“Sebelum membuat malu, sebaiknya kamu pergi dari sini!”
Suara hardikan itu membuat Samantha menoleh pada asal suara dengan kepala yang pening. Maniknya menatap seorang pria dalam balutan jas yang berdiri di sebelahnya. Erick Elton, suaminya. Alis lebat pria itu hampir tertaut saat menebah lengan jasnya yang basah karena Samantha tak sengaja menumpahkan minuman dari gelas berkaki yang dibawanya. Samantha hanya lelah setelah tak beristirahat sama sekali karena menjaga anaknya yang kritis di rumah sakit, tapi ia malah dipaksa datang ke pesta anniversary mertuanya. Ia hampir limbung jika bahunya tak dirangkul dengan cepat oleh seorang gadis dari samping kanannya, yang memastikan ia tetap berdiri tegak. “Kamu baik-baik saja?” tanya suara manis perempuan itu, Eliza. Sahabat sekaligus teman dekatnya dan Erick sejak lama. “Iya,” jawab Samantha, menunjukkan senyum palsunya sembari mengangguk. “Jangan bicara seperti itu pada Samantha, Erick. Dia lelah, tolong mengertilah sedikit!” Teguran Eliza menyasar Erick yang mendengus dengan enggan. Eliza kembali memandang Samantha dan dengan prihatin berujar, “Sebaiknya kamu istirahat saja, Samantha. Aku akan mengantarmu ke kamar.” “Terima kasih,” jawab Samantha. “Tapi aku bisa jalan sendiri, Eli.” “Baiklah,” jawab Eliza, tak memaksa Samantha meski ia tetap mengikutinya. Di kejauhan, barulah gadis itu melepaskan tangannya dari bahu Samantha. “Aku akan memberitahu Erick untuk menyusulmu setelah ini,” ujarnya. Samantha hanya mengangguk, mengiyakan Eliza meski tak yakin Erick akan benar menyusulnya. Ia meletakkan gelas yang dibawanya ke atas meja. Langkahnya menjauh dari keramaian, meninggalkan gemerlap lampu dan hiruk-pikuk, menyusuri lorong yang lebih sunyi sembari menghela dalam napasnya. Mengingat sepasang mata Erick yang penuh kebencian—dan kasarnya cara ia bicara bahkan saat mereka berdiri bersama banyak orang—membuat Samantha semakin yakin perasaan pria itu telah berubah padanya. Dulu mereka memang menikah karena cinta sebelum waktu mengubah Erick menjadi pria yang berbeda. Sudah lima tahun mereka menikah, perubahan sikap Erick pada tahun kedua pernikahan mereka membuatnya kesepian dan menanggung rasa sesak ini seorang diri. Samantha sudah menggugat cerai Erick, tetapi ia tak bisa lepas begitu saja. Erick menolak bercerai. Suaminya itu mengatakan dengan tegas, bahwa hanya dirinyalah yang bisa mengakhiri hubungan mereka, bukan seorang Samantha Celestine. Terlebih, ia harus memikirkan putri kecilnya yang malang, yang membutuhkan dana besar untuk pengobatan penyakit kelainan darahnya sejak lahir. Bahkan jika hatinya sudah mati dalam pernikahan ini, ia masih punya satu alasan untuk tetap tinggal, anaknya. Langkah letih Samantha berhenti di depan sebuah pintu, ia masuk ke dalam salah satu kamar di resort yang sudah dipersiapkan. Ia membiarkan ruangan itu gelap selain hanya diterangi oleh lampu tidur di atas meja, berpikir ia akan tidur setelah ini. Ia duduk di tepi ranjang seraya melepas heels tinggi itu dari kakinya. Matanya terpejam, menyusun rencana bahwa ia akan segera pulang besok pagi. Badannya terasa menggigil, pening karena menyesap minuman dari pesta. Samantha mengangkat wajah saat pintu terbuka dari luar dan masuklah seorang pria yang wajahnya tak bisa dilihat secara jelas olehnya karena kegelapan ini memberinya batas jarak pandang. “Erick, apakah itu kamu?” tanya Samantha. Pria itu tak menjawab, Samantha melihatnya seperti sebuah siluet gelap yang sedang mendekat. Samantha berpikir itu benar Erick, mengingat Eliza sebelumnya mengatakan bahwa ia akan membujuk suaminya itu untuk ke sini. Barangkali ... ia hendak meminta maaf karena baru saja bersikap kasar padanya? Samantha sebenarnya masih memiliki harapan tipis akan membaiknya hubungan mereka karena kadang Erick masih bersikap manis padanya. “Aku akan pulang duluan besok pagi-pagi,” kata Samantha. “Aku ingin segera melihat anak kita.” Tapi, sosok tinggi tegap nan gagah di hadapannya ini tak menjawab. Seolah ia hanya sedang memandanginya sebelum keheningan itu berubah. “E-Erick ….” sebut Samantha terbata saat merasakan sentuhan di pipinya. Usapannya singgah di bibir Samantha, lembut dan hangat. Sedang tangannya yang lain melingkari pinggangnya, untuk sesaat membuat Samantha ling-lung karena ia tahu Erick tak akan menyentuhnya selembut ini, apalagi sudah beberapa waktu belakangan mereka tak terlibat dalam keintiman. “A-apa kamu mabuk?” tanya Samantha saat ia mencium bau wine dari suaminya itu. “Tidurlah saja di sini, aku bisa tidur di tempat—ahh—” Samantha kehilangan keseimbangan saat tubuhnya terhempas di atas ranjang. “A-apa yang kamu lakukan?” rintih Samantha saat bibir dingin pria itu menyinggahi lehernya. Gigitannya terasa perih di dagu dan bahu Samantha, tapi ia tak bisa menolak. Darahnya berdesir, tubuhnya meminta lebih dari ini. Gaun panjang yang dikenakannya tersingkap, jemari pria itu menyelusup masuk, menyusuri jenjang kakinya, menggerus bagian dalam pahanya dan membuat Samantha meremas erat seprai di kanan dan kirinya. “Hngh ….” Pinggang Samantha menggeliat, merasakan sentuhan gila yang selama ini tak pernah diterimanya dari Erick. Cara tangan itu menanggalkan gaunnya seperti sebuah godaan yang tak mampu ia tepis. Gaun itu tak lagi melindunginya. Bibir mereka saling menyapa, bukan hanya sebatas kecupan tetapi tuntutan yang lebih jauh. Saling memagut, dan membuat Samantha tak rela jika harus terlepas. “Tubuhmu sempurna,” bisiknya. Samantha tak membalas, hanya meraba wajah Erick yang terlindungi oleh kegelapan. Samantha berpikir Erick-nya telah kembali, prianya, suami yang mencintainya. Setitik air matanya jatuh bukan karena rasa sakit, tetapi karena ia tak tahu kapan terakhir kali disentuh sebagai seorang wanita, bukan hanya sebatas pemuas nafsu lalu ditinggalkan saat usai. “Aahh ….” Samantha tak bisa menahan dirinya. Tubuh mereka melebur dalam kobaran api yang panas. Hentakan yang diterimanya membuat jantungnya berdenyut. Waktu memerangkapnya, desahannya pecah di antara ciuman yang datang bertubi-tubi. Tubuhnya gemetar dalam keheningan, ia melingkarkan tangannya di punggung Erick saat pria itu mengantarnya dalam kenikmatan yang besar. Untuk pertama kalinya sepanjang lima tahun pernikahan itu, baru malam inilah Samantha mendapatkannya. Riak kenikmatan yang meluap, ia … klimaks. Malam yang panjang menghilang pelan-pelan, matahari meninggi menyelinap dari balik kelambu di kamar resort tempat Samantha melepaskan lelahnya. Ia bangun, mengerjap, membiasakan matanya menerima cahaya dan mengedarkan pandang. Maniknya berhenti ke sudut ruangan, tempat di mana seorang pria dalam balutan kemeja lengan panjang putihnya duduk di sana dan memperhatikannya dalam diam. Damien Morgan Frost, pria bermata biru gelap seusia suaminya itu adalah partner bisnis ayah Erick. Samantha refleks menutup tubuh polosnya dengan selimut, diliputi kebingungan menata kalimat. “T-Tuan Damien, a-apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Samantha terbata. Rasa takut menghantam dadanya dengan hanya membayangkan semarah apa Erick saat tahu ia berada di dalam satu kamar bersama pria lain. Kedua sudut bibir Damien samar terangkat. “Kamu yang semalam masuk lebih dulu ke dalam kamarku, Nona Samantha Celestine.” ‘Ka ... marnya?’ ulang Samantha dalam hati sembari menutup mulutnya dengan sebelah tangan. ‘T-tidak mungkin ‘kan yang semalam itu aku ... dengannya?’Pagi ini, Samantha duduk di dalam ruang rawat Gabriella. Harusnya, ia menyuapi anak gadisnya itu.Tetapi yang terjadi ia justru sibuk melamun mempertanyakan apakah semalam Erick pulang atau tidur di luar. Mengingat ia tidak di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit untuk mendampingi Gabriella.Samantha menggeleng, mencoba menenangkan dirinya.‘Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti, Samantha,’ gumamnya dalam hati, menepis pikiran buruk yang mengganggunya.Erick mengatakan bahwa kepergiannya itu soal pekerjaan. Maka harusnya benar seperti itu.“Mama,” panggil Gabriella dengan suara manisnya yang membuat Samantha segera menoleh pada anak gadisnya.“Iya, Sayang?”“Kemarin Briel jalan-jalan keluar dengan Sus Delia,” katanya. “Briel melihat anak perempuan yang dirawat di ruangan sebelah ditemani oleh Papanya. Dia dipeluk, dan ... mendapat hadiah yang bagus.”“Jadi Briel ingin hadiah yang bagus juga?” tanya Samantha sembari mengusap sudut bibir Gabriella.“Tidak, Ma. Hanya i
Samantha menyeka air matanya yang baru saja jatuh tanpa suara saat Damien bertanya, “Apa Nona terbiasa diam saja saat diperlakukan seperti itu?”“Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan,” jawab Samantha.Suaranya serak, tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa ia baru saja menangis.Samantha hanya tak ingin mengatakan hal buruk soal ibu mertuanya.Damien selangkah maju teriring tawa lirih yang seolah sengaja ia perdengarkan pada Samantha. “Masih berusaha menyembunyikannya?”“Jika tidak ada yang ingin Anda katakan lagi, saya akan pergi.”“Pergi untuk menangis?”“Jangan bersikap seolah Anda tahu semuanya,” sahut Samantha, menyangkalnya. “Anda tidak tahu apa-apa tentang hidup saya, Tuan Damien. Tadi Mama hanya sedang … sedikit kesal saja.”Samantha berusaha menjaga nada bicaranya sedatar mungkin padahal ia sedang gugup.Ketenangan dan cara bertutur pria itu, seolah Damien tahu semua hal tentangnya.Ia beranjak pergi dari sana, menjauhkan dirinya dari Damien. Satu langkah menjauh, sua
‘Tamu yang dibawa oleh Erick adalah Damien?!’Sejenak Samantha berdiri linglung di tempatnya, tak bergerak, hingga teguran Nyonya Linda terdengar.“Bawa ke sini, Samantha!”“B-baik,” jawab Samantha setelah kesadarannya kembali.Meski kakinya terasa berat, ia tetap mengayunkannya menuju ke ruang makan.Perbincangan terjadi di antara mereka, kedua orang tua Erick menyambut Damien dan melontarkan pujian yang tak putus.Sedang di sebelah Damien, Samantha merasakan tangannya yang gemetar sewaktu ia meletakkan makanan itu di atas meja.Beberapa menit yang membuat napasnya habis, ia lega saat akhirnya bisa pergi dari sana. Namun, suara Damien membuat Samantha menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.“Kenapa Nona Samantha tidak bergabung dengan kita di sini?”Tanya itu membuat Erick saling pandang dengan kedua orang tuanya. Samantha tahu betul bahwa ia tadinya tak akan dilibatkan dalam perjamuan tersebut.Tetapi karena Damien bertanya demikian, akhirnya Erick meminta agar Samantha dud
“Apa kamu berkeliaran dalam keadaan mabuk dan membuat malu keluarga Elton?” Tanya dari Erick kembali mencecar Samantha.“Jawab!”“T-tidak,” jawab Samantha lirih. “A-aku ketiduran di kamar, dan langsung menghubungi kamu saat bangun.”“Benarkah?”Samantha mengangguk, meremas jemarinya, berharap Erick akan percaya dengan kebohongannya.“Kamu tidak melihatku pergi dengan siapa tadi malam?” tanya Erick lagi.“Ya?”Samantha memandang suaminya yang segera berpaling saat tatapan mereka bertemu, entah kenapa ia merasa Erick sedang memastikan sesuatu, seolah ada yang tengah disembunyikannya.“Lupakan!” katanya singkat sembari berjalan melewatinya sehingga Samantha meraih tangannya dengan cepat.“Erick, ayo kita—”“Pergilah ke rumah Mama nanti malam,” potong pria itu. “Mama memintamu menyiapkan makan malam untuk tamu penting. Aku tidak mau mendengar Mama mengeluh tentang kebodohanmu, jadi sebaiknya kamu tidak melakukan kesalahan!”Erick menepisnya hingga tangan Samantha terlempar menjauh dari t
Samantha bingung mencerna situasi. Saat pandangannya mengedar sekali lagi, ia gemetar menyadari bahwa ini bukan kamar resort tempat ia meninggalkan barangnya kemarin.Napasnya tertahan, wajahnya pias kala potongan ingatan semalam datang seperti kilatan cahaya.Pintu yang terbuka, pelukan yang hangat dan cumbuan yang membuatnya tersesat dalam kenikmatan yang tak pernah didapatkannya itu bukan datang dari suaminya, melainkan diberikan oleh pria lain.“Aku pikir kamu adalah wanita yang sengaja disiapkan oleh Erick agar aku tidak bosan di pesta semalam,” ucap Damien dari sofa tempat ia duduk. “Dia mengatakan hal seperti itu saat aku menolak untuk datang.”Samantha menoleh pada tuan muda keluarga Frost itu, tubuhnya menggigil penuh rasa bersalah. Ia telah mengkhianati Erick dengan tidur bersama pria lain.“I-ini kesalahan, Tuan Damien,” jawab Samantha terbata. “Maaf karena saya sembarangan masuk ke dalam kamar Anda.”Damien tak begitu saja menjawab, pria itu lebih dulu bangun dari duduknya
“Sebelum membuat malu, sebaiknya kamu pergi dari sini!” Suara hardikan itu membuat Samantha menoleh pada asal suara dengan kepala yang pening. Maniknya menatap seorang pria dalam balutan jas yang berdiri di sebelahnya. Erick Elton, suaminya. Alis lebat pria itu hampir tertaut saat menebah lengan jasnya yang basah karena Samantha tak sengaja menumpahkan minuman dari gelas berkaki yang dibawanya. Samantha hanya lelah setelah tak beristirahat sama sekali karena menjaga anaknya yang kritis di rumah sakit, tapi ia malah dipaksa datang ke pesta anniversary mertuanya. Ia hampir limbung jika bahunya tak dirangkul dengan cepat oleh seorang gadis dari samping kanannya, yang memastikan ia tetap berdiri tegak. “Kamu baik-baik saja?” tanya suara manis perempuan itu, Eliza. Sahabat sekaligus teman dekatnya dan Erick sejak lama. “Iya,” jawab Samantha, menunjukkan senyum palsunya sembari mengangguk. “Jangan bicara seperti itu pada Samantha, Erick. Dia lelah, tolong mengertilah sedikit!”