunya Mbak Dian baik-baik saja.“Suka nggak ditinggalin lauk, Non, cuma beras doang, kasihan saya.” Bik Ipah mengambil tas plastik hitam lalu memasukkan bungkusan kertas ke dalamnya. “Apa nggak ada telor atau mie instan seperti di di sini, Mbok?” Aku membandingkan dengan dapur rumahku. Di kulkas selalu ada telor, daging ayam, ikan, sayuran meskipun dikit. Mie instan, makanan kaleng seperti sarden dan kornet juga ada di kabinet dapur. Aku membe
Janda Lugu Tetanggaku 17Bab 17Jaga Jarak“Hai Lova ….” Sepulang kerja, aku mendapati Lova yang sedang digendong oleh Bik Ipah, pengasuhnya. Sudah cukup lama tak bertemu, bocah kecil itu tampak semringah bertemu denganku. Badannya melunjak-lonjak dalam gendongan pengasuhnya. “Mau ikut Tante?” Tanyaku sembari menoel pipinya. Lova semakin girang, mulutnya meracau bahasa bayi yang aku tidak mengerti. “Lova sudah mulai ngoceh, ya, Bik?” Aku bertanya sembari mengambil Lova dari gendongan bik Ipah. “Iya , Non, udah mulai pinter manggil orang. Seringnya mana gol Mama, gitu.” Bik Ipah tersenyum sembari menatap Lova yang sekarang berpindah dalam dekapanku. Lova senang sekali melihat wajahku, dia berkali-kali menjerit kegirangan. “Mamanya ke mana, Bik?” Tanyaku saat tak melihat mobil Mbak Dian di halaman rumahnya. “Oh, Ibu belum pulang. Nanti malam,” sahut bik Ipah. Hm, bukannya jam kantor sudah selesai? Seharusnya Mbak Dian juga sudah sampai di rumah. “Semenjak punya mobil, Ibu pulangn
Janda Lugu Tetanggaku 18Bab 18Mulai curigaSudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Mbak Dian. Dengan membawa sekotak biskuit bayi yang kubeli kemaren di minimarket, aku mendatatangi rumah Mbak Dian. Sebenarnya aku tak sekedar ingin berkunjung tetapi ada sesuatu yang ingin aku lihat sebagai bukti untuk meyakinkan hatiku. Berjalan di samping mobil merah Mbak Dian yang moncongnya menghadap ke jalan, mataku melihat ke dalam. Hm, keren juga interiornya. Mobil second full variasi. Selera Mbak Dian boleh juga. Sebagai perempuan yang sudah terbiasa memiliki dan menyetir mobil sendiri sejak SMP, aku sedikit banyak paham tentang interior mobil. Aku juga tau barang bagus. “Lova …” aku memanggil dari depan pintu. Terdengar tawa riang bocah kecil yang usianya hampir satu tahun itu. Melepas alas kaki, akupun memasuki rumah mbak Dian. “Eh, ada Tante Laras, tuh,” ucap Bik Ipah menunjuk padaku. Lova yang sudah berdiri itu melonjak-lonjak kegirangan melihatku. Bik Ipah yang memegangi badannya dar
Janda Lugu Tetanggaku 19Bab 19PercayaLangkah cepat tadi menuju kemari. Aku, Felicia dan Reta terdiam menatap pintu. Wajah mbak Dian menyeruak masuk. Kedatangannya membuatku kaget. Mbak Dian tak mempedulikan keberadaan kami. Sempat kulihat tahu matanya yang memerah karena tangis. Tak sapaan dari Reta maupun Felicia. Kedua temanku itu seperti membeku melihat Mbak Dian. Mbak Dian membuka lokernya lalu mengambil barang-barang miliknya dengan cepat. Masih terdengar isak lirih tangis dan juga helaan nafasnya. Pasti ini adalah hari yang berat untuk Mbak Dian. “Kamu tidak apa-apa, Mbak?” Tanyaku pelan. Mbak Dian membisu, tangannya memasukkan barang-barang ke dalam paperbag yang dibawanya. “Sudah pasti dia malu dong, ketahuan selingkuh dengan suaminya Bu Direktur. Hahah.” Reta tertawa. Rupanya temanku itu tak punya rasa empati atas musibah yang menimpa Mbak Dian. Mataku melotot pada Reta, menyuruhnya diam. “Makanya Dian, jadi orang tuh nggak usah ambisius. Jadi menghalalkan segala car
Janda Lugu Tetanggaku 20Bab 20Mbak Dian nekat“Mau ke mana, Mas?” Tanyaku saat melihat Mas Azka memakai jaket dan mengambil kunci mobil. Tak biasanya dia keluar malam-malam tanpa mengajak aku.“Ke luar bentar,” katanya sambil mendekat dan mencium pucuk kepalaku. “Aku mau ke minimarket depan, bareng dong?” Mas Azka menatapku sejenak. “Kamu naik ojol dulu, gapapa? Soalnya aku sudah ditungguin teman,” katanya sambil menengok jam di tangannya.“Ok, deh.” aku mengangguk. Setelah mengunci pintu, aku kembali ke kamar dan memesan ojol melalui aplikasi dan segera berganti baju dengan celana jeans dan kaos. Kamarku ini letaknya di depan dengan jendela menghadap ke jalan berseberangan dengan rumah yang dihuni Mbak Dian. Aku tak perlu ke teras untuk menunggu ojol, dari sini akan terlihat jika sepeda motor dan Abang ojolnya datang. Saat menarik tirai korden untuk menutupnya, tak sengaja aku melihat mobil mbak Dian yang berjalan pelan meninggalkan rumahnya. Dari balik korden, aku mengawasi.
Janda Lugu Tetanggaku 21Bab 21Dian berdustaLaras pergi dari rumah“Kau ini bicara apa, Dian!” Mas Azka nampak sangat marah. Terlihat dari caranya membentak mbak Dian.“Sudahlah, Azka, kau berterus terang saja pada Laras dan Mamamu.” Mbak Dian sesenggukan.Aku semakin tidak mengerti. Mama pun juga sepertinya tidak paham apa yang tersembunyi di antara Mbak Dian dan Mas Azka. “Dian ingin bercerita, Tante …” mbak Dian mengusap air matanya. Aku masih berdiri dan menatapnya. Jujur aku sangat tertarik dengan sandiwara yang sedang dimainkan Mbak Dian. Mas Azka terlihat sangat tidak nyaman. Beberapa kali terdengar suara decak Kesal dari bibirnya. Mbak Dian kembali membuka mulut. “Sebenarnya saat kuliah dulu, Azka dan Dian pernah terlibat cinta terlarang.”“Maksudnya apa, Mbak. Langsung saja nggak usah bertele-tele!” aku sudah tersulut emosi. “Laras, jangan percaya omongannya.” Mas Azka mendekat padaku. Aku bergeming dan tetap menatap mbak Dian. Tangan Mas Azka mencengkeram sandaran kurs
Janda Lugu Tetanggaku 22Bab 22Mengambil kesempatan dalam kesempitanDua hari sudah aku tinggal di rumah Mama kandungku bersama Mbak Tin, pembantu rumah tangga. Aku juga berangkat kerja dari sini. Ponselku tak pernah berhenti berdenting. Puluhan bahkan mungkin ratusan pesan dan miscall datang dari Mas Azka. Aku membacanya satu persatu meski tak ada yang kubalas. [sayang, udah dong, marahnya. Aku kangen] [aku belum makan, yang. Banyak kerjaan nih, sampai malam][sepi nggak ada kamu][pulang, yang … aku nyesel]Membaca berulang kali pesan-pesan yang dikirim suamiku membuat bibirku selalu menyungging senyum. Aku juga kangen, Mas, tapi, biar mengendap dulu kangennya, ya? Nanti kita luapkan bersama. Jujur, aku sendiri juga menahan rasa yang sepertinya sudah membeludak di dada. Butuh penampungan wkwk. Tapi aku nggak boleh lemah. Aku akan membiarkan dulu Mas Azka disiksa rindu agar dia tau rasanya kehilangan. Rencananya aku akan berada di sini satu minggu yang artinya tujuh hari saja.
Janda Lugu Tetanggaku 23Bab 23Kalah terus“Mbak Dian ngapain di sini?” Aku menatapnya. Mbak Dian melirik sekilas dan mengulum senyum, selanjutnya perempuan yang lebih pendek dariku ini duduk di sisi ranjang dekat suamiku dan dengan santainya mengaduk mangkuk bubur di tangannya. “Semalam Farhan mencarimu tetapi kau tidak mengangkat teleponnya. Kebetulan aku ke sini jadi Farhan menitipkan Azka padaku untuk menjaganya. Azka sedang sakit, dari semalam dia demam,” urai Mbak Dian seakan mengolokku yang kalah satu ronde dengan dia. Hatiku bergejolak, panas rasanya. Rupanya Mas Azka tidak bercerita tentang permasalahan rumah tangga kami denga teman-temannya, maka dari itu Farhan tak tau kalau aku pergi meninggalkan rumah sudah satu minggu lamanya. “Kalau begitu, mbak Dian silakan pulang karena aku sudah datang,” kataku mengusir halus. Bibir Mbak Dian kembali mengulas senyum. Aneh saja, meski senyumnya manis tapi di mataku sangat menjengkelkan dan aku muak melihatnya. “Sebentar ya, Ras