Share

Malam Panjang

Author: Olivia
last update Huling Na-update: 2025-12-14 18:19:56

Perjalanan pulang dari pasar malam terasa berbeda.

Tidak ada obrolan berisik, tidak ada tawa berlebihan, hanya keheningan yang hangat dan penuh rasa.

Sevi dan Arlan duduk berdampingan di dalam mobil, tangan mereka saling bertaut di atas konsol tengah. Genggamannya erat, seolah dunia di luar sana bisa saja merenggut salah satu dari mereka jika dilepaskan barang sedetik.

Lampu-lampu jalan memantul di kaca mobil, menciptakan bayangan lembut di wajah Sevi. Arlan sesekali meliriknya, memastikan bahwa perempuan itu benar-benar ada di sampingnya, bukan sekadar ilusi manis setelah malam yang terlalu sempurna.

Awalnya, rencana mereka adalah bermalam di hotel. Arlan bahkan sudah sempat memikirkan kamar dengan jendela besar dan lampu temaram. Namun jarak pasar malam yang jauh lebih dekat ke apartemennya membuat keputusan berubah tanpa perdebatan.

“Ke apart aku aja,” ujar Arlan waktu itu, nadanya tenang namun sarat makna.

Sevi hanya mengangguk, tanpa bertanya apa-apa.

Ia percaya.

Begitu mobil ber
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Kok.. Aneh...

    Pagi itu terasa berbeda, meski dari luar semuanya tampak berjalan seperti biasa. Matahari terbit dari balik perbukitan dengan cahaya lembut, ayam jantan kembali berkokok seperti hari-hari sebelumnya, dan orang tua Sevi tetap bersiap menjalani rutinitas mereka tanpa perubahan berarti. Namun bagi Arlan, ada sesuatu yang mengganjal sejak ia membuka mata.Ia duduk di tepi ranjang, menghela napas pelan. Ada rasa tidak nyaman yang sulit ia jelaskan, bukan rasa cemburu yang meledak-ledak, bukan pula curiga yang terang-terangan, melainkan kegelisahan tipis yang menetap di dada sejak malam sebelumnya.Setelah membersihkan diri sekadarnya, Arlan keluar kamar. Ia sempat membantu ibu Sevi menyiapkan air minum dan sekadar berbincang ringan. Ayah Sevi sudah siap dengan pakaian kerjanya, membawa topi lusuh yang selalu setia menemaninya ke peternakan.Arlan mengantar mereka berdua sampai ke depan pintu. Ia berdiri di sana, tersenyum dan menunduk sopan saat ayah dan ibu Sevi berpamitan. Sepeda kembali

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Notifikasi

    “Langsung lanjut ya, aku udah nggak kuat.” “Shh pelan, Lan.” Tak mau kalah, tangan Sevi meraih sesuatu yang menonjol dibalik celana Arlan. Dengan lihai ia meremas dan mengelusnya hingga tonjolan itu semakin membesar. Arlan menurunkan celananya dan terbuka lah kejantanan yang keras berkedut serta beberapa otot yang terlihat. “Udah nggak takut lagi buat pegang langsung ya sekarang.” Sevi hanya terkekeh pelan dan memposisikan dirinya lebih rendah dari Arlan, ia sudah terbiasa menyentuh ini, padahal dulu ia gemetar parah karena merasa itu terlalu besar dan menakutkan.Tangan Sevi memijat pelan keatas dan kebawah, sesekali ia menjilat ujungnya yang sudah sedikit basah. Sedangkan memperhatikan semua yang Sevi lakukan dengan tatapan rendah dan menginginkan lebih.Baju yang sedari tadi Sevi pakai sudah tak tau entah kemana, ia sedikit mendongakkan dirinya hingga bulatan kenyal itu menabrak menggantikan pijatan tangannya. “Sev.. Sevi, aku nggak kuat, aku...” Cairan putih kental itu mun

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Jalan-jalan di Kota Lembang

    Setelah suara tawa, obrolan ringan, dan bunyi ritmis susu yang jatuh ke dalam wadah berakhir, suasana peternakan kembali ke rutinitasnya. Ayah Sevi baru saja selesai makan siang sederhana bersama para pekerja, nasi hangat, lauk rumahan, dan teh panas yang mengepul. Ia menghampiri Arlan dan Sevi dengan wajah lebih santai, keringat masih menempel di pelipisnya.“Kalian mau lanjut ke mana habis ini?” tanyanya sambil mengelap tangan dengan kain.“Kami mau pamit dulu, Pak,” jawab Sevi lembut. “Ini Arlan katanya mau jalan-jalan bentar.”Ayahnya mengangguk, menatap Arlan dengan sorot mata yang kini jauh lebih bersahabat dibandingkan pertemuan pertama mereka. “Hati-hati di jalan. Nggak usah kebut-kebutan.”“Iya, Pak,” jawab Arlan cepat, refleks seperti anak sekolah yang ditegur guru. “Terima kasih udah ngajarin saya tadi.”Ayah Sevi tersenyum kecil. “Kalau mau belajar lagi, tinggal bilang.”Kalimat sederhana itu membuat Arlan mengangguk lebih dalam dari yang ia sadari. Ada penerimaan di sana

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Memerah Sapi

    Toko pakaian itu tidak besar, berdiri di pinggir jalan utama desa dengan etalase sederhana yang memajang manekin berpakaian kasual. Arlan masuk dengan langkah agak ragu. Ini bukan lingkungan yang biasa ia datangi untuk berbelanja. Tidak ada pendingin ruangan yang dingin menusuk, tidak ada musik lembut yang mengalun, hanya suara kipas angin tua dan obrolan pelan penjual dengan pelanggan lain.Arlan menghela napas pelan. Ia menatap deretan baju yang digantung rapi, ada kaos polos, kemeja flanel, jaket tipis, dan celana berbahan katun yang tampak nyaman.Tangannya bergerak memilah satu per satu, mencoba membayangkan dirinya berada di tengah peternakan sapi dengan pakaian-pakaian itu. Ia tidak ingin terlihat mencolok. Tidak ingin terlihat seperti orang kota yang salah kostum. Dan yang terpenting, ia tidak ingin tampak terlalu formal, seolah datang sebagai pemilik yang sedang inspeksi.“Yang ini terlalu rapi,” gumamnya sambil mengembalikan sebuah kemeja lengan panjang ke gantungan. “Ini ju

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Hari Pertama di Rumah Camer

    Arlan berdiri tepat di balik pintu kamar tamu, menatap pantulan dirinya di kaca lemari kecil yang menempel di dinding. Rambutnya sedikit berantakan, jelas akibat tidur yang tidak benar-benar nyenyak. Ia mengusap wajahnya pelan, lalu merapikan rambut seadanya dengan jari, berharap penampilannya tidak terlalu memalukan untuk ukuran seorang tamu, lebih tepatnya, calon menantu.Belum sempat ia menarik napas lebih dalam, ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini lebih tegas, namun tetap sopan.Arlan membuka pintu.Di hadapannya berdiri ayah Sevi, sudah rapi dengan setelan kerja, kaos lengan panjang yang digulung sampai siku, celana panjang berwarna gelap, dan sepatu bot yang tampak siap menghadapi lumpur peternakan. Wajahnya segar, seolah pagi bukan sesuatu yang perlu dilawan, melainkan disambut.Ayah Sevi menatap Arlan dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu menghela napas pendek sambil menggeleng pelan.“Anak laki-laki,” katanya dengan nada datar namun jelas mengandung sindiran, “ma

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Dasar Anak Muda

    Malam itu, Arlan tidur di kamar tamu.Bukan karena ia tidak ingin berada satu ruang dengan Sevi, melainkan karena ia paham betul batas yang harus dijaga. Ia adalah tamu di rumah orang tua Sevi, dan apa pun perasaannya, ada adab yang tidak boleh dilangkahi. Meski demikian, pemahaman itu sama sekali tidak membuat malamnya menjadi lebih mudah.Sudah lewat tengah malam, tetapi mata Arlan tetap terbuka. Ia memandang langit-langit kamar yang sederhana, bercat putih dengan sedikit noda usia. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada dengung AC. Tidak ada bunyi hiruk pikuk kota yang biasanya menjadi latar hidupnya.Hening.Begitu hening hingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, pelan namun terasa mengganggu. Arlan menggeser posisi, lalu menyenderkan punggung ke sandaran ranjang. Ia mencoba menenangkan diri dengan membuka ponsel, mengecek surel pekerjaan, membaca ulang laporan yang sebenarnya sudah ia hafal di luar kepala.Namun pikirannya tidak ada di sana.Getaran kecil di ponselnya memb

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status