Share

Perpisahan

Malam pun tiba. Aku sudah berganti pakaian dan menghapus riasanku. Aku hanya memoles wajahku dengan riasan yang ringan saja. Rambut panjangku sengaja ku urai. Baju tidur yang kukenakan adalah hadiah lamaran waktu itu. Baju tidur kimono berbahan sutra yang terkesan sangat mahal. Dan rasanya baju tidur ini terlihat sangat seksi. Aku tidak nyaman memakainya. Roknya terlalu pendek. Bagian bahu dan dadanya terbuka. Awalnya aku menolak memakainya, tapi Ibu memaksaku.

Aku duduk di atas ranjangku yang dibungkus dengan sprei sutra berwarna putih tulang. Aku menunggu dengan gelisah di dalam kamar. Menunggu Mas Arman yang akan masuk ke sini. Membayangkan apa yang akan terjadi padaku malam ini, membuat pipiku merah merona.

Tok ... tok ... suara pintu kamarku diketuk. Gagang pintu dibuka pelan. Mas Arman! Dia di sini. Seketika jantungku berdegup kencang. Keringat dingin membasahi badanku. Aku tidak berani menatapnya. Aku menundukkan kepalaku.

Mas Arman melepaskan jasnya. Dia menggantungnya di gantungan baju di belakang pintu. Dia duduk di kursi meja riasku. Melepas jam tangannya dan meletakkannya di atas meja. Dia melepas sepatu pantofelnya dan kaos kakinya. Lalu meletakkannya di samping meja. 

Aku melirik ke arahnya. Dari caranya menata jas, jam, dan sepatunya, Mas Arman sepertinya orang yang rapi. Setidaknya aku sudah tahu satu sifatnya.

Perlahan Mas Arman menghampiri ranjang. Dia duduk di sisi ranjang yang lain. Kami terdiam sejenak. Aku mencuri pandang ke arahnya. Tiba-tiba Mas Arman menatapku. Seketika aku menoleh ke arah yang lain.

"Malam ini apa kita bisa tidur saja?" tanyanya kemudian.

"Ha?" tanyaku lirih. Apa tadi dia bilang tidur. Maksudnya tidur saja, apa tidur tanpa melakukan apapun?

"Kepalaku agak sakit. Aku hanya istirahat sehari dari luar negeri. Lalu datang ke sini untuk menikah. Badanku masih capek," alasannya.

"Apa ... perlu aku ambilkan obat?" tanyaku sembari berdiri.

"Tidak, tidak perlu. Aku hanya butuh istirahat saja. Kamu tidak keberatan, kan?"

"Ti ... tidak ... istirahat saja," ucapku sambil tersenyum.

"Terima kasih," ucapnya. Lalu Mas Arman membaringkan badannya. Punggungnya membelakangiku.

Apa aku harus kecewa atau lega melihatnya hanya tidur saja? Aku duduk dengan lesu di ranjang. Dan perlahan aku membaringkan diri, menatap punggung suamiku.

***

Aku tidak bercerita pada siapapun tentang malam pertamaku yang gagal. Mas Arman bersikap biasa saja seolah tidak masalah jika malam pertama kami 'hanya tidur saja'.

Kami berdua sarapan bersama orang tua dan kedua adikku. Mas Arman bersikap sopan pada keluargaku. Dia juga murah senyum pada mereka. Tapi sikapnya padaku dingin. Aku bingung. Apa Mas Arman benar-benar menyetujui pernikahan ini? Atau dia terpaksa menikahiku?

"Nda, kok melamun?" teguran Ibu membuyarkan pikiranku.

"Napa, Bu?"

"Itu lho, suamimu minta diambilkan sayur di sampingmu,"

"Ha?" aku menoleh ke Mas Arman.

"Boleh ambilkan sayur sop?" pintanya dengan lembut.

"Oh ... iya," aku segera mengambil mangkok sop di sampingku, lalu memberikannya ke Mas Arman.

"Nak Arman, di Amerika sudah tinggal lama?" tanya Bapak.

"Eh iya, Pak. Saya berkuliah dan bekerja di sana. Sekitar 8 tahun,"

"Wah, lama sekali ya," ujar Ibu, "Kenapa tidak bekerja di sini? Di perusahaan Papanya?"

"Saya sengaja tidak bekerja dengan Papa. Saya ingin mencari pengalaman di perusahaan lain,"

"Bagus kalau begitu. Berusaha mandiri," puji Bapak.

"Maaf, Pak. Kita belum sempat mengobrol sebelumnya. Saya baru bisa datang kemaren karena surat cuti saya baru keluar," ujar Mas Arman.

"Iya, ga papa. Pak Hendra sudah menjelaskan sebelumnya. Bapak juga maklum,"

"Terima kasih, Pak,"

"Mas Arman, enak gak tinggal di Amerika?" celetuk Surya.

"Senyamannya di negeri orang, lebih nyaman di negeri sendiri," jawab Mas Arman, "Kenapa? Kamu berminat ke sana?"

"Pingin juga sekolah dan bekerja di sana. Tapi pasti mahal ya biayanya,"

"Buat Nak Arman pasti gak ada yang namanya mahal," sela Ibu sembari tersenyum.

"Bu ....," tegurku dan Bapak berbarengan. Aduuuh, Bu. Jangan bicara seperti itu. Nanti dikiranya kita keluarga matre.

"Ayo, Nak Arman. Sarapan dulu," Bapak mempersilakan Mas Arman untuk makan. Lalu kami sarapan bersama tanpa ada obrolan.

***

Siang itu kami mengepak pakaian untuk pulang ke Jakarta. Mas Arman tidak bisa berlama-lama di Indonesia, karena dia harus segera kembali ke Amerika.

Berat rasanya meninggalkan Bapak, Ibu, dan kedua adikku. Perpisahan ini membuat hatiku sesak. Aku menangis di pelukan Ibu dan Bapak. Ibu juga menangis, sedangkan Bapak bersikap tegar. Walau aku bisa melihat ada air mata di sudut mata Bapak. Aku juga memeluk kedua adikku. Lalu Ayu ... pipinya sudah basah dengan air mata. Dia memelukku dengan erat. Bagiku Ayu bukan hanya sahabat, dia sudah seperti saudariku.

Mas Arman membukakan pintu belakang mobilnya untukku. Dengan langkah lesu, aku berjalan masuk ke dalam mobil. Aku membuka jendela mobil. Lambaian tangan keluarga dan sahabatku mengantarkan kepergianku. Aku membalas lambaian tangan mereka dengan air mata kesedihan. Mobilpun perlahan melaju meninggalkan halaman rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status