Dita melangkah mundur, memandang dua potongan pakaian yang telah ia pilih. Blus lavender dengan leher tinggi dan rok hitam panjang yang merayap ke lantai. Ia memutuskan untuk mencoba kombinasi itu. Saat ia mengenakan pakaian tersebut, Dita merasa seperti bintang yang bersinar di langit malam.Kemudian, ia memeriksa dirinya di cermin.Blus satin melingkari lehernya dengan lembut, memberikan sentuhan romantis. Rok hitam panjang menyorot anggunnya, menciptakan siluet yang mempesona. Dita tersenyum puas, namun kegelisahannya masih menyelinap di dalam hatinya.Dia membuka lemari lagi dan melirik dress hitam yang selalu menjadi andalannya. Meski sederhana, dress itu selalu berhasil menonjolkan kecantikan alaminya. Setetes keringat dingin mengelilingi keningnya saat dia memutuskan untuk tetap dengan pilihan pertamanya.Ponsel Dita berdering dengan lembut, menciptakan getaran kecil di udara. Pandangannya langsung tertuju pada ponsel yang tergeletak di a
Dita mengelap bibirnya dengan serbet yang halus. Matanya melirik ke arah Dika. Dika, dengan wajah tenangnya, sedang meneguk jus dengan tenang, seperti tak terlalu banyak pikiran yang mengganggunya."Ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan malam ini, Pak Dika?"Dika membalas senyuman Dita dengan santai, kemudian berkata, "Ya, sebenarnya ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan. Salah satunya adalah tentang peningkatan gaji untukmu."Sorot wajah Dita berubah, pipinya sedikit kemerahan."Tapi, saya baru bekerja di sini selama lima bulan, Pak," ujarnya dengan nada yang masih mencerminkan rasa tidak percaya.Dika tertawa ringan."Ya, tapi peranmu di sini sungguh berarti bagi perusahaan kita, Dita. Kamu telah berkontribusi besar dalam meningkatkan penjualan barang-barang kita dalam sebulan terakhir."Senyuman merekah di wajah Dita, dia merasa bangga dan dihargai."Terima kasih, Pak Dika. Say
"Eh, tadi lihat Dita, 'kan? Itu loh istrinya si Rizal!" bisik seorang wanita paruh baya ketika Dita baru saja melewati toko kelontong tempat gerombolan ibu-ibu itu menggosip. "Iya, iya, yang katanya udah jadi istri, tapi masih gatal itu kan!” timpal yang lain dengan nada berbisik. Padahal, Dita masih bisa mendengarnya dengan jelas. “Emangnya dia pikir dengan tubuhnya yang kayak gitu bisa dapat suami yang lebih daripada Rizal? Rizal kan sarjana!" Bisikan-bisikan lainnya menimpali seperti suara lebah. Mereka sibuk menggunjingkan dirinya seolah ia adalah makhluk paling hina di dunia. Dita menghela napas panjang, berusaha meredam amarahnya. Dia tahu betul bahwa kecantikan bukanlah jaminan kebahagiaan. Namun, hatinya terasa tertusuk ketika mendengar kata-kata kasar yang dilemparkan oleh ibu-ibu tersebut. "Kayaknya dia memang bebal deh, mertuanya aja kesel mulu sama dia. Rugi ya si Rizal!" ujar ibu lainnya sambil menyisir rambutnya dengan jari-jemarinya yang penuh perhiasan. Dita
Dita tidak menyerah begitu saja, Dita mencoba bersabar dan mengabaikan perangai buruk mertuanya. Dengan berat hati Dita ke dapur dan memasak seadanya dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Kamu itu dari dulu memang bukan mantu yang ibu inginkan. Entah kenapa Rizal mau menikahimu. Wanita tidak berpendidikan dan tidak memiliki karir. Bodoh sekali.” Dita hanya menahan isakan dan rasa sesaknya di dada. Ia kira dengan mengalihkan diri memasak, bisa menghentikan hinaan dari mertuanya. “Selama ini kamu tuh hanya dianggap budak saja. Tidak lebih. Apalagi kamu anak yatim piatu. Malu ibu kalau harus mengenalkan kamu ke luar sana.” “Maaf bu..” gumam Dita sambil mematikan kompornya. Dita tidak sempat lagi merasakan masakannya, karena rasanya dia sudah lelah dan muak mendengar mertuanya menjelek jelekan dirinya. “Sudah sana ke kamar. Ibu lapar! Ibu udah enek liat muka kamu di rumah ini.” Dita pun bergegas ke kamar dan menutup pintu kamar. Dita menatap ke foto pernikahannya dengan Rizal
‘Selama ini kamu cuma jadi benalu!’ Ucapan ibu mertua masih terngiang-ngiang di kepala Dita meski sudah beberapa waktu ia pindah ke sebuah kontrakan di kampung sebelah. Tidak hanya memergoki suaminya berselingkuh, ia juga diusir dari rumah dengan begitu kejam. Tapi Dita tidak ingin berlarut dalam kesedihan lebih lama. Dengan uang tabungan yang tidak seberapa, Dita mencoba mencari peruntungannya sebagai seorang reseller untuk bertahan hidup. Namun, meski Dita sudah pindah ke kampung sebelah, cibiran soal dirinya yang diusir mertua karena dicap sebagai istri yang nakal pun tetap berembus ke kampung ini. Tiba-tiba, suara pintu diketuk dengan kasar terdengar jelas dari luar, membuat lamunan Dita langsung buyar. “Sebentar!” seru Dita sambil berlari kecil untuk membuka pintu karena siapapun yang mengetuknya, tampak sangat tidak sabaran. “Heh! Dasar perempuan murahan!” Dita langsung tersentak mundur mendengar umpatan itu saat dirinya baru saja membuka pintu. “Kamu goda suami sa
Dita membuka pintu dengan ragu dan melihat sosok Dika yang tersenyum kecil. Dita pun membuka pintu lebih lebar lagi. “Saya mau tanya-tanya tentang rumah sewa di sekitar sini,” katanya. Dita tampak sedikit tidak nyaman. Matanya gelisah memandang sekitar. Ia takut hal ini akan menjadi bahan gunjingan tetangga lagi. “Maaf, saya juga tidak tahu banyak tentang wilayah di sini.” Dita menolak dengan halus. “Mungkin saya memang datang di waktu yang tidak tepat. Maaf ya, Dita.” Tanpa menunggu waktu lebih lama, Dika pun berpamitan. Tapi sebelum itu, ia memberikan kartu namanya. Dita memandang kartu itu lamat-lamat. Di sana tertulis, Dika adalah manajer minimarket di kota. ‘Mungkin ini bisa menjadi jalan untukku keluar dari kampung ini…’ batinnya sambil menggenggam erat kartu nama itu. Setelah berpikir semalaman, Dita pun bertekad untuk ke kota. "Sebentar lagi, aku akan meninggalkan tempat ini," gumam Dita sambil menatap lirikan matahari pagi yang menyapa melalui tirai tipis. Semak
Rizal, mantan suami Dita, yang tengah sibuk dengan ponselnya di ruang tamu, mengangkat kepala saat mendengar langkah-langkah ibunya. "Ada apa, Ma?" Bu Salim menghela nafas dalam-dalam sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Dita sudah pindah ke kota besar." Rizal hanya mengangguk sebentar, kembali fokus pada ponselnya. "Ya, aku tahu." "Wanita itu mungkin sedang mencari target baru di sana," kata Bu Salim dengan nada sinis. Rizal menoleh, wajahnya tak berubah. “Biarin saja.” Nyonya Salim terdiam. Ia menyadari bahwa putranya telah dewasa dan mampu melihat hal-hal dari perspektif yang berbeda. Keesokan harinya, suasana di warung-warung kecil di kampung semakin riuh dengan percakapan tentang Dita. Bu Salim tiba di salah satu warung. Wajahnya yang keras dan sinis menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. "Tau nggak, sebenernya Dita tuh selama di sini, nggak pernah bener-bener jadi istri yang baik," ucap Bu Salim dengan nada berbisik, sambil memegang gelas kopi
Dita melangkah keluar dari pintu kontrakan. Langkah Dita membawanya menuju sebuah gedung perkantoran yang menjulang tinggi di tengah pusat kota. Gerbang kaca berkilau menyambutnya dengan cahaya pagi yang menyilaukan. Rasa tegang melanda. Dengan napas dalam, Dita masuk ke dalam gedung tersebut. Di dalam, suasana tenang kantor tampak kontras dengan keramaian jalanan di luar. Seorang resepsionis dengan senyuman ramah menyambutnya. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" ucap resepsionis sambil menatap Dita dengan penuh perhatian. Dita menjelaskan tujuannya. "Saya datang untuk melamar pekerjaan. Apakah ada lowongan yang tersedia? Saya tahu tempat ini dari Dika manajer store." Resepsionis tersebut memberikan senyum manis. "Tentu, silakan naik ke lantai dua dan bertemu dengan Pak Budi di Departemen Sumber Daya Manusia. Mereka menerima lamaran secara langsung di sana." Dita mengucapkan terima kasih dan naik ke lantai dua dengan hati yang berdebar. Di Departemen Sumber Daya Manusia