Home / Rumah Tangga / Janda Tanpa Malam Pertama / 07. Diam yang Paling Mengerti

Share

07. Diam yang Paling Mengerti

Author: Nongnanna
last update Last Updated: 2025-09-26 16:09:12

Setelah beberapa saat, suasana kafe mulai sepi. Gavya meneguk kopi terakhirnya, matanya masih menatap Zeen yang tampak tak tennag setelah insiden ponsel tadi.

“Aku, sebaiknya pulang dulu,” ucap Gavya pelan.

Zeen menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya meski masih ada ketegangan di mata. “Aku antar, aku takut pencuri itu akan datang lagi untuk mengganggu,” katanya.

Sampai detik ini, Gavya tidak pernah melihat Zeen membawa kendaraan. Dia hanya berjalan kaki dan berpenampilan sederhana layaknya orang biasa. Tidak ada yang mencolok kecuali wajah tampannya dan tubuhnya yang wangi dan bersih.

Mereka berjalan melewati jalanan sepi, sesekali langkah kaki mereka bergema di trotoar basah. Gavya melirik ke arah Zeen. “Sekali lagi terima kasih karena sudah menyelamatkan ku,” ucapnya pelan.

Zeen menoleh sebentar, menatapnya tanpa banyak kata, lalu mengangguk. "Yang terpenting kamu aman.”

Sampai di depan gang rumah Gavya, mereka berhenti. “Sampai di sini saja,” katanya.

Zeen mengangguk, "Kalau ada apa-apa jangan ragu untuk menghubungi ku."

Gavya memasang wajah bingung, kemudian terkekeh kecil. "Bagaimana cara aku menghubungi mu?" tanyanya.

"Oh iya, aku lupa. Kita bahkan belum sama sekali bertukar kontak," ujarnya seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Gavya tersenyum tipis, "Kita berbagi sosial media saja."

"Tentu." Zeen mengeluarkan ponselnya dan mereka pun saling follow media sosial masing-masing.

Zeen menatapnya sebentar, lalu berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Gavya di depan pintu rumah dengan perasaan hangat tapi juga bertanya-tanya siapa sebenarnya Zeen, dan apa yang membuatnya bisa begitu berbeda dari orang lain.

Malam harinya sebelum tidur, Gavya teringat akan kejadian tadi. Merasa gelisah, ia mulai membuka ponsel dan memutuskan untuk memeriksa akun sosial media milik Zeen, ia penasaran siapa sebenarnya pria misterius yang baru ia kenal tapi membuatnya merasa aman.

Akun itu hampir kosong. Hanya lima foto, sebagian besar hanya sebuah ruangan seperti ruang kerja, langit senja, sudut kafe yang sepi. Tak ada satu pun foto wajah Zeen. Sesekali ia memotret tangannya sendiri atau tablet yang selalu dibawa ke kafe. Gavya menatap layar, alisnya sedikit berkerut.

“Jadi, apa pekerjaan pria itu sebenarnya?” gumamnya pelan, meski tahu pria itu mungkin tidak akan memberitahu begitu saja.

Hari Senin adalah hari yang sibuk. Tapi tidak untuk wanita seperti Gavya, setelah berusaha mencari pekerjaan kesana kemari tak ada hasil. Ia memutuskan untuk belok ke toko buku yang menjadi langganannya. Hari ini, buku pesanan miliknya mungkin sampai. Ia sangat bersemangat.

Sayangnya, saat ia sampai dan bertanya pada sang penjaga toko ia malah naik darah di buatnya.

“Maaf, buku yang kemarin anda pesan sudah dibayar lima kali lipat harganya dan akan di ambil hari ini juga. Sayangnya, sudah tidak ada stok untuk saat ini. Mungkin nona bisa menunggu beberapa bulan lagi.”

Gavya mengerutkan alis, kaget sekaligus kesal. “Tapi saya memesan duluan! Saya bahkan membayar uang muka! Siapa yang berani menyerobot antrean? Tidak mau tahu, aku akan menunggu orang itu sampai datang!” serunya, berdebat ringan tapi tegas.

Saat hendak siap berdebat lagi dengan penjaga toko, aroma familiar membuat Gavya tercekat. Penjaga toko wanita itu tersenyum ramah pada pembeli yang baru saja datang.

"Selamat datang tuan, buku yang anda pesan sudah siap," ujar sang penjaga toko menyerahkan buku yang sama dengan yang Gavya pesan.

“Zeen?” suara Gavya tercekat.

Zeen menatapnya sekejap, alisnya terangkat. “Gavya? Kamu disini juga?"

Keduanya terdiam sesaat, kaget dan canggung sekaligus. Suasana sejenak hening, hanya terdengar bunyi langkah kaki pengunjung lain.

"Mm, aku bisa jelaskan." Zeen merasa tidak enak pada wanita itu.

Akhirnya, mereka memutuskan duduk di kursi kecil dekat rak buku.

"Aku tidak tahu kalau kamu yang pesan buku ini, novel Mo Dao Zu Shi karya MXTX ini juga jadi salah satu novel favorit mu," ujar Zeen merasa tidak enak dan sedikit malu jika dia sebagai pria juga sangat menyukai novel XianXia dari China.

"Aku juga tidak menyangka, aku sudah menunggunya bertahun-tahun sampai buku itu sampai di sini, dan ternyata malah aku kehilangannya lagi."

"Kau boleh mengambilnya. Itu memang milik mu, aku yang salah. Tidak seharusnya aku menyerobot antrean." Zeen berkata dengan lantang dan Gavya tentu saja terkejut.

"Eh, serius?"

Zeen mengangguk, "Ya, tentu saja. Aku serius."

Zeen menyerahkan buku itu, Gavya menerimanya dengan wajah penuh semangat.

"Terima kasih Zeen, untung yang menyerobot adalah kau. Jika itu orang lain, dia pasti sudah babak belur aku pukuli karena kesal."

Mereka tertawa kecil, dan sejenak suasana toko terasa begitu hangat meski hanya duduk berdua di antara rak-rak buku.

Gavya tidak bisa menahan senyum tipisnya. Tanpa sadar, hatinya merasa nyaman dan aman, lagi-lagi di dekat pria misterius yang entah kenapa selalu muncul di momen yang tepat.

"Kalau begitu, aku pamit duluan ya? Ada pekerjaan yang harus ku kerjakan." Pamit Zeen pada Gavya dan beranjak dari tempat duduknya.

Gavya mengangguk dan tersenyum. "Hati-hati di jalan."

Zeen melambaikan tangannya, Gavya menatap punggung lebar yang perlahan menjauh dari pandangannya.

Gavya memeluk novel itu dengan perasaan bahagia. Ketika ia hendak pergi, penjaga toko wanita itu memanggilnya dengan nada sewot. "Hey!"

Gavya menoleh, netranya menyipit. Ia masih kesal karena pelayanan pelayan toko itu yang pilih kasih. "Apa lagi?" Jawab Gavya singkat.

Penjaga toko itu mengeluarkan sebuah uang dan juga satu buku novel lagi.

Gavya melebarkan netranya, itu adalah buku novel MDZS volume ke-2 dan bahkan rumornya belum ada sama sekali versi Inggrisnya dan di jual di negara lain.

"Uangmu kami kembalikan, dan buku novel yang ini, bonus."

"Dari siapa?" Cecar Gavya.

"Pria tampan yang bersamamu."

Kali ini Gavya benar-benar terkejut. Mengapa Zeen bertindak sejauh ini untuknya? Mengapa dia begitu mengerti dirinya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janda Tanpa Malam Pertama    17. Mungkin Harus Berakhir

    Zeen melangkah masuk ke ruang forensik, jas hujan hitamnya masih meneteskan hujan. Suara tetes air dari atap terdengar seperti irama yang menekan jantungnya. Ia menunduk, tangannya mengepal di saku, napasnya berat. Di depannya, dokter forensik dan dua petugas polisi menunggu.“Pak Zeen,” kata seorang polisi dengan nada formal, namun menandakan empati. “Kami menghargai kedatangan Anda. Kami ingin memberi penjelasan sejelas mungkin.”Zeen menatap tajam, tapi tidak bisa menahan suara yang bergetar ketika berkata, “Aku perlu tahu, apakah benar hasil pemeriksaannya?”Dokter forensik mengangguk perlahan, menyesap napas panjang. “Ya. Hasil otopsi dan tes DNA menunjukkan bahwa korban tewas dalam keadaan mabuk dan dalam tubuh korban juga terdapat obat terlarang.”Tubuh Zeen serasa runtuh. Dunia di sekelilingnya mendadak hening, kecuali suara hujan yang masih menetes dari jendela. "Ta-tapi... Dia tidak pernah—"Polisi lain memotong dengan suara tegas, “Kami menemukan beberapa hal, Pak Zeen. Tu

  • Janda Tanpa Malam Pertama    16. Di Balik Bayanganmu

    Langit sore menurunkan gerimis tipis di depan Kafe Kenangan. Aroma kopi dan karamel bercampur dengan hawa basah dari udara yang menetes lewat ventilasi kecil di sudut jendela. Suara denting lonceng di pintu masuk terdengar hampir tanpa henti sejak pagi. Pelanggan datang dan pergi silih berganti, membawa tawa, percakapan, dan pujian yang seharusnya membuat Gavya bahagia jika saja hatinya tak sesunyi itu.Sudah hampir satu bulan sejak terakhir kali ia berbicara dengan Zeen. Kini mereka benar-benar tak lagi saling menyapa apalagi bertemu.Gavya menurunkan nampan berisi gelas-gelas kotor ke meja bar. Tangannya sedikit gemetar karena kelelahan. Ia hanya memiliki satu pelayan paruh waktu. Setiap hari kafe itu semakin ramai, dan ia tentu semakin kewalahan.“Kak, meja tujuh pesan dua cappuccino dan croissant!” seru Mela, salah satu pegawai remaja yang membantu menjadi pelayan pengantar minuman dan makanan sekaligus kasir. Sedangkan Gavya fokus di belakang karena ia belum sama sekali menurunka

  • Janda Tanpa Malam Pertama    15. Hujan yang Tertinggal

    Langit siang itu mendung. Hujan turun pelan-pelan, sedangkan kini Gavya yang duduk di ruang tengah, menatap pintu yang separuh terbuka, sambil menunggu air matanya berhenti. Ia tidak tahu kenapa masih memikirkan Zeen. Orang asing yang beberapa waktu lalu masuk ke dalam kehidupannya sudah terlalu banyak mengisi pikirannya.Padahal, ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan berharap pada siapa pun lagi. Tapi janji itu seperti kertas basah di tengah hujan mudah robek dan mudah hancur.Ketika suara ketukan pelan terdengar dari depan, tubuh Gavya langsung menegang.Ia tak perlu menebak. Ia tahu siapa yang datang. Ia menatap ke arah pintu lama-lama, menimbang, lalu berdiri dengan langkah berat.Begitu pintu dibuka, benar saja sosok Zeen berdiri di sana, masih mengenakan mantel hitam, bahunya basah oleh rintik hujan yang belum reda.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Gavya tidak menjawab, hanya memberi jalan. Zeen melangkah masuk perlahan, menatap sekeliling seolah mencari kata yang tepat

  • Janda Tanpa Malam Pertama    14. Luka yang Belum Selesai

    Sore itu hujan turun deras di sertai badai, menutup langkah para pengunjung Kafe Kenangan lebih cepat dari biasanya. Gavya menutup pintu, lalu kembali ke dalam untuk merapikan kursi dan gelas. Zeen, seperti biasa, masih berada di sana, membantu tanpa diminta.“Biar aku saja yang angkat kursinya,” katanya sambil menggulung lengan bajunya.Gavya melirik kesal, walau hatinya geli. “Kau ini, Zeen. Aku sudah bilang, kau ini bukan karyawanku dan kau hanya tamu. Tidak perlu ikut-ikutan repot.”Zeen mengangkat bahu. “Kalau aku tidak membantu, kau pasti akan kecapekan.”Gavya menghela napas, memilih membiarkan. Hujan deras di luar membuat ruangan terasa sunyi, hanya ada suara deras air jatuh di atap dan detak jantungnya sendiri.Saat ia berjalan menuju dapur sambil membawa baki berisi gelas basah, kakinya terpeleset di lantai licin. Gavya hampir jatuh, tetapi dalam sepersekian detik sebuah tangan kuat menangkapnya.Tubuhnya mendarat di d*da Zeen.Mereka membeku. Nafas Gavya tercekat. Mata Zeen

  • Janda Tanpa Malam Pertama    13. Kehangatan mu

    "Karena hanya kamu yang bisa membuatku merasa hatiku menghangat lagi."Hampir dua hari Gavya menetap di apartemen milik Zeen. Pria itu benar-benar merawatnya meskipun terkadang ia sibuk pergi bekerja tapi orang-orang yang bekerja untuk pria itu juga terlalu ramah denganya.Malam itu, apartemen Zeen terasa sunyi. Gavya menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Kata-kata yang ingin ia ungkapkan terasa berat di lidah, seperti setiap hurufnya dipenuhi rasa takut dan keraguan.“Zeen,” suaranya lirih, nyaris tidak terdengar. Zeen menoleh, fokus padanya. “Ada sesuatu yang harus aku ceritakan.”Zeen mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kau tidak harus memaksakan diri,” ucapnya lembut. “Tapi aku akan mendengarkan, jika kau mau.”Gavya menunduk, jari-jarinya meremas selimut. “Aku takut kau akan menilai aku. Atau mungkin kau akan merasa berbeda setelah mendengar ini.”Zeen menggeleng pelan. “Tidak, Gavya. Tidak peduli apapun itu, aku tetap di sini.”Rasa hangat dan tenang it

  • Janda Tanpa Malam Pertama    12. Tersandung Bayangan Lama

    Tak seperti biasanya, hari ini Kafe Kenangan tampak sepi. Papan kecil bertuliskan “Tutup untuk sementara” menggantung di pintu kaca. Biasanya, setiap pagi, aroma kopi sudah tercium hingga jalanan depan, tapi kali ini hanya ada keheningan.Di dalam rumah sekaligus kafe itu, Gavya terbaring lemah di sofa. Demam membuat tubuhnya terasa berat. Ia memejamkan mata, berharap istirahat cukup bisa memulihkannya. Namun tubuhnya menolak bekerja sama.Suara ketukan terdengar dari luar. Perlahan pintu terbuka, dan sosok yang sudah akrab muncul, pria yang selalu ada untuknya.“Gavya?” suaranya terdengar khawatir. “Kau kenapa? Aku lihat kafe tutup, jadi aku coba datang ke rumah, aku khawatir.”Gavya berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. “Aku hanya kelelahan. Belum ada karyawan, semua kukerjakan sendiri. Mungkin tubuhku akhirnya menyerah.”Zeen segera menghampiri, meletakkan punggung tangannya di dahi Gavya. “Panas. Kau butuh istirahat yang benar, bukan sekadar tidur terbaring."“Aku baik-ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status