Samantha bingung mencerna situasi. Saat pandangannya mengedar sekali lagi, ia gemetar menyadari bahwa ini bukan kamar resort tempat ia meninggalkan barangnya kemarin.
Napasnya tertahan, wajahnya pias kala potongan ingatan semalam datang seperti kilatan cahaya. Pintu yang terbuka, pelukan yang hangat dan cumbuan yang membuatnya tersesat dalam kenikmatan yang tak pernah didapatkannya itu bukan datang dari suaminya, melainkan diberikan oleh pria lain. “Aku pikir kamu adalah wanita yang sengaja disiapkan oleh Erick agar aku tidak bosan di pesta semalam,” ucap Damien dari sofa tempat ia duduk. “Dia mengatakan hal seperti itu saat aku menolak untuk datang.” Samantha menoleh pada tuan muda keluarga Frost itu, tubuhnya menggigil penuh rasa bersalah. Ia telah mengkhianati Erick dengan tidur bersama pria lain. “I-ini kesalahan, Tuan Damien,” jawab Samantha terbata. “Maaf karena saya sembarangan masuk ke dalam kamar Anda.” Damien tak begitu saja menjawab, pria itu lebih dulu bangun dari duduknya. Langkahnya mendekat pada Samantha yang duduk membeku dan menarik selimut agar lebih rapat. Damien tiba terlampau dekat dengannya, salah satu lutut pria itu bertumpu di tepi ranjang, tubuhnya yang menguarkan wangi patchouli condong ke depan, seperti akan menindih Samantha. “Bagaimana kamu akan bertanggung jawab dengan hal itu?” tanya Damien, irisnya menerpa Samantha, tajam dan gelap. Membuat ia gugup tak bisa menjawab. “Bukankah kamu istri Erick? Bagaimana kalau suamimu tahu?” Damien terus bergerak, merenggut keseimbangan Samantha hingga tubuhnya nyaris berbaring dengan mata yang perih. Ketakutan menghantam hingga jantungnya seakan berhenti. Tapi, pria itu tak melakukan apapun selain meraih ponselnya. “Kamu menidurinya.” Damien berujar setelah tubuhnya kembali tegak, suaranya mengandung serak, ada makna lain dalam kalimatnya. Samantha mengangkat wajahnya yang panas, menelan rasa malunya saat mengatakan, “Tolong … jangan katakan apa yang kita lakukan semalam pada orang lain, Tuan Damien,” pintanya. “Terutama pada keluarga Erick.” Damien tak menjawab, pria itu hanya menatap Samantha dengan tenang melalui iris biru gelapnya. “Saya mohon,” imbuh Samantha sebab pria itu hanya diam saja. “Saya mohon agar ini bisa menjadi rahasia kita berdua saja.” Damien akhirnya mengangguk, “Tentu saja,” jawabnya hampir enggan. “Aku tidak mungkin mengatakan pada Erick bahwa telah menikmati tubuh istrinya semalaman, ‘kan?” Sudut bibirnya sedikit terangkat saat ia berdecih, “Yang benar saja.” Samantha menundukkan kepalanya, di hadapan Damien seluruh martabatnya jatuh berserakan di lantai dan ia tak punya cukup kekuatan untuk memungutnya kembali. “Terima kasih,” jawabnya lirih lalu menyingkap selimut yang menutupi kakinya untuk mencari gaun miliknya. Saat ia mempertanyakan ke mana gaun itu berada, tangan besar Damien terulur untuknya. Gaun berwarna lavender itu dihempaskannya di atas ranjang, di atas kaki Samantha. Samantha meraihnya, membawanya untuk berdiri membelakangi Damien dan bergegas mengenakannya agar bisa keluar dari sini sebelum ada orang yang melihatnya. “Erick sudah pergi sejak semalam.” Suara bariton Damien dari belakangnya membuat gerakan tangan Samantha melambat, lalu berhenti. Dadanya mendadak sesak, ‘Erick ... pulang tanpa aku? Tidak mungkin.’ Ia mengumpulkan kewarasan untuk kembali mengenakan pakaiannya, lalu menghadapkan tubuhnya pada Damien. Pria itu kembali duduk di sofa, meraih gagang cangkir dari atas meja dan menyesap minumannya. “Saya permisi,” ucap Samantha lalu menyeret kakinya untuk pergi dari sana tanpa menunggu jawaban Damien. Ia menenteng heels-nya dan memastikan tak ada yang melihatnya sebelum menuju ke kamar yang harusnya ia tempati, di sebelah kamar resort Damien. Samantha masuk ke sana, tubuhnya merosot bersimpuh di lantai, resah memikirkan kejadian semalam. ‘Bagaimana kalau Erick tahu?’ batinnya. Meskipun sudah sepakat dengan Damien, tapi bisakah ia mempercayainya? Samantha menghela dalam napasnya, beberapa menit kemudian barulah ia sanggup bangun dari lantai dan mengambil ponselnya. Tangannya gemetar saat menekan tombol panggil pada kontak suaminya. “E-Erick,” sebut Samantha dengan gugup saat panggilan mereka terhubung. Ia takut suaminya mencurigai sesuatu semisal— “Cepat pulang, Samantha!” hardik Erick dari seberang sana. Tanggapan pria itu tak seperti yang ia duga. “Bawakan barangku pulang karena semalam tidak sempat! Milik Mama dan Papa juga!” Napasnya tercekat, tak bisa bicara. “Pulang naik taksi! Mobilnya sudah kembali ke kota semua.” Lalu panggilan itu mati, Erick menutupnya dengan kasar. Samantha terdiam cukup lama, menyadari bahwa seperti itulah arti hadirnya di keluarga ini, tak lebih dari sekadar pembantu yang bisa disuruh ke sana ke mari oleh keluarga sang suami. Bagaimanapun itu, Samantha bergegas. Ia pulang sesuai permintaan Erick tanpa ada yang tertinggal dan tiba di kota saat hampir tengah hari. Ia menyeret koper milik Erick masuk ke dalam rumah dan menjumpai suaminya itu ada di dalam. Pria itu menyambutnya dengan tanya yang membuat tubuh Samantha menggigil, “Di mana kamu semalam?”Mereka menoleh secara bersamaan pada gadis itu yang masih duduk dengan tenang di samping Giovanni.Tak terbebani dengan wajah terkejut orang-orang yang mendengar apa yang baru dikatakannya.“Ann?” Samantha memanggilnya, seolah memastikan bahwa ucapan itu benar keluar dari bibirnya.“Saya setuju dengan yang dikatakan oleh Bu Samantha,” kata Anna. “Kalau ditangkap sebelum melakukan apapun, kita tidak punya bukti kuat untuk menuduh Erick. Jadi kita perlu membuat dia percaya kalau penculikan itu benar berhasil. Karena Tuan Damien tidak mengizinkan Bu Samantha yang melakukannya, saya bisa menggantikannya untuk itu.”“Kamu serius?” Samantha masih tak percaya.“Iya, Bu Samantha.”“Tapi bagaimana caranya?” tanya Giovanni, menoleh pada Anna dengan kedua mata yang melebar penuh rasa penasaran. “Kita masih belum tahu bagaimana rencana Erick, apakah dia sendiri yang akan menculik Nona Samantha, atau dia akan meminta pria bayarannya itu.”“Aku tahu caranya,” sahut Samantha.Ia sejenak saling panda
“P-penculikan?” ulang Samantha dengan gugup.Manik cokelat gelapnya bergerak tidak nyaman, menatap pada Damien dan Giovanni secara bergantian.Makan pagi yang harusnya dalam keadaan tenang berubah menjadi menegangkan.Atmosfer di sekitar mereka menjelma suram dalam kecemasan.Siapapun yang ada di dalam ruangan itu tau bagaimana Erick telah meninggalkan bekas luka dan trauma yang mendalam bagi Samantha.“Teman dekatnya bilang begitu, Sayang. Tapi kami juga belum tahu kapan itu akan dia lakukan. Yang jelas ... aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu. Hm?”Damien mengusap kepala bagian belakang Samantha, pada rambut panjangnya yang hitam.“Jadi apa rencana Tuan Damien?” tanya Anna mendadak dari seberang meja.Sedikit merasa bersalah karena ia lah yang pertama menyinggung soal mata-mata di persimpangan sebelah timur mansion.Karena dilihat dari gelagat dan kalimat Damien barusan, sepertinya ia dan Giovanni sengaja menyembunyikannya dari Samantha.“Kalau dugaanku benar, dia akan menculik
Sebenarnya ... semua diawali dari sini: Pertama, Damien meminta Giovanni mencari tahu latar belakang Pierre, teman terdekat Erick. Mereka menemukan fakta mencengangkan bahwa adik perempuan Pierre tengah didekati oleh Erick. Lalu Giovanni memancing Pierre dengan rahasia kelakuan bejat Erick sehingga membuat ia berada di pihak mereka. Artinya, satu langkah Damien telah selesai. Kedua, ia meminta Giovanni menghubungi ahli teknik kimia milik mereka untuk membuat dua ledakan lainnya tanpa menimbulkan korban jiwa. Dean mengirim dua kotak itu ke rumah sakit dan ke mall, mengendarai motor dan menyerupai penyamaran Erick sewaktu mengirim paket ke Harvest Table. Ketiga, Axel mengunggah artikel tentang sejarah ‘kelam’ ledakan di kota sehingga itu memancing reaksi partai SDA yang menuduh anggota NVP melakukannya. Pihak NVP marah dan mengumumkan mereka akan menemukan pelaku pengirim paket ledakan itu serta memberi pelajaran setimpal pada siapapun itu! Situasi untuk menyudutkan Erick
“Kalau dugaanku benar, dia akan menghubungimu dalam waktu dekat. Kalau dia membicarakan soal rencana penculikan Samantha, terima saja. Katakan padaku apapun yang terjadi,” jawab Giovanni. Pierre mengangguk tanpa banyak protes. Ia menerima sebuah kartu nama dari Giovanni yang kemudian ia simpan. Perjumpaan mereka berakhir di sana. Giovanni meninggalkan The Eclipse dan pergi ke suatu tempat. Ia menemui seorang pria yang bekerja di Drexon Corp, seorang ahli teknik kimia. Giovanni dibawanya masuk ke dalam sebuah ruangan di mana di dalam sana pria itu menunjukkan dua kotak berukuran sedang yang ada di atas meja. Kotak hitam yang persis seperti yang dilihat Giovanni diterima oleh Anna berisikan bom hari itu. “Sudah selesai kamu buat, Dean?” tanya Giovanni saat itu. “Sudah, Pak Gio. Skala ledakannya jauh lebih kecil daripada yang terjadi di Harvest Table.” “Kirim ke halte rumah sakit nanti setelah pemberhentian bus terakhir dan di parkiran mall milik Drexon saat sudah mendek
“LEPAS!” Erick memberontak sewaktu beberapa orang pria berjaket kulit memasuki tempat terbengkalai itu. Ia digelandang menjauh dari hadapan Damien yang memasang badan untuk melindungi Samantha dan Anna dari amukan amarahnya. Rasa sakit menyerang kedua lengannya, cengkeraman mereka menyakitinya hingga seolah menembus tulang. Erick terseret-seret di atas lantai berdebu gedung tersebut. Akal sehatnya menghilang sewaktu ia mencoba meraba apa yang sebenarnya tengah terjadi kepadanya. Sepasang matanya memanas, rasa terhina menguliti wajahnya hingga terkelupas. Ia menilik sebentar ke belakang, pada kalimat Anna yang mengatakan tentang Pierre yang mengkhianatinya. Apakah jangan-jangan ... ini semua adalah perangkap Damien? Penculikannya ini telah diketahui oleh pria itu dan Pierre adalah bagian dari mereka? “DAMIEN MORGAN!!” serunya memecah keheningan. “APA INI SEMUA RENCANAMU?!” Damien tiada menjawab. Ia hanya bergeming, menatap Erick lewat iris birunya yang berkilauan. Dari samping
“K-kamu—“ Erick terbata-bata, mencoba mengingat wajah tak asing yang menyeruak di hadapannya ini. Bukan Samantha seperti yang sedari tadi ia pikirkan, melainkan …. “Kamu stafnya Samantha, ‘kan?” tanyanya memperjelas. “Anna. Kamu Anna!” Sepasang mata Erick membola, tak percaya dengan apa yang disaksikannya sekarang ini. Dengus napasnya terdengar kasar sewaktu ia menguraikan kain yang membebat bibir gadis itu. Merekatkan kembali kewarasan yang nyaris sirna akibat kegagalan fatal. Operasi penculikan Samantha telah menemui akhir! Tapi bagaimana bisa? Yang dilihat olehnya di foto tadi memanglah Samantha. Ia mengenakan gaun berwarna ungu sama seperti yang dipakai oleh Anna. Bahkan, saat Erick memastikannya sekali lagi di ponsel miliknya itu, yang dijumpainya memanglah Samantha Celestine. Jadi bagaimana bisa berubah wujud? ‘Apa jangan-jangan … Pierre salah menangkap orang?’ batinnya mulai menerka. Ia bangun dari berlututnya, menegakkan tubuh dan menunjuk Anna dengan geram. “Kamu tun