Share

Jangan Sesali Kepergianku
Jangan Sesali Kepergianku
Author: Ainindah

BAB 1. Badai

Author: Ainindah
last update Last Updated: 2025-07-01 11:37:50

"Naura kecelakaan dan sekarang koma. Padahal besok hari pernikahannya." Suara Papa terdengar gemetar, serak menahan duka yang mendalam. Wajahnya merah padam, matanya tampak lelah dan sembab, seolah telah menahan tangis yang tak kunjung pecah. "Kamu harus gantiin posisi Naura, Naima. Kamu yang harus nikah sama Javran."

Mataku melebar terkejut. Aku tak percaya kalimat itu akan keluar dari mulut Papa. Bagaimana bisa beliau menyuruhku untuk menggantikan posisi Naura? Biarpun kami saudari kembar, kami memiliki fisik yang identik, tapi kami bukan orang yang sama! Kami berbeda pendapat dan kepribadian! Suara-suara di kepalaku berteriak, menolak gagasan gila ini.

"Nggak bisa, Pa. Lusa aku harus balik ke Dongyang, ada ujian semester yang nggak bisa kutinggal." Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang, walau ketegangan merayap di seluruh tubuhku. Aku ingin beliau memahami posisiku. "Kita bisa bicara baik-baik sama keluarga Javran. Minta pengertian mereka. Mereka pasti mau mengerti," balasku, dengan nada tegas, mencoba menyalurkan logika di tengah kegilaan ini. "Javran pasti pengen nikah sama perempuan yang dia cintai, bukan aku."

Papa memalingkan wajah sejenak, tatapannya menyapu lantai koridor yang bersih, lalu kembali menatapku. Ada kilasan keraguan di matanya, namun hanya sesaat, sebelum kembali mengeras. "Papa nggak nyuruh kamu nikah beneran. Kamu cuma perlu gantiin posisi Naura di akad dan resepsi. Di buku nikah tetap nama Naura. Ijab qabul juga atas nama Naura. Nanti setelah Naura sadar, kamu bisa pergi lagi ke mana pun kamu mau."

Hanya sampai Naura sadar? Sebuah pertanyaan menusuk benakku. Bagaimana jika Naura tak kunjung sadar? Apa aku harus menggantikan posisinya jadi istri selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tanpa ikatan yang sah secara emosional? Menjalani hidup yang bukan milikku, dengan seseorang yang mencintai orang lain. Bayangan itu terasa menyesakkan.

Aku menelan ludah, kerongkonganku tercekat. Kepalaku berdenyut, seolah ada beban berat yang menghimpit. "Pa, Javran pasti kenal Naura luar dalam. Dia adalah calon suaminya. Javran pasti akan langsung tahu kalau aku bukan Naura. Bagaimana kalau Javran menuntut kita karena merasa ditipu? Aku—"

"Jangan banyak alasan!" bentaknya, suaranya meninggi dan menggelegar di koridor rumah sakit yang biasanya senyap. Beberapa pasang mata di sekitar kami menoleh, rasa ingin tahu terpancar dari sorot mereka. Wajah Papa yang tadinya hanya merah, kini berubah ungu karena emosi yang meluap.

Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Bukan yang keras hingga meninggalkan bekas fisik, namun cukup untuk membuat mataku panas, perih, dan memicu genangan air mata yang siap tumpah. Tamparan itu, walau tak melukai kulit, menghantam harga diriku. Di sini, di koridor rumah sakit yang dingin dan steril, di depan orang banyak, aku kembali diingatkan akan posisiku.

"Adikmu itu sejak kecil udah sakit-sakitan. Dia bahkan nggak bisa kuliah di luar negeri, nggak bisa hidup normal." Suara Papa terdengar lebih tenang, namun setiap kata yang terucap terasa seperti belati yang menusuk. Ia melanjutkan, dengan nada yang memojokkan, "Kamu yang hidup bebas, sekolah ke luar negeri, punya karier cemerlang di masa depan. Sekarang satu-satunya harapan hidupnya—menikah sama Javran—terancam lenyap. Dan kamu tega bikin Naura kehilangan masa depannya karena keegoisan kamu?"

Egois? Bagaimana aku bisa lupa? Aku terlahir bukan sebagai saudari kembar Naura, melainkan bayangannya. Dari kecil, semua hal tentangku selalu dikaitkan dengannya. Aku tak pernah sekalipun hidup untuk diriku sendiri. Selalu ada embel-embel Naura.

Kata-kata itu, kata-kata yang sering diucapkan orangtuaku, seperti kutukan yang membelenggu kedua tangan dan kakiku dengan rantai besar: 'Naura terlahir lemah. Kamu sebagai Kakak harus jagain dan lindungin dia. Kalau kamu nggak serakah waktu di kandungan, pasti Naura akan lahir normal!' Sebuah tuduhan tak berdasar yang selalu membayangi.

Aku pernah berlatih taekwondo sampai tubuhku remuk, otot-ototku serasa mau lepas dari tulang, hanya karena Naura ingin sekali menjadi atlet. Aku mati-matian belajar sampai kepalaku pusing dan mimisan setiap malam, demi diterima di universitas favorit Naura. Dan aku yang akhirnya kuliah di Tiongkok, di negeri yang jauh itu, hanya karena Naura begitu menggilai negara tersebut, namun fisiknya tak memungkinkan. Aku melakukan semua itu, demi Naura, atas nama pengorbanan kakak.

Dua tahun terakhirku di Tiongkok, aku merasa akhirnya terbebas dari belenggu itu. Aku bisa bernapas lega, menjadi diriku sendiri, Naima, tanpa embel-embel bayangan Naura. Aku punya teman-teman baru yang tak mengenal Naura. Aku punya kebebasan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Namun begitu kembali, sudah ada belenggu lain yang menungguku. Belenggu yang lebih besar, lebih menyesakkan.

Harusnya aku tak usah kembali.

"Cuma sampai Naura sadar, Naima." Suara Papa mendadak melembut, ada nada memohon di sana. Ini taktik baru, dari ancaman ke bujukan. Sebuah upaya terakhir. "Setelah itu, kamu bebas lakuin hal-hal yang kamu mau. Kamu bisa terbang ke mana pun kamu suka."

Aku terdiam. Belum sempat kubuka suara, Mama yang sejak tadi duduk di kursi dingin koridor, dengan bahu berguncang pelan, kini berdiri dan menghampiriku. Wajah Mama sembab, matanya bengkak, suaranya nyaris hilang tertahan isak tangis yang tertahan.

"Naima, kamu jangan keras kepala." Mama memegang tanganku, jari-jarinya gemetar. "Semua orang udah datang. Keluarga Javran udah nginap di hotel bintang lima. Seserahan, katering, dekorasi, semua udah siap. Undangan udah disebar ribuan lembar." Dia terisak lebih keras, menutup mulut dengan tangan bergetar, berusaha meredam suaranya. "Jangan buat keluarga kita malu, Nak. Papa kamu bisa kena serangan jantung kalau ini gagal."

Keluarga? Sejak kapan aku menjadi bagian dari keluarga mereka? Sejak dilahirkan di dunia ini, aku hanya dianggap sebagai pengganti Naura! Dari dulu, sampai sekarang. Tidak pernah berubah. Aku tak pernah menjadi Naima di mata mereka.

Mama tiba-tiba limbung. Tubuhnya oleng, dan dia terduduk di lantai sambil mengeluh pusing. Wajahnya makin pucat, tubuhnya gemetar hebat. Aku buru-buru menahan tubuhnya agar tidak jatuh sepenuhnya. Dia terlalu rapuh, seperti dahan kering yang siap patah kapan saja.

Dari tikungan koridor, muncul Putra. Kakak sulungku itu tampak kusut, sepertinya juga baru tiba. Rambutnya acak-acakan, dasi tergantung longgar di leher kemejanya yang sudah lecek. Raut wajahnya tegang, penuh kekhawatiran yang samar.

"Ada apa sih ini ribut-ribut?" tanyanya, suaranya berat.

"Naima masih nolak," sahut Papa, menunjukku dengan tangannya yang bergetar. “Dia nolak gantiin posisi Naura sebagai pengantin Javran.”

Putra menatapku dingin, matanya menyipit penuh penilaian. Sebuah tatapan yang sering kuterima sejak kecil, tatapan merendahkan yang sudah terlalu akrab. "Kalau kamu nggak gantiin posisi Naura, keluarga kita akan hancur. Nggak ada lagi yang biayain kuliah kamu, kasih kamu uang jajan dan makan tiap bulan.”

Aku terkekeh, ironis. Sebuah tawa tanpa suara yang pahit, mengiringi rasa getir di lidahku. Uang yang mereka kirim selama ini hanya cukup untuk bayar kuliah dan biaya sewa tempat tinggalku. Untuk makan, aku harus banting tulang sendiri, bekerja sambilan hingga nyaris mati kedinginan di tengah badai salju Tiongkok. Aku pernah hanya makan mi instan seminggu penuh. Mereka tak tahu dan tak peduli.

“Aku nggak peduli. Sejak awal aku emang nggak mau kuliah di China. Itu semua keinginan Naura!” bentakku, dengan emosi yang mulai meledak. Suaraku meninggi, memantul di dinding koridor, membiarkan kemarahan yang terpendam keluar.

Sejujurnya, setelah dua tahun tinggal di sana, aku mulai menyukai Tiongkok. Aku sudah memiliki hidup baru, teman baru, lingkungan baru. Aku juga terbebas dari bayang-bayang Naura dan bisa hidup sebagai diri sendiri. Aku tak mau mereka melihat kelemahanku dan memanfaatkannya lagi. Aku tak mau kembali jadi boneka.

“Kamu mau liat kita jadi pengemis dan tidur di jalanan? Bisnis Papa sekarang bergantung sama perusahaan Javran!” Nada suara Putra naik satu oktaf, hampir seperti teriakan yang tak tertahankan. "Ini bukan cuma soal Naura, Naima! Ini soal kelangsungan hidup kita semua! Kamu cuma perlu tinggal di sisi Javran beberapa hari! Apa susahnya, hah? Kamu mau ngelupain budi keluarga ini yang udah besarin kamu?"

Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh, kuku-kukuku menusuk telapak tangan, meninggalkan bekas bulan sabit yang kemerahan. Kepalaku tertunduk dalam, menatap sepatu flat-ku yang kusam, seolah mencari jawaban di sana. Jika aku bisa memilih, aku tak mau terlahir di keluarga ini. Terlebih menjadi saudari kembar Naura. Aku tak pernah meminta ini.

Lalu, suara Papa terdengar lagi. Lirih, namun mengandung tekanan yang tak terbantahkan, sebuah jebakan yang manis. "Salahkan Papa. Ini keputusan Papa. Tapi kalau kamu bantu sekali ini aja, Papa janji, kamu bebas. Kamu bisa tinggal di Tiongkok selamanya. Kami nggak akan ganggu hidupmu lagi. Kamu bebas."

Aku mengangkat kepala, menatap satu per satu wajah mereka. Papa dengan wajah keras yang mulai dihiasi keriput penuaan, matanya memohon namun tegas. Mama yang masih gemetar dalam pelukanku, terisak pelan. Putra dengan rahang mengeras, matanya memerah, menahan emosi yang bergejolak, menunggu keputusanku.

Semua mata tertuju padaku. Menunggu. Menekan. Memaksa.

Dari dulu... selalu begini. Semuanya demi Naura. Dan aku selalu berakhir tidak berkutik dan memenuhi permintaan mereka. Aku selalu mengalah, membiarkan diriku menjadi pengorbanan yang tak pernah dihargai.

Aku menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan setiap serpihan keberanian dan kepasrahan yang tersisa di dalam diriku. "Kalau aku setuju, aku bebas mutusin hidupku sendiri? Kalian nggak bakal ikut campur kalau aku memutuskan untuk tinggal selamanya di China? Enggak bakal nyuruh aku balik lagi, apa pun yang terjadi?"

Aku harus memastikan. Ini harus jadi tiket keluar permanenku. Aku harus bisa keluar dari belenggu ini selamanya, tanpa ada celah untuk mereka menarikku kembali.

"Ya. Setelah Naura sadar dan kembali ke sisi Javran, kamu boleh pergi sejauh yang kamu mau. Kami janji," kata Papa, suaranya nyaris seperti sumpah yang khusyuk, mencoba meyakinkanku.

Tanganku mengepal semakin erat. Dadaku sesak, rasanya paru-paru ini terhimpit beban tak terlihat. Hatiku perih, perih yang menusuk sampai ke tulang, seolah ada luka baru yang terbuka. Tapi bibirku membentuk senyuman. Senyum palsu yang kubentuk dengan sisa kekuatan terakhirku, sebuah topeng untuk menyembunyikan badai di dalam.

Pada akhirnya, mereka rela kehilangan aku yang dianggap tidak berguna ini, rela membuangku jauh-jauh, demi kebahagiaan Naura. Aku adalah pengorbanan yang mudah, sebuah alat yang bisa dibuang setelah fungsinya selesai.

"Baiklah... aku akan gantiin posisi Naura di pelaminan. Aku akan jadi pengantin Javran."

Langit di luar rumah sakit tampak kelabu, awan tebal menggantung rendah, seolah ikut merasakan kesesakan yang kurasakan. Dan dalam hatiku, badai baru saja dimulai. Badai yang akan menentukan arah hidupku, atau justru menghancurkannya. Aku tidak tahu mana yang akan terjadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 27. Rahasia Naura

    Naura tidak tahu kalau Naima sedang hamil, karena Naima menutupi perutnya yang membuncit dengan pakaian lebar. Sengaja—agar Naura tidak bertanya dan berakhir dengan rasa curiga. Selain itu, Naima tak mau melibatkan Irgian lagi dalam huru-haranya dengan Naura.“Aku… minta maaf,” ujar Naura, dengan susah payah. Suaranya terdengar serak dan mengerikan. “Maaf karena udah ngambil Javran dari kamu, juga ngambil semua perhatian dan kasih sayang Mama dan Papa dari kamu…”“Sejak awal Javran emang tunangan kamu. Jadi kenapa kamu bilang kamu ngambil Javran dariku?”Kalau diingat-ingat lagi, Naura tak pernah membahas soal Naima yang menggantikan posisinya di meja akad, kan? Saat Javran menyeret Naima untuk minta maaf pada Naura waktu itu, Naura hanya menatap Naima dengan sorot penuh kerinduan, dan meminta Naima untuk tinggal lebih lama. Dia tak pernah menyalahkan Naima, atau bicara kejam padanya.Sebenarnya apa yang Naura pikirkan selama ini?“Sejak awal, aku emang nggak punya niat untuk nikah sa

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 26. Saudari Kembar

    Jakarta.Kota yang sampai sekarang masih membuat Naima tak terbiasa. Apalagi rumah sakit ini, adalah rumah sakit yang sama dengan tempat Naura dirawat terakhir kali. Lokasi taman dimana Mama memarahi Naima habis-habisan pun masih sama bentuknya, tidak berkurang sama sekali.“Irgian! Kenapa kamu bisa di sini? Bandung gimana? Udah aman?” tanya seorang dokter muda, saat melihat Irgian yang berjalan di sisi Naima.“Lagi nganterin istri jengukin saudaranya,” balas Irgian, tanpa rasa canggung sama sekali.“Anjir kok gue nggak diundang?” tanyanya, dengan mata membulat tak percaya. Dia meninju bahu Irgian main-main. “Lo anggep gue apa, baji ngan?”Naima agak gugup mendengar ucapan pria bername-tag Candra itu. Dia melirik Javran yang ekspresinya tenang tanpa riak. Semoga saja Javran tak mendeteksi keanehan, atau Naima akan kesulitan memberikannya penjelasan.“Masa lo nggak tahu konsep intimate wedding sih?” Irgian tersenyum lebar. “Gue sama Inara sepakat cuma ngundang sodara dari kedua keluarg

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 25. Javran Kembali

    “Kemarin gue ketemu sama Naima di Bandung.”Nyaris saja Javran tersedak es kopinya saat mendengar nama Naima disebut.Sudah berbulan-bulan Naima pergi tanpa jejak. Lalu Noah bilang Naima ada di Bandung? Bagaimana bisa? Dan kenapa? Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyusup di hati Javran—perasaan yang hampir tak bisa didefinisikan. Mungkin… lega? Atau justru… rindu? Seluruh tubuh Javran mengkhianatinya. Dia seolah ingin terbang ke Bandung saat ini juga untuk menemui Naima dan memastikan gadis itu baik-baik saja.“Dia udah nikah sama Irgian, temen gue waktu SMA dulu,” lanjut Noah lagi—seketika membuat jantung Javran berhenti berdetak untuk sesaat. Javran tak salah dengar, kan?“Tahu dari mana kalau mereka udah nikah?” tanya Javran, berusaha tetap tenang.Meski hanya pernah bertemu satu kali, Javran masih mengingat Irgian si dokter magang yang Naima temui di rumah sakit. Apa saat bersandiwara dengannya, Naima memang sudah menjalin hubungan dengan Irgian? Tapi kenapa Naima tak melan

  • Jangan Sesali Kepergianku   24. Permintaan Terakhir Naura

    BAB 24.“Naima, kamu udah sadar? Gimana perasaan kamu? Apa ada yang sakit?”Baru bangun Naima langsung menemukan wajah Noah dan dicecari banyak pertanyaan. Naima berusaha duduk, dan menyadari kalau dia sedang berada di rumah sakit. Noah dengan sigap membantu memegangi lengan Naima.“Aku udah baik-baik aja kok,” balas Naima, tersenyum. “Makasih karena udah nolongin aku dan bawa aku ke rumah sakit. Kebetulan banget kita bisa ketemu di tangga apartemen itu, di antara sekian banyak tempat.”Noah tersenyum ceria. “Kalau kita bisa ketemu kayak gini, itu berarti tandanya jodoh.”Naima buru-buru mengatakan kebohongan, dengan nada diselipi canda, “Tapi aku udah nikah. Gimana bisa berjodoh? Kamu nggak liat perutku udah besar begini?”Noah terdiam—beberapa saat. “Kalau kamu punya suami, kenapa aku nggak nemuin nomornya di kontak darurat ponsel kamu?”Mata Naima melebar. “Kamu buka ponselku?”Noah mengangguk. Tatapan matanya lurus menatap Naima. “Aku nggak bermaksud buat ngintip privasimu. Tadi k

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 23. Duka dan Tawa

    Lima bulan kemudian…Usia kandungan Naima sudah menginjak tujuh bulan. Perutnya sudah membesar, dan kakinya akan bengkak saat berjalan terlalu lama. Ada sedikit kekhawatiran yang diam-diam menghantui Naima saat mendekati hari kelahiran bayinya; jika Naima pergi bekerja, siapa yang akan meraat bayinya? Naima juga baru pertama kali menjadi seorang Ibu. Dia takut tindakannya yang hanya berdasar naluri dan modal sosmed akan membahayakan bayinya..Saat sedang berada di toilet tempat kerjanya, lagi-lagi Naima mendengar gosip yang tidak mengenakkan,“Denger-denger si Naima itu hamil di luar nikah. Pacarnya kabur setelah tahu dia hamil. Makanya dia pulang pergi kerja sendirian.”“Iya ih. Teh Novi kan satu kost sama si Naima. Katanya dia juga tinggal sendirian di kost. Mana nggak pernah kedatangan tamu lagi.”“Kasihan juga ya, harus kerja banting tulang sendirian. Pacarnya nggak bertanggung jawab banget.”“Emangnya dia nggak punya keluarga?”“Mungkin keluarganya nggak mau nanggung aib kehamila

  • Jangan Sesali Kepergianku   BAB 22. Pertemuan Tak Terduga

    a “Mas Javran masih belum nemuin keberadaan Naima?” tanya Naura, saat sedang berjalan di koridor rumah sakit bersama Javran. Mereka baru selesai dengan sesi fisioterapi Naura. “Beneran masih belum balik ke kampusnya?”Javran mengangguk. “Aku udah telpon ke kampusnya dan katanya Naima cuti selama satu semester.” Dia menatap Naura dalam. “Kalau kamu tahu asrama atau tempat tinggalnya, aku bisa nyuruh orang buat cari informasi ke sana.”Dua bulan terakhir, Javran mulai menyadari beberapa keanehan dari Naura. Ternyata Naura tak bisa bahasa mandarin—padahal dia sudah bekerja di sana selama tiga tahun. Naura juga tidak tahu apa-apa saat Javran menanyakan beberapa tempat di daerah Dongyang. Karena itu, Javran jadi ingat kalau Naura pernah sengaja menghindar dan tidak dapat dihubungi saat Javran memberi kejutan dengan diam-diam pergi ke China untuk menemuinya.“Naura nggak pernah mau ngasih tahu kalau ditanya soal tempat tinggalnya,” jawab Naura, dengan nada sedih. “Harusnya aku sebagai adik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status