LOGINSetelah suara tawa, obrolan ringan, dan bunyi ritmis susu yang jatuh ke dalam wadah berakhir, suasana peternakan kembali ke rutinitasnya. Ayah Sevi baru saja selesai makan siang sederhana bersama para pekerja, nasi hangat, lauk rumahan, dan teh panas yang mengepul. Ia menghampiri Arlan dan Sevi dengan wajah lebih santai, keringat masih menempel di pelipisnya.“Kalian mau lanjut ke mana habis ini?” tanyanya sambil mengelap tangan dengan kain.“Kami mau pamit dulu, Pak,” jawab Sevi lembut. “Ini Arlan katanya mau jalan-jalan bentar.”Ayahnya mengangguk, menatap Arlan dengan sorot mata yang kini jauh lebih bersahabat dibandingkan pertemuan pertama mereka. “Hati-hati di jalan. Nggak usah kebut-kebutan.”“Iya, Pak,” jawab Arlan cepat, refleks seperti anak sekolah yang ditegur guru. “Terima kasih udah ngajarin saya tadi.”Ayah Sevi tersenyum kecil. “Kalau mau belajar lagi, tinggal bilang.”Kalimat sederhana itu membuat Arlan mengangguk lebih dalam dari yang ia sadari. Ada penerimaan di sana
Toko pakaian itu tidak besar, berdiri di pinggir jalan utama desa dengan etalase sederhana yang memajang manekin berpakaian kasual. Arlan masuk dengan langkah agak ragu. Ini bukan lingkungan yang biasa ia datangi untuk berbelanja. Tidak ada pendingin ruangan yang dingin menusuk, tidak ada musik lembut yang mengalun, hanya suara kipas angin tua dan obrolan pelan penjual dengan pelanggan lain.Arlan menghela napas pelan. Ia menatap deretan baju yang digantung rapi, ada kaos polos, kemeja flanel, jaket tipis, dan celana berbahan katun yang tampak nyaman.Tangannya bergerak memilah satu per satu, mencoba membayangkan dirinya berada di tengah peternakan sapi dengan pakaian-pakaian itu. Ia tidak ingin terlihat mencolok. Tidak ingin terlihat seperti orang kota yang salah kostum. Dan yang terpenting, ia tidak ingin tampak terlalu formal, seolah datang sebagai pemilik yang sedang inspeksi.“Yang ini terlalu rapi,” gumamnya sambil mengembalikan sebuah kemeja lengan panjang ke gantungan. “Ini ju
Arlan berdiri tepat di balik pintu kamar tamu, menatap pantulan dirinya di kaca lemari kecil yang menempel di dinding. Rambutnya sedikit berantakan, jelas akibat tidur yang tidak benar-benar nyenyak. Ia mengusap wajahnya pelan, lalu merapikan rambut seadanya dengan jari, berharap penampilannya tidak terlalu memalukan untuk ukuran seorang tamu, lebih tepatnya, calon menantu.Belum sempat ia menarik napas lebih dalam, ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini lebih tegas, namun tetap sopan.Arlan membuka pintu.Di hadapannya berdiri ayah Sevi, sudah rapi dengan setelan kerja, kaos lengan panjang yang digulung sampai siku, celana panjang berwarna gelap, dan sepatu bot yang tampak siap menghadapi lumpur peternakan. Wajahnya segar, seolah pagi bukan sesuatu yang perlu dilawan, melainkan disambut.Ayah Sevi menatap Arlan dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu menghela napas pendek sambil menggeleng pelan.“Anak laki-laki,” katanya dengan nada datar namun jelas mengandung sindiran, “ma
Malam itu, Arlan tidur di kamar tamu.Bukan karena ia tidak ingin berada satu ruang dengan Sevi, melainkan karena ia paham betul batas yang harus dijaga. Ia adalah tamu di rumah orang tua Sevi, dan apa pun perasaannya, ada adab yang tidak boleh dilangkahi. Meski demikian, pemahaman itu sama sekali tidak membuat malamnya menjadi lebih mudah.Sudah lewat tengah malam, tetapi mata Arlan tetap terbuka. Ia memandang langit-langit kamar yang sederhana, bercat putih dengan sedikit noda usia. Tidak ada suara kendaraan. Tidak ada dengung AC. Tidak ada bunyi hiruk pikuk kota yang biasanya menjadi latar hidupnya.Hening.Begitu hening hingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, pelan namun terasa mengganggu. Arlan menggeser posisi, lalu menyenderkan punggung ke sandaran ranjang. Ia mencoba menenangkan diri dengan membuka ponsel, mengecek surel pekerjaan, membaca ulang laporan yang sebenarnya sudah ia hafal di luar kepala.Namun pikirannya tidak ada di sana.Getaran kecil di ponselnya memb
Suara kekehan dari arah dapur terdengar samar namun jelas. Sevi yang baru saja melakukan sesuatu di luar kebiasaannya, mengecup pipi Arlan di rumah orang tuanya sendiri, itu langsung tersipu. Wajahnya memanas, dadanya berdebar tidak karuan. Ia refleks hendak berdiri dan hendak masuk ke kamar, menghindari situasi yang terasa terlalu memalukan.Namun tangan Arlan lebih cepat.Ia menahan pergelangan tangan Sevi dengan lembut, lalu menariknya pelan hingga Sevi kembali terduduk di sofa. Gerakannya tenang, tanpa paksaan, namun cukup untuk membuat Sevi berhenti. Kepala Sevi tertunduk, rambutnya menutupi sebagian wajah. Kedua tangannya naik untuk menutup pipinya sendiri seolah ingin menghilang.Langkah kaki mendekat.Ibu Sevi muncul dari dapur sambil membawa nampan berisi dua cangkir minuman hangat. Senyumnya masih tersisa, matanya menyipit menahan tawa kecil yang belum sepenuhnya reda. Ia meletakkan nampan di meja dengan hati-hati.“Minum dulu,” katanya ringan.Sevi tak berani menatap. Ia te
Mobil Arlan sudah terparkir rapi di pelataran rumah yang dikelilingi halaman luas dan tanah merah yang masih lembap. Baru kali ini ia benar-benar memperhatikan sekeliling dengan saksama. Udara yang tak pernah ia rasakan setelah sekian lama berada di kota, Lembang memang masih menyimpan udara bersih daripada Jakarta.Diperjalanan tadi, tak jauh dari rumah ini, terlihat area peternakan sapi perah yang selama ini hanya ia kenal lewat laporan dan angka produksi. Ironis rasanya, ia sering mengecek hasilnya, namun jarang benar-benar menginjakkan kaki di sini.Pintu rumah terbuka lebar.“Ibu!”Sevi bahkan belum sempat melangkah dua langkah ketika ibunya sudah berlari keluar tanpa sandal. Pelukan itu terjadi begitu saja, erat, tergesa, penuh rindu yang tertahan berbulan-bulan. Isakan Sevi pecah di bahu ibunya, disusul tangis yang sama pilunya. Tidak ada kata. Hanya napas tersengal dan getaran emosi yang tumpah tanpa sisa.Arlan berdiri beberapa langkah dari mereka, matanya menghangat. Dadanya







