"Javran sama Naura cuma pernah ketemu sekali waktu lamaran tiga bulan lalu," ujar Mama, duduk di sebelahku sebelum acara resepsi dimulai. Aku sudah lengkap berdandan dengan kebaya putih dan riasan adat jawa. Meski make-up di wajahku terlihat cantik, tapi tak bisa menyembunyikan raut gusar dan engganku.
"Mereka kenal di dating app, udah pacaran online selama lima tahun. Jadi kamu tinggal baca chat mereka di aplikasi, dan langsung bisa peranin Naura dengan baik. Javran nggak akan curiga," lanjut Mama.
Mama menyerahkan ponsel milik Naura ke tanganku. Aplikasi kencan itu masih terbuka. Ribuan pesan memenuhi layar. Percakapan penuh cinta, harapan, dan rahasia kecil yang hanya diketahui oleh dua insan yang saling percaya.
Aku mengangguk. "Iya, Ma."
Karena memang apa lagi yang bisa kulakukan?
Jika imbalannya adalah kebebasan, aku rela bertahan dalam sandiwara ini.
"Kalau ada yang kamu bingung, tanya ke Mama. Mama tahu semua hal tentang Naura dan Javran. Mereka itu kayak pasangan surga. Saling melengkapi, saling mencintai." Nada suara Mama terdengar sangat bangga. “Mama bener-bener nggak sabar nunggu Naura sadar dari komanya.”
Tentu saja Mama tahu segalanya tentang Naura. Karena Mama selalu memperhatikan Naura. Selalu ada untuk Naura. Selalu bangga pada Naura dan menganggap Naura adalah permata paling cantik di dunia.
Sementara aku?
Jangankan dimengerti. Bahkan pertanyaan sederhana seperti "Apa kamu baik-baik aja, Naima?" tak pernah sekalipun terucap dari mulutnya.
Pernah aku berpikir, mungkin lebih baik jadi anak yang sakit-sakitan. Setidaknya, aku akan mati dalam pelukan keluarga. Bukan di kamar kostku di Dongyang yang kecil, dalam sunyi, dalam sepi yang menyesakkan.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sosok wanita paruh baya mengenakan kebaya maroon masuk—Sundari, adik Mama.
Ekspresi Tante Sundari terlihat kesal. "Si Naima masih nggak mau pulang? Betah banget dia di China. Padahal hari ini hari pernikahan adik satu-satunya. Tapi masih juga nggak bisa ngeluangin waktu.”
Aku hanya tersenyum, pahit.
Tak ada yang tahu bahwa akulah Naima.
Tak ada yang tahu bahwa kini, Naura tengah terbaring koma di rumah sakit.
Semakin sedikit yang tahu, semakin lama rahasia ini akan hidup.
“Nggak usah bahas orang yang nggak ada,” balas Mama, dingin.
Tante Sundari memutar bola mata. Dia lalu mendekatiku sambil tersenyum cerah. Matanya berbinar-binar. “Naura memang selalu yang paling cantik.” Dia meraih kedua jemariku lembut. “Akhirnya, Tante bisa lihat kamu menikah juga. Tante denger calon suami kamu kaya raya dan punya perusahaan tambang. Kamu pasti bakal hidup bahagia dan bergelimang harta. Tante bener-bener bahagia, Naura.”
Aku hanya bisa tersenyum.
Padahal dulu Tante selalu tak suka saat melihatku, selalu mencari cara untuk menjatuhkanku hanya untuk menaikkan harga diri Naura. Tapi saat berperan sebagai Naura, aku disayang dan dipuji-puji. Sungguh kontradiksi yang membuatku muak.
“Loh, smartwatch-mu mana? Kok nggak dipake?” suara Tante Sundari terdengar khawatir. “Kamu harus terus pakai supaya kesehatanmu bisa terus dipantau.”
Aku mengerjapkan mata, lalu menatap Mama, gelisah. Naura memiliki jantung lemah sejak lahir. Jadi kondisinya harus terus dipantau. Smartwatch yang dibuat khusus itu selalu menempel di pergelangan tangan Naura seperti jimat.
“Tadu dicopot dulu soalnya ribet pakai kebaya.” Mama mengeluarkan jam keramat itu dari dompet-nya, lalu memakaikan benda itu padaku. “Nah, sekarang udah aman.”
Tante Sundari tersenyum.
"Udah, yuk. Rombongan pengantin pria udah di depan. Saatnya kita menyambut mereka." Mama mengalihkan pembicaraan. “Ayo, kita pergi sama-sama.”
Aku berdiri. Menarik napas dalam-dalam.
Menyiapkan diri untuk babak kebohongan berikutnya.
Satu langkah lagi.
Satu cincin di jari manis.
Dan hidupku tak akan pernah sama lagi.
Saat keluar, Kak Putra berdiri seolah sudah menunggu lama. Tatapan kami bertemu, kak Putra meraih tanganku dan menariknya. “Ada yang harus Kakak bicarain sama kamu. Penting.”
Saat kami tiba di ujung lorong, Kak Putra menatapku, dalam dan tajam. “Jangan pernah berpikir buat ngasih tahu kebenarannya sama Javran. Atau kamu akan tahu sendiri akibatnya.”
Mataku gemetar. Kedua tanganku saling mengepal.
Dengan sisa kewarasanku, kubalas ucapan Kak Putra dengan nada dingin, “Aku nggak bodoh. Keinginanku untuk enyah dari keluarga ini jauh lebih besar!”
***
Pernikahan itu begitu megah, seperti mimpi yang terlalu mahal untuk kubayar dengan hati sendiri. Ballroom Hotel Aryaduta Jakarta disulap menjadi istana putih keemasan. Dinding-dindingnya dipenuhi bunga mawar putih dan anggrek, ratusan lampu kristal menggantung seperti hujan cahaya, dan karpet merah membentang dari pintu masuk sampai pelaminan.
Ribuan undangan duduk rapi, mengenakan pakaian terbaik mereka. Kamera dari vendor sibuk menangkap setiap detik prosesi. Di hadapanku berdiri Javran, dalam setelan beskap putih, wajahnya bersinar seperti pangeran dalam dongeng. Dia memiliki hidung mancung, sepasang mata teduh yang dinaungi alis tebal, dan rahang proporional. Wajahnya campuran asia dan sedikit darah eropa.
Saat dia menatapku, matanya menyimpan ribuan cinta. Pandangannya membuatku ingin berbalik dan kabur. Tapi aku tetap berdiri. Diam. Menahan napas. Lalu dia tersnyum bahagia, aku memaksakan untuk mengulas senyum yang sama.
Di meja yang sudah disiapkan untuk akad, aku duduk di samping Javran. Seorang penghulu dari KUA duduk di tengah, disaksikan oleh para saksi dan tamu keluarga.
Penghulu menjabat tangan Javran, dengan ketegasan di sepasang bola matanya. "Saya nikahkan dan saya kawinkan saudari Naura Isabella binti Tjakra Kusuma dengan saudara Javran Aryasatya, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Jantungku seperti berhenti berdetak.
Nama itu—Naura Isabella. Nama itu disebut dengan khidmat. Nama itu terdengar seperti mantra yang mengutukku ke dalam lubang kebohongan yang lebih dalam.
"Saya terima nikah dan kawinnya Naura Isabella binti Tjakra Kusuma dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Kalimat itu meluncur dari mulut Javran tanpa ragu. Tepuk tangan pecah dari seluruh ruangan. Tangis bahagia terdengar di beberapa sudut. Aku hanya bisa menunduk, menahan rasa bersalah yang mencabik-cabik dada.
Aku tidak merasa bersalah pada Naura karena telah menggantikan posisinya. Aku merasa bersalah pada Javran yang begitu tulus, tapi dibohongi habis-habisan olehku dan keluargaku.
"Naura... kamu cantik banget," Javran menatapku, sambil berbisik lirih. Senyum itu tulus. Mata itu penuh rasa. "Aku masih nggak percaya hari ini benar-benar datang juga. Setelah lima tahun kita bertahan."
Tangannya meraih jemariku, menyematkan cincin pernikahan di jari manis kiriku. Sentuhan itu hangat, sehangat cinta yang tidak pernah kuterima. Aku tersenyum. Palsu, namun cukup untuk membuat para tamu bertepuk tangan bahagia.
"Aku... juga senang akhirnya kita sampai di sini," kataku. Suaraku serak. Kuambil sisa cincin di kotak beludru dan menyematkan benda itu di jari manis Javran. Pas.
Lalu aku meraih tangan kanan Javran dan mencium punggung tangannya, hangat dan sakral.
***
Di pelaminan, dia duduk di sampingku, tak pernah melepaskan genggaman. Wajahnya terus menghadapku, menyembunyikan antusiasme seperti anak kecil yang baru mendapat mainan impian. Kami sedang menunggu rangkaian acara adat sunda, menunggu MC memberikan komando.
Javran masih menggenggam tanganku, dan dengan suara pelan, hanya untuk kami berdua, dia berkata, "Aku tahu ini baru awal, tapi aku nggak sabar memulai hidup baru sama kamu. Aku udah cari rumah di daerah Jakarta Selatan, dekat rumah kamu, dan memilih menetap di sini. Lagian aku juga udah bosen tinggal di Batam. Oh iya. Kita bisa punya anjing, corgi kayak yang kamu suka. Dan kalau kamu siap... kita bisa punya anak."
Aku hanya menatap kosong ke depan.
Semua rencana itu... bukan untukku. Itu semua adalah milik Naura. Mimpi Naura. Keinginan Naura.
Lalu Javran menoleh lagi padaku. "Ngomong-ngomong... katanya kamu punya kembaran, ya? Kenapa dia nggak datang ke pernikahanmu?"
Aku tercekat. Aku menoleh pelan. "Eh... dia sibuk kerja di Tiongkok. Nggak bisa pulang," jawabku cepat.
"Oh, jadi kamu dan kembaranmu sama-sama kerja di Tiongkok? Kamu di Dongyang kan, dia juga di sana?"
Aku terdiam. Wajahku kaku. Aku belum sempat membaca isi chat itu. Jadi aku tidak tahu apa-apa.
"Ah, iya. Kami sama-sama di sana," kataku, berusaha terdengar tenang.
Javran mengangguk pelan, meski kerutan di dahinya terlihat. Mungkin pikirnya aku tak dekat dengan kembaranku karena tidak tahu apa-apa soal dia.
"Kamu ingat nggak, kamu pernah cerita tentang restoran bebek panggang favoritmu? Yang kamu Nanti setelah kita pindah, ajak aku ke sana, ya. Aku juga pengin makan makanan kesukaan kamu.”
Aku meneguk ludah. Dadaku mencelos.
Aku benci bebek. Bahkan aku alergi. Aku tak pernah sekali pun makan bebek sepanjang hidupku.
Kepalaku mulai berdenyut.
"Iya... aku ingat," bisikku. Dan kebohongan itu kembali mengalir.
Javran tersenyum. "Nggak sabar rasanya menyambut semua hal baru bareng kamu."
Tepuk tangan kembali menggema. Seorang penyanyi mulai menyanyikan lagu cinta yang lembut dari sudut ballroom. Lampu diredupkan sedikit, memberikan nuansa hangat dan romantis. Di layar besar, foto-foto perjalanan cinta 'Naura dan Javran' diputar—semuanya dikirimkan oleh Naura. Selfie, screenshot chat, hingga foto blur yang menunjukkan tangan mereka berdua saat video call.
Aku ingin berdiri dan pergi. Tapi aku tahu, satu langkah keluar dari pelaminan berarti kehancuran bagi keluarga. Satu kalimat pengakuan berarti membuang kebebasan yang dijanjikan.
Di tengah sorotan ribuan pasang mata, aku tersenyum lagi. Senyum yang lebih tipis. Lebih berat.
Aku tidak menikahi cinta. Aku menikahi kenyataan. Dan kenyataan itu sangat dingin.
Aku sudah selesai mandi dan berganti baju. Rambutku masih sedikit basah, menetes pelan di tengkuk, membuat kulitku merinding. Kaus longgar dan celana santai yang kupakai terasa agak lembap dan tidak nyaman karena tubuhku belum sepenuhnya kering. Tapi aku terlalu gelisah untuk memperhatikan semua itu.Ketika mengecek ponsel, mataku langsung membesar. Jantungku mencelos.Satu pesan dari Mama.‘Naura sudah sadar dari komanya.’Tanganku yang menggenggam ponsel langsung gemetar. Aku terdiam beberapa detik, mencoba mencerna isi kalimat itu. Rasanya seperti waktu berhenti, mendadak kosong dan hening.Lalu tubuhku tersentak. Aku buru-buru meraih tas yang tergantung di belakang pintu, menyampirkannya ke bahu, dan keluar dari kamar. Langkahku terburu-buru menuruni anak tangga.Saat menoleh ke ruang tengah, Javran tidak ada di sana. Mungkin dia sudah kembali ke kantor. Dan untuk kali ini, aku tidak akan mencarinya. Mungkin memang lebih baik begitu.Perjalanan menuju rumah sakit terasa seperti si
JAVRAN POVSetelah kami kembali dari PRJ, Naura langsung tidur. Kupikir dia begitu karena kelelahan, jadi aku tak mempermasalahkannya. Aku pergi ke ruang kerja untuk menyiapkan bahan presentasi besok. Tapi saat aku kembali ke kamar pukul satu dini hari, aku bisa melihat Naura yang terlihat gelisah dalam tidurnya.Dahi hingga leher Naura basah oleh keringat. Saat kusentuh, hawa panas langsung menusuk kulitku. Buru-buru aku mengambil handuk kecil di lemari dan mengelap keringat di dahi Naura. Setelah itu, aku membasahinya dengan air hangat untuk mengompres keningnya. Kugenggam tangan istriku dan duduk di sampingnya.Kejdian saat di mobil tadi kembali tergiang.Penolakan Naura. Tatapan tajam dan penuh amarahnya. Kenapa Naura terlihat benci saat aku menciumnya? Sekuat apapun aku berpikir, aku masih tak menemukan jawabannya. Apa jangan-jangan ada yang Naura sembunyikan dariku?Terkadang aku selalu tatapannya yang menyorot begitu jauh, seolah-olah jiwanya tidak berada di sampingku.“Apapun
Saat kesadaranku kembali, aku langsung mendorong dada Javran menjauh. Kuusap bibirku dengan punggung tangan. Napasku terengah-engah. Tatapanku tajam saat melihat Javran.Tanpa sadar aku menaikkan nada suara. “Jangan cium aku tanpa persetujuanku!”Javran mengerjap, terkejut. Ada sorot terluka di sepasang matanya. “Naura, aku---” dia kehabisan kata-kata, sejenak. “Apa tadi aku terlalu kasar? Maafin aku karena nggak bisa nahan diri. Aku—”Kualihkan pandangan, kupejamkan mata sejenak dan mengatur napasku. Tidak seharusnya aku membentak Javran. Itu bukan salahnya. Jelas ini semua karenaku yang tak segera menghindar saat wajahnya mendekat. Salahku karena menikmati ciumannya hingga terlena.“Aku capek banget hari ini,” ujarku, dengan nada lemah, sambil menatap ke luar jendela. “Aku mau cepet pulang dan istirahat di rumah.”“Baiklah.”Javran kembali ke posisi duduknya, mulai mengemudi dalam diam.Sementara itu, aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Rasa ciuman Javran masih tertinggal di sana
Jika Tante Melati ingin bertindak seolah-olah dia adalah istri Javran—dengan menyiapkan sarapan, makan malam, hingga bekal untuk Javran, maka aku tidak akan melarangnya. Aku juga tidak akan berusaha keras mendahuluinya memasak—hanya untuk membuat Javran terkesan.Tiba-tiba aku menyadari satu hal yang penting: aku tak perlu berusaha keras untuk menyenangkan siapapun di rumah ini. Karena pada akhirnya, semua itu akan jadi milik Naura.Aku bahkan sudah tak peduli jika Tante Melati akan menfitnahku—atau bahkan mempermalukanku di depan Javran. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah bertahan. Bertahan sampai Mama membuat keputusan antara membiarkanku yang membongkar permainan ini—atau dia sendiri yang membongkarnya.“Naura… Naura. Kerjaanmu di rumah ini cuma makan, tidur dan nonton drama china.” Tante Melati duduk disampingku yang sedang nonton drama di ruang keluarga. Semua camilan kesukaanku baru saja diantar ojol, tergeletak begitu banyak di atas meja.Kalau tidak sekarang, kapan lagi ak
Karena aku adalah Naima, aku tak terlalu sakit hati saat mendengar ucapan Tante Melati. Malahan aku kasihan pada Naura—jika harus mendengar kalimat menyakitkan itu sendiri.Ah, tidak. Kenapa aku harus kasihan?Naura justru punya banyak akal untuk menghadapi manusia seperti Tante Melati dibanding aku. Tapi untungnya, aku menghabiskan nyaris seumur hidupku di samping Naura. Jadi aku tahu, trik apa yang bisa dipakai untuk menghadapi manusia munafik seperti Tante Melati. Naura telah mengajariku banyak hal tentang bagaimana cara memanipulasi orang lain.Karena tak bisa mempraktikannya pada keluargaku, aku bisa mencobanya pada Tante Melati.“Aku nggak pernah maksa Mas Javran buat bantuin bisnis keluargaku, Ma, Mas Javran sendiri yang mau,” jawabku, dengan nada tenang. “Mungkin Mas Javran ngelakuin itu karena pengin dapat pujian dari papa dan mamaku? Dia ingin dicap jadi menantu yang baik dan pengertian.”Bola mata Tante Melati berkilat, dipenuhi amarah yang siap meledak. Dia menunjuk-nunjuk
“Maksudku, bukannya aku nggak bisa makan pedes sama sekali,” ujarku, berusaha tetap tenang padahal jantungku berdebar keras seperti genderang perang. “Maksimal sebulan sekali, aku selalu makan pedes kalau lagi kepengen banget.”Kebohongan yang pertama membuatku merasa bersalah hingga menghantui berkali-kali. Tapi setelah kebohongan itu terus berlanjut, lama-lama aku jadi terbiasa. Bahkan mungkin di masa depan nanti, aku tak akan didera perasaan gugup jika ingin berbohong lagi.“Kamu suka makan seblak di mana? Biar aku anterin.” Javran menatapku hangat. Sepertinya dia sudah percaya.“Emangnya kamu bisa makan seblak?” tanyaku, penasaran.“Aku belum pernah nyoba. Tapi kayaknya bisa,” balasnya, ragu-ragu. “Kalau kamu suka, aku pasti juga suka.”“Kamu harus nyobain dulu baru bisa bilang begitu.” Tanpa sadar aku tertawa melihat kelakuan Javran yang super polos. “Nanti aku pesenin yang biasa aku makan. Tapi kalau emang nggak bisa ketelen, jangan dipaksain, oke?”Javran menatapku singkat, kem