Sudah beberapa minggu sejak Mey dan Rafael mulai saling lempar candaan disela latihan. Awalnya, semua terasa biasa saja. Seperti hubungan pelatih dan klien pada umumnya. Tapi sejak Rafael mulai bawain handuk bersih sebelum sesi dimulai, atau mengingatkan Mey buat minum dari botol minum favoritnya, semuanya jadi terasa...beda.
Hari itu gym agak sepi. Musik instrumental mengalun pelan, mengisi ruang di antara alat-alat berat dan bayangan mereka yang memantul samar di kaca besar. Rafael berdiri tak jauh dari Mey. Tapi cukup dekat untuk bikin jantung Mey berdetak sedikit lebih cepat.
"Udah minum? " tanya Rafael sambil menyodorkan botol air dinginnya.
"Udah sih..tapi makasih, " jawab Mey, tangannya menerima botol itu sambil, tanpa sadar, menahan nafas. Jari mereka sempat bersentuhan sebentar.
Mey tertawa kecil. " Gila ya...dulu aku mikir gym tuh tempat bising, keringetan, dan capek banget. Tapi sekarang malah kerasa kayak...tempat buat nenangin diri. "
"Karena kamu udah nemuin ritmemu sendiri, " kata Rafael. " Atau mungkin...karena, kamu nemu tempat yang bikin kamu ngerasa hidup lagi. "
Ucapan itu kena tepat di titik kosong dalam hati Mey. Ia menatap Rafael sejenak, lalu buru-buru mengalihkan pandangan ke arah treadmill kosong.
Latihan selesai. Tapi tubuh Mey nggak benar-benar lelah. Yang capek justru pikirannya sendiri.
Rafael duduk di bangku dekat alat rowing machine. Ia menepuk tempat kosong di sampingnya. Isyarat kecil. Mey mendekat dan duduk di situ.
"Aku mau nanya sesuatu..tapi janji nggak bakal tersinggung, ya? " ucap Rafael, suaranya pelan banget.
Mey mengangguk. " Tanya aja. "
" Kamu pernah ngerasa...hidupmu aman, stabil, semua kelihatan baik-baik aja...tapi dalemnya kosong banget? "
Mey menghela nafas panjang. Matanya menunduk, menatap lantai. " Sering. Terlalu sering malah. Kaya...semuanya lengkap. Tapi tetap aja ngerasa sendirian. "
Rafael mengangguk pelan. " Aku juga. Diantara semua orang yang datang ke tempat ini...cuma kamu yang kayanya ngerti rasa sepi di ruangan rame ini. "
Sejenak mereka diam.
Rafael menatap Mey lamat-lamat.
Mey berdiri mendadak. " Aku pulang duluan ya, Raf."
Rafael hanya mengangguk. "Hati-hati. "
Sepanjang perjalanan pulang, kepala Mey penuh dengan suara-suara. Ucapan Rafael, bentuk tubuhnya yang melekuk atletis. Rahangnya yang mengeras kala memberikan instruksi.
“Lupain Mey!.” pekik Mey dalam hati.
---
Di kamar, Mey buka jendela lebar-lebar. Angin malam masuk pelan. Langit malam terlihat biasa saja, tapi dalam dirinya...ada sesuatu yang luar biasa bergejolak.
Ia mencoba berbaring. Tapi nggak bisa tidur. Tiap kali merem, yang muncul malah bayangan mata Rafael, mata coklat yang seperti ingin bicara serta tubuhnya bagai pas untuk dipeluk dirinya.
Mey menoleh ke arah lampu meja.Tangannya meraih jurnal kecil yang biasanya ia tulis kalau isi kepalanya mulai kusut.
Tulisan tangannya terburu-buru.
" Kenapa aku deg-degan kaya gini? ini salah, kan? Tapi kenapa rasanya kayak..hidup? Sejak kapan perhatian kecil bisa bikin dada aku sesak. Gimana kalau aku cuma salah baca? Tapi..kenapa matanya nggak bohong? "
Mey menutup jurnalnya dan meletakkannya kembali. Tangannya refleks menyentuh dada yang masih berdebar pelan.
Tiba-tiba handphonenya bergetar. Notifikasi masuk. Ia langsung mengambilnya.
Mata Mey mengernyit. Notifikasi transaksi masuk. Atas nama suaminya. Hotel. Jam 01.30 pagi. Lokasi : Pusat kota.
Jantungnya langsung melambat. Ia mengetik cepat, menelusuri nama hotel itu. Dan saat hasil pencarian muncul, nafasnya tercekat.
" Hotel Deluxera-Couple only, no ID check. "
Kamis Sore – Kantor LondonSeharian energi di kantor agak lain. Nggak ada yang blak-blakan bilang apa-apa, tapi vibe-nya kebaca. Beberapa kolega lempar komentar ringan kayak, “Wah, kalian makin kompak ya,” atau “Dynamic partnership-nya udah enak banget dilihat.”Mey cuma senyum diplomatis. Rafael jawab santai, “Ya, sinkronisasi kerjaan kita memang target dari awal.”Tapi mereka sama-sama tau: orang bisa ngerasain energi. Dan sekarang, energinya beda.Jam 3 sore – Ruang MeetingMereka lagi bahas follow-up kontrak Garuda. Di tengah diskusi, salah satu staff nyeletuk, “Kalau boleh jujur, approach kalian tuh udah kayak udah bertahun-tahun tandem bareng. Jarang ada partner bisnis yang klik kayak gini.”Mey lempar senyum profesional. “Syukurlah kalau kelihatan gitu. Itu berarti struktur partnership kita jalan.”Tapi dalam hati, dia tahu “klik” yang orang lihat jauh lebih dalam daripada sekadar bisnis.Jam 5 sore – Coffee B
Kamis Pagi – 7 AM – Flat MeyMey kebangun pas cahaya matahari nyusup lewat tirai tipis. Rafael masih tidur di sampingnya, satu tangan melingkar di pinggang, napasnya tenang di tengkuknya.Semalam bukan cuma soal “domestic experiment.” Itu kayak breakthrough. Nggak cuma fisik, tapi juga emosional. Untuk pertama kali, mereka bener-bener nggak nahan apa pun.Oh, jadi gini rasanya integration.“Morning,” suara Rafael serak, setengah sadar.“Morning.”Dia nyium pelan bahu Mey. “How do you feel?”“Complete. Kayak semua pieces akhirnya nyatu.”“No regrets?”“Nggak ada. Kamu?”“Cuma nyesel kenapa baru sekarang.”Mey ketawa tipis. “Mungkin memang waktunya harus pas. Kita juga mesti siap dulu buat sampai ke titik ini.”“Yeah, maybe.”Mereka diem sebentar, tapi heningnya enak. Bukan awkward.“Raff?” Mey manggil.“Mmm?”“Aku pengen pastiin semalam itu b
Rabu Sore - 6:30 PM - Flat Mey, LondonMey sibuk beres-beres flat dengan energi setengah gugup yang nggak dia kira bakal muncul. Rafael udah pernah main ke sini sebelumnya, tapi malam ini beda. Malam ini mereka sepakat nyobain sesuatu yang lebih nyata: domestic experiment.Flat Mey lebih kecil dibanding punya Rafael, tapi jauh lebih personal. Buku-buku berantakan tapi tertata, tanaman di jendela, print art di dinding, bantal sofa yang warnanya nggak nyambung tapi anehnya cocok. Tempat yang jelas-jelas nunjukin siapa Mey, bukan tempat yang dibuat buat “ngeselin tamu.”Jam tujuh pas, bel bunyi.“Hey,” Rafael muncul di pintu bawa wine sama paper bag gede. “I brought supplies.”Mey ngangkat alis. “Supplies apa?”“Bahan masakan buat dinner, dessert, sama wine biar ada alasan buat toast sukses partnership kita.”Kepala Mey geleng. “Kamu nggak harus repot gitu—”“Justru pengen. Lagian aku penasaran sama skill dapur kam
Selasa Malam – 7 PM – Restoran Central LondonMey datang lima menit lebih awal. Dress navy yang rapi tapi tetap elegan, rambut ditata simpel, polished tapi nggak ribet. Malam ini penting—pertama kali dia datang ke client dinner bukan sebagai support staff, tapi sebagai partner.Rafael udah nunggu di bar area. Dark suit, aura authoritative banget. Begitu lihat Mey, dia senyum—kombinasi antara bangga secara profesional dan personal.“You're perfect,” katanya pelan.“Business-appropriate?”“Business-appropriate dan confident. Persis yang kita butuhin malam ini.”Mr. Suharto dan Mrs. Chen dari Garuda muncul tepat waktu. Rafael dan Mey berdiri berdampingan, presenting diri mereka sebagai satu tim yang solid."Good evening," Rafael extend hand untuk handshake. "Thank you for making time to this follow-up discussion.""Our pleasure," Mr. Suharto respond. "And Ms. Mey, delighted to see you again.""Th
Senin Pagi - 8:30 AM - Kantor Bersama LondonMey sengaja datang lima menit lebih awal dari Rafael. Dia butuh waktu buat settle dulu sebelum ngetes gimana dinamika baru mereka di kantor.Kopi udah ready, laptop nyala, dokumen Garuda follow-up rapi di meja. Mode kerja: on.Rafael masuk dengan kemeja navy andalannya. Langkahnya percaya diri, tapi tatapannya lain—hangat, ada familiar vibe yang cuma mereka berdua ngerti.“Pagi,” katanya, suaranya biasa, tapi ada sesuatu di baliknya.“Pagi. Kopi udah siap.”“Thanks.”Interaksi kelihatan profesional, tapi di bawah permukaan ada subtext yang cuma mereka rasa. Persis kayak yang mereka omongin weekend kemarin.Rafael duduk, nyalain laptop. Tapi beberapa kali nyuri pandang ke Mey, kasih senyum kecil yang jelas-jelas bukan senyum standar kantor.“Agenda hari ini?” dia balik ke mode bisnis.“Refinement Garuda presentation, call sama Singapore project jam du
11 AM – Tesco Grocery Store“Kamu suka susu yang mana?” Rafael nanya sambil megang dua karton di lorong dairy.“Full-fat. Hidup terlalu singkat buat pura-pura suka skimmed.”“Ok. Aku ambil yang almond milk .”Mey ketawa. “Nggak ada yang salah sih sama almond milk, tapi jelas bukan buat kopi. Dan aku tau itu buat perform body kamu kan?”“Correct.”Mereka muter-muter toko dengan lancar banget. Nggak ada drama soal merek, nggak ada debat panjang. Rafael otomatis ambil bagian sayur-buah, Mey fokus ke barang-barang kering. Kayak udah terbiasa aja.“Dinner nanti malam?” Mey nanya waktu mereka sampai di bagian daging. “Masak sendiri atau pesan aja?”“Liat dulu kemampuan masak kamu seberapa, selama nggak sama aku.”“Lumayan sih, asal jangan disuruh fancy.”“Aku juga sama. Bisa pasta, tumisan simpel, atau grill standar.”“Pasta kedengeran oke. Saus merah atau putih?”“Merah dulu. Saus