Gita melangkah masuk, dengan emosi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rosa yang asyik bermain hp tak menyadari kedatangannya. Beberapa karyawan yang dilewati Gita hanya bisa menoleh tatapan bingung. Ketika sampai di belakang Rosa, wanita itu menyiram tubuh targetnya dengan sayur sop merah. Cairan berwarna merah beserta para sayur melumuri rambut hingga kursi kerja Rosa.Rosa menjerit kaget, tubuhnya kaku di tempat. Semua pasang mata tertuju padanya. Butuh beberapa detik untuknya menyadari apa yang baru saja terjadi. Perlahan, ia menoleh dengan mata membelalak ke arah Gita yang berdiri dengan napas memburu, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah."Apa-apaan ini?!" Rosa melompat dari kursinya, tangannya mengibas-ngibas bajunya yang basah oleh kuah sop merah. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, dengan beberapa helai sayuran menempel di sana. Belum sempat mendapat jawaban, Gita sudah melayangkan tamparan pada wanita itu.Suara tamparan itu menggema di seluruh r
Kenzo yang awalnya begitu percaya diri, kini matanya melebar dan mulutnya terkatup rapat saat mendengar suara berat Pak Jacson. Semua karyawan divisi marketing, yang tadinya berbisik-bisik langsung diam, menunggu dengan napas tertahan. Pak Jacson melangkah ke tengah-tengah keributan itu dengan ekspresi serius, matanya menyapu pemandangan yang ada di hadapannya. Rosa masih berdiri dengan pakaian berantakan, sisa kuah sop merah menetes dari rambut dan wajahnya yang terlihat kusut. Kenzo berdiri di sampingnya dengan rahang mengeras, sedangkan Gita berdiri tegak, napasnya memburu, masih diliputi amarah. "Kuulangi pertanyaanku," suara Pak Jacson terdengar dalam dan berwibawa. "Ada apa ini?" Semua orang saling pandang, tak ada yang berani menjawab lebih dulu. Namun, Gita tak mau kehilangan momentum. Ia melangkah maju, menatap Pak Jacson dengan penuh keyakinan. "Pak Jacson," suaranya tegas, meskipun ada getaran emosi di dalamnya. "Saya ingin melaporkan Kenzo atas tindakan tidak profe
Tristan melangkah masuk ke kantor dengan Bibirnya tertarik membentuk garis lurus, tak ada senyum ataupun tanda ketidaknyamanan, sementara aku mengikuti di belakangnya, menggenggam erat tangan Bimo. Putraku tampak gelisah, bahunya merapat, dan jemarinya terus meremas ujung bajuku, pertanda bahwa ia mulai merasa tidak nyaman di lingkungan yang ramai dan penuh suara.Begitu kami tiba di ruang kerja Tristan, aku segera membimbing Bimo duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Aku mengeluarkan mainan sensorik dari dalam tas dan meletakkannya di pangkuannya, berusaha menenangkannya sebelum berbalik menghadap Tristan.“Pak, saya perlu melaporkan sesuatu,” ucapku dengan nada sopan.Tristan melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu menatapku dengan tajam. “Apa yang terjadi?”Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Baru saja terjadi insiden besar di kantor, Pak. Kenzo terlibat pertengkaran dengan Gita dan Rosa. Pak Jacson meminta saya untuk menyaksikan sebagai saksi, mengingat
Aku mengeratkan genggamanku pada tangan Bimo, naluri melindunginya langsung aktif begitu saja. Kenzo berdiri di samping mobilku, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang mungkin akan keluar dari mulutnya.Aku melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di sekitar kami. Parkiran cukup sepi, karena karyawan lain masih di dalam kantor. Suara langkahku sendiri terdengar menggema di antara dinding beton.“Ada apa, Kenzo?” suaraku berusaha terdengar datar, meskipun aku bisa merasakan jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya.Kenzo tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku, lalu menurunkan pandangannya ke Bimo yang berdiri di sampingku. Mata itu mengamati anakku beberapa saat, sebelum akhirnya kembali menatapku.“Aku hanya ingin bicara, Maya.”
Aku mengatur napas, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. Semua mata tertuju padaku, menunggu jawabanku. Aku bisa merasakan Tristan menatapku lebih lama daripada yang lain, seolah berusaha membaca ekspresiku.Aku menelan ludah sebelum membuka suara. “Saya memang membantu Kenzo dalam beberapa pekerjaannya, tapi itu hanya sebatas membuat laporan.” Suaraku terdengar stabil, meski ada sedikit kegelisahan yang tidak bisa kusembunyikan. Pak Jacson mengangguk kecil, memberi isyarat agar aku melanjutkan. “Semua keputusan besar tetap diambil oleh Kenzo sendiri,” lanjutku. “Saya hanya menjalankan tugas sesuai arahan yang diberikan. Tidak pernah sekalipun saya membuat keputusan atau melakukan hal di luar perintahnya. Jadi, jika ada tuduhan bahwa saya ikut andil dalam penyalahgunaan wewenang, itu tidak benar.”Ruangan kembali hening. Aku melirik Tristan sekilas. Rahangnya mengeras, tetapi tidak mengalihkan pandangan dariku. Aku tak bisa menebak isi pikirannya saat ini.Seseorang di ujung
Kuhela napasku saat memakirkan mobil di rumah. Pekerjaan hari ini cukup banyak, ditambah mood Tristan sedang buruk. Banyak pekerjaanku yang ia komplain, padahal biasanya ia tidak seperti itu. Kepalaku menjadi pusing karena terpikirkan oleh ucapannya. Untungnya Sinta sudah ada di dalam bersama Bu Yati. Jadi aku langsung mengeluh dengan dramatis.Aku melepas sepatu dengan kasar dan menjatuhkan tubuh ke sofa. “Aduh, Sinta. Hari ini capek banget!” keluhku sambil menutup wajah dengan bantal. Sinta, yang sedang duduk di lantai sambil menggambar sesuatu, melirik ke arahku. “Kenapa, May? Bos galak lagi?” Aku mendesah panjang. “Iya! Aku nggak ngerti, biasanya dia nggak seketus ini. Hari ini semua kerjaanku dikomentari. Ada aja yang salah.” Kulipat kedua tanganku di depan dada, hidungku pun mendengkus seperti banteng.Bu Yati datang dari dapur sambil membawa segelas teh hangat. “Mungkin dia lagi banyak pikiran, Mbak. Orang kalau banyak masalah pasti emosinya nggak stabil.” Aku duduk tegak
"Di mana Bimo?" tanya Tristan padaku. Aku yang berjalan di belakangnya terasa kikuk, karena teringat dengan janji yang kuucapkan kemarin."Maaf, Pak. Bimo di rumah." Jantungku berdegup kenjang karena mendadak pria itu berhenti dan berbalik ke arahku."Bukankah kemarin kamu bilang akan membawa anak itu ke kantor hari ini." Dia mengucapkannya dengan dahi sedikit berkerut. Kutenggak salivaku dengan paksa.Aku mengangguk pelan. Ada perasaan bersalah karena mengingkari janji yang kubuat sendiri. "Iya, Pak. Tapi kondisi Bimo kurang baik pagi ini. Dia sulit beradaptasi dengan perubahan mendadak, dan saya tidak ingin memaksanya." Pria itu menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. Aku bisa melihat rahangnya mengeras sejenak, lalu dia menghela napas panjang. "Aku mengerti," katanya akhirnya. "Tapi aku ingin bertemu dengannya, Maya." Aku terkejut mendengar ucapannya. "Untuk apa, Pak?" tanyaku hati-hati. Tristan menyandarkan tubuhnya ke meja kerjanya, menatapku lekat-lekat. "Ibuku menyu
Tatapan Kenzo yang sangat serius membuatku ingin tertawa. Bagaimana kalau dia tau..."Aku butuh teman untuk datang ke pernikahan mantan suamiku."Mata pria itu terbelalak. "Mantan suamimu?! David?" Dia tampak tidak percaya dengan jawabanku, sampai menegaskan siapa nama mantan suamiku.Kuanggukkan kepala. "Demi apa? Serius, May?" tanyanya."Iya, Zo. Acara pernikahannya besok lusa. Bukankah kantor libur?""Benar, kantor emang libur. Karena lusa adalah hari minggu.""Makanya itu aku mengajak kamu, Zo. Aku bakal malu banget kalau datang sendirian. Apalagi kamu tau sendiri gimana keluarga David sama aku. Aku selalu jadi bahan gunjingan mereka." Aku mengucapkannya sembari menundukkan kepala. Aku ingin mendramatisir semua ucapanku agar sahabatku itu mau.Kenzo menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan, seakan dia masih mencoba mencerna permintaanku. Aku menahan tawa melihat reaksinya yang berlebihan. Tapi di sisi lain, aku juga lega karena dia tidak langsung menolak. “Kamu yakin data
Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu
Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung
Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka
Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“
Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga
"Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.
Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k
Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d