"Tembakannya meleset Tuan," ungkap seorang pria kepada Bram. Pria itu tak lain adalah anak buah Bram yang menjadi pelaku penembakan penghulu di pernikahan Bian. Dia bersimpuh di kaki Bram sebab dia gagal melaksanakan tugasnya.
Bram meraih kerah pria itu hingga dia terpaksa berdiri dengan wajah ketakutan. Kemudian Bram menamparnya dengan kencang.
Plak.
"Dasar bodoh dan tidak becus, jadi ini balasanmu saat aku sudah membayarmu hah?!"
"Ma-maaf Tuan. Saya tidak sengaja. Saya ingin menembak Tuan Bian, tapi saya tidak tahu kenapa pelurunya malah melesat, Tuan. Ampuni saya. Jangan bunuh saya Tuan," sahutnya dengan nada bergetar dan pipi memerah, sekuat tenaga ia menahan sakit atas tamparan Bram. Sungguh, sebenarnya dia tidak tega melakukan penembakan ini. Karena dilandasi akan keperluannya terhadap uang demi anak dan istri, dia terpaksa menuruti perintah Bram.
"Argh sudahlah."
Pagi pun tiba, tak terasa sembilan jam sudah Anjani dan Bian melewati malam dalam tidur mereka. Anjani terlihat sangat nyenyak lain halnya dengan Bian, dia sesekali terbangun sebab pikirannya kadang terbayang masalah penembakan kemarin yang belum kelar. Namun, itu tak penuh membuatnya terjaga sepanjang malam. Bian tetap tidur dengan porsi waktu seperti biasa yang telah dia atur.Saat bangun, Bian tersenyum kecil mendapati Anjani merebahkan kepala di dadanya. Meski tangannya jadi terasa sedikit pegal Bian tetap enggan menjauh, atau nanti istrinya terbangun dan jadilah Bian merasa bersalah. Anjani tampaknya juga nyaman dalam posisi seperti ini. Entah berapa lama sudah, dia sangat menikmati."Selamat pagi, istriku," bisik Bian di telinga Anjani. Membuat wanita itu melenguh entah karena mendengar suaranya atau karena hal yang lain.Dan yah, lagi-lagi wanita yang mengenakan piyama putih itu akhirnya terjaga. Anjani menggeliat sebentar, perlahan membuka mata sembari m
Mereka masih menikmati masa-masa pernikahan, dan untuk dua minggu ke depan, Bian stay di rumah menghabiskan waktu bersama Anjani dan Clara. Meski begitu, dia tetap memantau kinerja perusahaannya dengan sesekali datang ke kantor Pradipta.Begitu pula untuk masalah penembakan yang terjadi tempo hari pada penghulunya, Bian tidak mungkin lupa, sebab itu dia datang menjenguk beliau ke rumah sakit. Memberikan beberapa oleh-oleh dan santunan lain sebagai rasa tanggung jawab atas apa yang terjadi.Anjani tidak ikut, Bian hanya sendiri, itu pun dia dijaga oleh beberapa pengawal sebagai antisipasi jika saja pelaku itu nekat melakukan penembakan lagi."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Bian pada seorang dokter laki-laki, kebetulan pas dia datang dokter itu sedang memeriksa kondisi pak Jaka, penghulunya. Bian menaruh oleh-oleh yang dia bawa ke atas nakas di samping brankar pak Jaka.Dokter Ares menurunkan stetoskopnya lalu menghampiri Bian dan tersenyum tipis. "Alham
Anjani menunggu dengan cemas kepulangan Bian, dia duduk di sofa ruang tamu dengan mata yang tak lepas menyorot pintu. Berharap pria yang sangat dicintainya itu pulang dengan keadaan baik-baik saja. Bukan Anjani terus-terusan berpikir negatif, dia tahu Bian memiliki banyak perlindungan dari bodygard-bodygardnya, dia tahu Bian adalah pria yang kuat yang bisa melindungi dirinya sendiri bahkan orang-orang sekitar. Namun, pikiran khawatir dan rasa sangsi sangatlah sulit Anjani tahan dalam keadaan seperti ini.Dia merasa bahaya masih saja mengintai Bian dan entah kapan kekhawatirannya ini akan berlangsung, mungkin setelah pelaku itu ditemukan baru dia bisa tenang."Bu Ani, ayo makan siang. Bibi udah masak loh masakan kesukaan ibu," ajak Bi Ratih. Anjani menggeleng pelan dan tersenyum tipis."Nanti aja ya, Bi. Aku nunggu mas Bian pulang," jawabnya.Bi Ratih mengangguk paham. Dia mengerti mereka adalah pengantin baru, pasti maunya berduaan terus
Beberapa hari kemudian pak Jaka berhasil melewati masa kritisnya, kini beliau sudah mampu bicara meskipun masih sangat pelan. Dokter juga mengatakan kondisi jahitan di pinggang pria itu telah mengering dan mungkin sebentar lagi akan benar-benar baik. Artinya, mungkin tidak sampai seminggu lagi Pak Jaka diperbolehkan pulang dari rumah sakit.Bian yang mendengar semua penuturan tersenyum dengan lega, ia merasa sangat bersyukur pak Jaka akhirnya bisa bangun dari koma.Setelah berterima kasih pada Dokter Ares yang menangani pria itu, Bian mengalihkan perhatiannya pada pak Jaka yang sedang menyantap buah-buahan dengan lahap."Bagaimana kondisinya pak? Bapak sudah merasa baikan?" tanya Bian.Pak Jaka mengangguk pelan, "Iya, Nak. Terima kasih, luka bapak sudah tidak terasa lagi sakitnya.""Syukurlah," Bian mengusap pundak pria itu, "bapak banyak banyak istirahat saja dulu, tidak perlu terlalu memikirkan anak istri bapak, keperluan
Selesai berbelanja ke pasar Anjani kembali ke rumah, berbeda dengan Bian yang harus pergi ke kantor untuk kembali bekerja.Di dapur, seperti Biasa Anjani mulai memasak dibantu oleh Bi Ratih, bedanya dapur dan seluruh peralatan masak yang ia gunakan di mansion ini benar-benar mewah. Semua peralatan terbuat dari bahan anti gosong dan logam yang tidak mudah berkarat.Anjani merasa sangat dimanjakan dengan semua peralatan itu. Sesekali ia tersenyum membayangkan betapa awetnya peralatan ini. Sangat berbeda dengan peralatan dapur di rumahnya yang sebagian besar sudah gosong.Selain peralatan masak serta kitchen set, kursi dan pantry yang digunakannya juga sangat empuk, bentuknya yang di desain khusus oleh Bian agar dia lebih mudah duduk dan berdiri menggunakan tongkat."Ada yang bisa saya bantu nyonya?" Anjani menatap ke samping ketika seorang chef menunduk dan bertanya padanya, Anjani tidak bisa menatap langsung mata laki-laki itu
Adanya Cintya di mansion ini menghilangkan rasa sepi Anjani, terutama saat dulu di pagi hari, ia ditinggal berdua dengan bi Ratih dan para pelayan. Yang notebene nya para pelayan itu berbicara hanya ketika mereka perlu, sedangkan bi Ratih kadang juga sibuk dan harus pulang ketika sudah malam ke rumah aslinya.Sekarang dia dan Cintya sedang menonton serial kartun kesukaan Clara di ruang keluarga, seraya memakan popcorn spesial yang dibuat khusus oleh chef ahli di mansion ini.Sementara yang merekomendasikan film justru asik menggambar menggunakan pensil warna yang baru dibelikan Bian."Yeay aku sudah selesai menggambar," Kata Clara mengangkat bangga kertas gambarnya menunjukannya pada Cintya dan Anjani. Cintya tersenyum kecil dan mengusap lembut rambut cucunya itu."Bunda, coba lihat deh, ini keluarga kita." Ia menunjuk 4 orang yang berada di permukaan kertas tersebut, dengan dia ber
Deg."Aku pu—""Aku hamil anak Bian... "Lantas semua penghuni ruangan tersebut terdiam kaku, detik terasa berhenti, semuanya tertuju pada Laura yang tersenyum kemenangan, pada perkataan wanita itu barusan.Terkhusus bagi Anjani yang sangat syok mendengar ucapan wanita itu, dadanya sakit seperti dihantam puluhan balok keras, sedangkan Bian masih di ambang pintu mengepalkan tangan. Tentu saja ia tidak percaya apa yang diucapkan Laura barusan, wanita itu pembohong. Anjani tidak boleh tertipu oleh muslihatnya."Diam Laura! Kau pembohong!" Pungkas Bian melangkah maju dan berdiri di samping Anjani. Saat itu Anjani benar-benar bingung dan kepalanya mulai terass pusing."Bohong? Aku nggak bohong Bian. Ini benar anakmu, ini anak kita," tambah Laura yang membuat Bian semakin ingin mencekik leher wanita itu. Laura ternyata belum jera dan sama sekali tidak belajar dari pengalamannya dulu."Cukup! Aku tidak mau
Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n