LOGINSeminggu setelah Bapak Amanda memberi kabar baik kepada Pak Hendra, keluarga itu kembali datang ke rumah untuk melamar. Orang tua Amanda bahkan mengundang keluarga besar untuk menyambut kedatangan mereka dengan hangat.
Amanda berada di dalam kamarnya bersama Ayu dan sepupunya, Mba Dian. Hari itu Mba Dian yang merias dirinya—wajahnya dipoles lembut, rambutnya disanggul rapi, dan ia mengenakan gamis berwarna pink berhias brokat. Kebetulan Mba Dian memang seorang perias pengantin. Ia memberikan jasa rias gratis untuk lamaran dan juga pernikahan Amanda, sebagai hadiah khusus darinya. Amanda sangat bersyukur mendapat perlakuan sebaik itu.
Dari balik pintu, Amanda mendengar suara gelak tawa para tamu. Sebuah tawa terdengar sangat asing namun menonjol—mungkinkah itu suara Arman? Selama ini ia hanya melihat foto lelaki itu. Hari ini seharusnya mereka bisa bertemu untuk pertama kalinya.
Pintu kamar terbuka. Ibu masuk dan mengajaknya keluar untuk menemui tamu-tamu yang sudah menunggu. Ruangan yang telah ditata rapi untuk acara lamaran tampak penuh oleh keluarga yang berkumpul. Amanda menundukkan kepala, malu melihat puluhan pasang mata memandangnya bersamaan. Ia tidak pernah menyukai menjadi pusat perhatian; rasanya hanya membuat tubuhnya menegang.
Ia duduk di antara Bapak dan Ibu. Bapak mengenakan batik yang warnanya senada dengan gamis Ibu, membuat keduanya tampak sangat serasi.
Bapak memperkenalkan satu per satu anggota keluarga Pak Hendra. Amanda sudah mengenal Ibu Rosa, Daniel, dan Tamara sebelumnya. Namun hari itu ia baru bertemu langsung dengan Pak Hendra dan istrinya. Pak Hendra terlihat ramah dan murah senyum. Sedangkan istrinya… entahlah, mungkin hanya perasaannya saja, tetapi ada sesuatu yang terasa dingin dari cara wanita itu memandangnya.
Pandangan Amanda mencari sosok Arman. Ia tidak melihat lelaki itu di antara para tamu.
“Nda, Nak Arman tidak bisa datang,” ujar Bapak pelan, seolah membaca pikiran putrinya.
“Arman tidak bisa hadir. Dia masih karyawan baru, jadi belum bisa ambil cuti. Kami mewakilinya dalam acara lamaran ini,” jelas Pak Hendra kemudian.
Karyawan baru? Amanda bingung. Bukankah Pak Hendra memiliki perusahaan sendiri? Jika begitu, bukankah seharusnya memberi cuti bukan masalah? Atau mungkin Arman tidak bekerja di perusahaan ayahnya?
Acara lamaran pun berlangsung tanpa kehadiran Arman. Ada rasa kecewa yang tidak bisa disembunyikan Amanda. Ia berharap bisa bertemu calon suaminya, tapi harapan itu harus ditunda. Mungkin mereka akan baru bertemu saat hari pernikahan tiba. Semoga saja…
---
Minggu demi minggu berlalu, dan tanpa terasa, pernikahan Amanda digelar keesokan harinya. Suasana rumah begitu ramai. Para pekerja dekorasi pernikahan sibuk menghias ruang demi ruang. Untuk urusan katering, para tetangga dan anggota keluarga bergotong-royong membantu. Di halaman belakang, Bapak telah menyiapkan area dapur umum. Sementara itu, kamar Amanda kini dipenuhi dekorasi bernuansa pink. Ruangan itu berubah menjadi kamar putri—dan esok hari, ia benar-benar menjadi “Putri Sehari”.
Malam sebelum pernikahan, Amanda sulit tidur. Pikiran tentang esok hari terus mengisi kepalanya. Ia berdoa agar semuanya berjalan lancar.
Keinginan agar pernikahan tidak ditunda datang dari Ibu Rosa. Saat lamaran, beliau meminta agar pernikahan dilangsungkan satu bulan kemudian. Meskipun terasa cepat bagi Amanda, Bapak menyetujuinya.
Sejak lamaran itu, Amanda belum sekalipun bertemu Arman. Bahkan hanya sekadar telepon atau mengirim pesan pun tidak pernah. Padahal Tamara sudah memberikan nomor Arman kepadanya, dan juga sebaliknya. Tidak ada satu pun pesan datang darinya. Amanda pun bertanya-tanya—tidakkah pria itu penasaran dengan calon istrinya? Ataukah ia harus memulai lebih dulu?
Ia membuka galeri ponselnya. Menatap foto Arman yang tersimpan di sana. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa pria setampan itu akan menjadi suaminya. Tidak pernah ia berani bermimpi sejauh itu. Namun kehidupan kadang memberi kejutan. Ia hanya berharap rumah tangga mereka kelak dipenuhi kebaikan, dan ia bisa menjadi istri yang baik untuk Arman.
---
“Dia datang!” seru Ayu tiba-tiba ketika masuk ke kamar.
Amanda, Mba Dian, dan asistennya langsung menoleh bersamaan.
“Siapa?” tanya Amanda.
“Armaaan,” jawab Ayu dengan nada penuh semangat.
Amanda terperanjat. Tanpa sadar ia bangkit dari kursi dan hampir berlari keluar kamar.
“Ndaa, mau ke mana? Riasanmu belum selesai!” tegur Mba Dian, separuh gemas.
Amanda tersipu malu, lalu kembali duduk. Ayu hanya terkekeh melihatnya. Mendengar Arman datang membuat Amanda tidak sabar ingin bertemu, meski ia tahu dirinya belum siap sepenuhnya.
Riasan pengantinnya akhirnya selesai juga. Ternyata prosesnya panjang dan melelahkan. Hanya duduk saja, tetapi membuat tubuh Amanda terasa lelah. Ia mengenakan kebaya pengantin putih, rambutnya disanggul dengan rangkaian melati yang wangi. Tema riasannya adalah pengantin Jawa yang anggun.
Amanda menatap pantulan dirinya di cermin. Ia tampak cantik—bahkan nyaris tidak percaya itu dirinya sendiri. Mungkin nanti ia perlu belajar merias dari Mba Dian.
---
Acara ijab kabul akan dimulai. Ibu dan Bibinya mengantarnya menuju tempat akad. Dari kejauhan Amanda melihat punggung Arman, mengenakan setelan jas putih, duduk berhadapan dengan Bapak dan penghulu. Daniel dan Pamannya duduk di sisi kanan dan kiri sebagai saksi.
Amanda kemudian duduk di samping Arman. Akhirnya ia bisa melihat pria itu secara langsung. Ia mencuri pandang—Arman lebih tampan daripada foto-fotonya. Namun lelaki itu tidak menoleh sedikit pun ke arahnya. Mungkin ia pemalu?
“Bisa kita mulai acaranya?” tanya penghulu sopan.
Bapak mengangguk, dan ijab kabul pun dimulai. Jantung Amanda berdegup kencang ketika mendengar suara Arman untuk pertama kalinya. Ketika doa diaminkan bersama, air mata menetes di pipinya—air mata lega dan bahagia.
Setelah itu, Amanda dan Arman duduk bersanding di pelaminan. Tamu-tamu datang silih berganti memberi selamat dan doa. Namun sepanjang duduk di sampingnya, Arman tidak pernah menoleh, tidak berbicara, bahkan tidak menanyakan keadaan Amanda. Mereka benar-benar terasa seperti orang asing.
Amanda mencoba meyakinkan diri. Mungkin Arman hanya gugup atau lelah. Tapi raut wajahnya yang datar dan dingin membuat hatinya bertanya-tanya—apakah pria itu benar-benar menyetujui pernikahan ini?
Semoga saja semua itu hanya perasaannya.
Malam tiba. Amanda sudah berganti pakaian dan menghapus riasan pengantinnya. Kini wajahnya hanya dipoles riasan tipis, sementara rambut panjangnya sengaja ia biarkan terurai. Baju tidur yang dipakainya adalah hadiah dari acara lamaran—sebuah kimono sutra yang tampak mahal, namun terasa terlalu seksi baginya. Roknya terlalu pendek, bagian bahu dan dada terbuka. Sebenarnya Amanda sempat menolak memakainya, tetapi Ibu memaksanya.Ia duduk di atas ranjang yang dibungkus sprei sutra putih tulang, menunggu dengan gelisah. Di kamar inilah Arman akan masuk, dan memikirkan apa yang mungkin terjadi malam ini membuat pipinya merona merah secara otomatis.Tok… tok… pintu kamarnya diketuk. Gagang pintu berputar pelan. Arman muncul di ambang pintu. Seketika jantung Amanda berdegup kencang, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia menunduk, tidak berani menatap pria yang kini resmi menjadi suaminya itu.Arman melepas jasnya dan menggantungnya di gantungan baju. Ia duduk di kursi meja rias, melepas jam
Seminggu setelah Bapak Amanda memberi kabar baik kepada Pak Hendra, keluarga itu kembali datang ke rumah untuk melamar. Orang tua Amanda bahkan mengundang keluarga besar untuk menyambut kedatangan mereka dengan hangat.Amanda berada di dalam kamarnya bersama Ayu dan sepupunya, Mba Dian. Hari itu Mba Dian yang merias dirinya—wajahnya dipoles lembut, rambutnya disanggul rapi, dan ia mengenakan gamis berwarna pink berhias brokat. Kebetulan Mba Dian memang seorang perias pengantin. Ia memberikan jasa rias gratis untuk lamaran dan juga pernikahan Amanda, sebagai hadiah khusus darinya. Amanda sangat bersyukur mendapat perlakuan sebaik itu.Dari balik pintu, Amanda mendengar suara gelak tawa para tamu. Sebuah tawa terdengar sangat asing namun menonjol—mungkinkah itu suara Arman? Selama ini ia hanya melihat foto lelaki itu. Hari ini seharusnya mereka bisa bertemu untuk pertama kalinya.Pintu kamar terbuka. Ibu masuk dan mengajaknya keluar untuk menemui tamu-tamu yang sudah menunggu. Ruangan y
Malam itu, di dalam kamarnya, Manda memberanikan diri untuk menelepon Bram. Ia menatap layar ponselnya lama sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Suara dering terdengar berulang-ulang. Tidak ada jawaban.Mungkin Mas Bram sudah tidur? pikirnya cemas. Tapi jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Apa iya sudah tidur?Tut… tut… tut…Sambungan terputus. Hening kembali mengisi kamar. Manda menggigit bibirnya. Haruskah menelpon besok saja? Atau coba sekali lagi? Akhirnya ia memutuskan mencoba lagi.Kali ini ia menghitung dalam hati. “Satu… dua… tiga…”“Halo?”Suara itu membuat jantungnya langsung berdebar kencang. “Halo, Mas Bram?”“Maaf baru Mas angkat, Nda. Barusan Mas di luar kamar.”“Iya, Mas, gak apa-apa. Manda… ganggu, nggak?” Manda berusaha duduk tegak di atas ranjangnya, meski kedua tangannya sudah dingin karena gugup.“Enggak, Nda. Ada apa?”“Anu… gini, Mas. Ada yang mau Manda bicarakan.”“Kok suara Manda terdengar serius? Ada masalah ya?”“Bu… bukan…” Manda semakin bingung bag
Karena pengakuan cinta dari Mas Bram, Manda tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Ia terus memikirkan jawaban apa yang harus ia sampaikan. Di satu sisi, hatinya begitu bahagia mengetahui bahwa perasaannya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan.Manda lalu meminta pendapat Ayu. Mendengar cerita itu, Ayu langsung bersorak girang. Tanpa ragu ia menyuruh Manda menerima perasaan Mas Bram.“Apa aku pantas untuk Mas Bram?” tanya Manda ragu-ragu.“Ya ampun, Nda. Apanya yang nggak pantas? Kalau Mas Bram sudah bilang suka, berarti dia anggap kamu pantas,” balas Ayu mantap.“Tapi….”“Gak ada tapi-tapian! Terima, Nda. Atau nanti kamu menyesal,” desaknya.Setelah berpikir panjang, Manda akhirnya memutuskan untuk menemui Mas Bram. Sehari sebelum pria itu kembali ke Yogya, mereka sepakat bertemu di alun-alun. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang rindang, dan di sanalah Manda menerima cinta Mas Bram.---Dua minggu kemudian…“Assalamu’alaikum,” sapa Manda ketika memasuki rumah.“Wa’alaikumsalam,”
Rasa penasaran Ayu masih belum hilang. Sejak tadi ia terus “menginterogasi” Manda tentang Nenek Rosa dan keluarganya. Manda sudah menjelaskan segala yang ia ketahui, tetapi Ayu tetap saja merasa belum puas.“Nda! Lihat ini!” seru Ayu tiba-tiba. Suaranya yang melengking membuat Manda tersedak es teh yang sedang ia minum.“Apa sih, Yu! Bajuku basah, nih,” gerutu Manda sambil melihat bercak teh di bajunya.Ayu tak menghiraukan protes itu. Ia menyodorkan ponselnya. “Ini lho. Kayaknya aku nemu. Ini kan orangnya?”Manda melihat foto pada artikel online yang ditampilkan. Di bawah foto itu tertulis nama Hendra Hadiwijaya, Presdir Wijaya Group.“Ini bukan?!” tanya Ayu penuh antusias.“Gak tahu,” jawab Manda santai sambil mengambil tisu untuk mengelap bajunya.“Lho, kok gak tahu?”“Gak tahu, Ayuu. Nenek Rosa gak nunjukin foto anaknya.”Ayu memanyunkan bibirnya, jelas kecewa.“Oh iya, nama cucunya Bu Rosa siapa? Yang kemarin datang itu?”“Daniel Hadiwijaya.”Ayu langsung mengetik nama itu di med
“Assalamu’alaikum,” ucap Amanda ketika memasuki rumah bersama Adi.“Wa’alaikumsalam,” sahut suara dari dalam rumah.“Ini anak saya yang pertama, Amanda,” ujar Bapak memperkenalkan.Di ruang tamu, Amanda melihat Bapak, Ibu, Surya, dan tiga orang tamu yang belum pernah ia temui. Seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun duduk berdampingan dengan seorang wanita muda. Di kursi lainnya, duduk seorang pria muda. Cara berpakaian mereka menunjukkan bahwa mereka orang kota yang kaya—mewah, namun tetap elegan.“Nda, ayo salim,” suara Bapak membuyarkan perhatian Amanda. Ia segera mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan wanita tua itu.“Anakmu cantik, Wirjo,” puji wanita tersebut, membuat Amanda tersipu malu.“Bu Rosa bisa saja,” ujar Bapak sambil tertawa kecil.Ooh, jadi namanya Bu Rosa. Apa dia yang dipanggil Adi dengan sebutan Nenek? batin Amanda.“Itu cucuku, Daniel. Dan ini istrinya, Tamara,” Bu Rosa memperkenalkan dua tamu lainnya. Amanda menyalami mereka satu per satu.“







