LOGINNaya baru saja menutup pintu ketika suara ketukan terdengar lagi. Untuk sesaat, Naya pikir Reza lupa sesuatu. Tapi saat ia membuka pintu— “Kak Ardan?” Naya terpaku. “Kok kakak—” “Aku paham kamu merasa kalau kamu kuat setelah dokter pasang besi di tangan kamu. Aku tahu kamu merasa kamu adalah Robocop,” ia langsung masuk tanpa menunggu izin. “Tapi, merasa kuat bukan berarti kamu harus kerja sampai pingsan.” Naya berkedip cepat. “Kok Kakak bisa tahu?” Ardan menyandarkan punggung ke dinding, menyilangkan tangan. “Ada yang kasih tahu aku.” Jeda. Seolah-olah ia mencoba menjaga rahasia Let’s wait. “Elric telepon.” Katanya akhirnya. Sejak dulu Ardan tak pernah bisa menjaga rahasia. Naya kaget. Ternyata Elric pakai jalur Ardan untuk intervensi. “Oh.” satu-satunya kata yang keluar dari mulut Naya. “Dia bilang kamu pingsan. Pucat kaya mayat. Dan hari ini kamu bukan Cuma balik kerja seperti biasa, tapi juga maksain diri sampai pingsan.” Ardan menirukan suara Elric dengan dramatis.
Pintu lift basement terbuka dengan bunyi ding yang terdengar terlalu nyaring.Udara pengap dari parkiran bawah tanah menyambut: bau aspal, suara samar mesin mobil, lampu kuning remang-remang. Naya melangkah pelan keluar, sepatu kerjanya beradu pelan dengan lantai semen.“Pelan-pelan aja,” ujar Reza, berjalan setengah langkah di depan, seolah tubuhnya otomatis mengambil posisi penghalang kalau-kalau ia jatuh lagi.“Aku nggak serapuh itu,” Naya mencoba bercanda.Reza menoleh, tersenyum. “Aku nggak bilang kamu rapuh. Tapi tangan kamu cuma satu yang bisa dipakai, Nay. Sistem support-nya lagi reduced capacity gitu.”Naya nyaris tertawa. “Kamu baru aja nyamain aku sama mesin?”“Mesin itu hal yang paling aku ngerti,” jawab Reza enteng. “Sekarang aku lagi belajar ngerti hal lain.”Tatapannya sempat jatuh ke arah wajah Naya. Sekilas. Hangat. Bukan tatapan orang yang baru kenal beberapa jam.Naya buru-buru mengalihkan pandang ke deretan mobil. “Mobil Pak Reza yang mana?”Reza mengerjap pelan. “
Laptop terasa lebih berat dari biasanya. Gips di tangan kirinya menggosok kulit, membuatnya tidak nyaman. Seminggu memakai gips mulai memberikan masalah bagi Naya. Ia sudah mulai merasakan gatal di tangannya dan jarinya tidak cukup panjang untuk menyusup masuk ke dalam gips dan menggaruk bagian yang gatal. Namun, saat ini hal yang paling mengganggu bukan tangannya yang gatal, tapi napasnya sendiri yang mulai terdengar… tidak stabil. Semenjak jatuh, asmanya kambuh setiap hari membuatnya sangat bergantung pada inhaler. Naya mulai frustasi. Jangan tumbang. Jangan sekarang. Jangan di kantor. Naya bangkit, berniat kembali ke meja Keira. Tapi baru dua langkah, lututnya goyah. Penglihatannya berbayang. Dan sebelum ia sempat mencari pegangan— “Whoa, hati-hati!” Seseorang menangkap siku dan pinggangnya bersamaan. Naya terhenti dalam posisi setengah jatuh—sangat tidak elegan. Nafasnya tercekat. Reza. “Kamu baik-baik aja?” suaranya rendah, penuh kekhawatiran yang tulus. Naya ingin bil
Gips di lengan kirinya terasa berat, membatasi semua gerakannya. Setiap kali ia berusaha mengambil file, rasa nyeri yang menusuk menyentaknya dan mengingatkan bahwa ia belum benar-benar pulih. Tapi tetap saja, ia kembali duduk di kursinya pagi ini.Seminggu pasca operasi bukanlah waktu ideal untuk bekerja. Setiap dokter yang ia temui sepakat soal itu.Termasuk seseorang yang berdiri di balik kaca koridor saat ini.“Naya!” Keira melambai sambil berjalan cepat menghampirinya. “Kamu udah balik kerja? Kamu yakin kamu kuat?”“Ada banyak yang harus diberesin,” jawab Naya, seolah itu alasan paling tepat. “Dan, ya. Aku baik-baik aja.”Keira menatap gips di tangan Naya. “Gips kamu bicara sebaliknya.”“Aku bisa. Cuma buat laporan, apa sulitnya.” Katanya sambil mengangkat bahu meremehkan.Keira menghela napas panjang. “Kalau kamu tumbang lagi, kakak sepupu aku bakal nyalahin aku sampai akhir hayat.”Jantung Naya mencelos. “Dia… marah?”“Marah sama siapa pun yang kontak mata dengannya semalam.” K
Elric pergi tidak lama. Ia Kembali ke sisi tempat tidur, lalu menggenggam tangannya lagi.“Kita tunggu sebentar, Mudah-mudahan kamu udah nggak mual lagi, ya. Nanti kalau sudah nggak mual aku belikan bubur, ya.”Naya mencoba memfokuskan perhatiannya pada Elric.Wajahnya terlalu dekat.Begitu dekat sampai aku bisa melihat garis lelah di bawah matanya.“Muka Kak El pucet banget,” kataku pelan.Elric malah mendengus. “Muka kamu yang udah nggak ada warnanya, malah aku yang dibilang pucat.Naya ingin tertawa, tapi hanya bisa mengerang kecil.Elric menyelipkan tangannya di bawah kepala Naya untuk memposisikan kepalanya agar bisa sedikiT bersandar di bantal, lalu menepuk pelan pipi Naya dengan punggung jarinya.Gerakannya lembut—seperti seseorang yang sudah melakukan hal itu ratusan kali.“Kak Elric...”“Hm?”“Kak El... jangan di sini terus. Nanti Kak El capek, repot juga nemenin aku disini. Kerjaan kakak gimana? ”“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat. “Aku bisa kerja dimana aja.”Naya menatapny
Mobil ambulans kecil pabrik melaju cepat menuju rumah sakit, sirenenya memantul di dinding-dinding beton kawasan industri.Elric duduk di sisi ranjang tandu, memegang sisi tempat tidur agar tidak berguncang terlalu keras—sementara Naya terus mengoceh dalam benaknya yang kabur.“Aku mau mie ayam…” gumamnya.Elric hampir tertawa. “Sekarang?”“Aku lapar secara emosional…”Ardan mengusap wajah lelahnya. “Naya, fokus ke tangan kamu dulu, bukan ke mie ayam.”Naya mendesah dramatis. “Dua-duanya penting.”***Sampai di IGD, dokter langsung menangani Naya.Saat mereka mendorong Naya masuk, tangan kanan Naya mencari-cari sesuatu—atau seseorang.Mencari Elric.Dan ketika Elric menggenggamnya, jari Naya mengendur—percaya.Itu saja sudah cukup mengacaukan napas Elric.***Ketika pintu ruang tindakan tertutup, semua suara tiba-tiba menjauh.Yang tersisa hanya detak jantung sendiri — cepat, kacau.Ia bersandar ke dinding, memejamkan mata. Mencoba menenangkan hati dan pikirannya.Bukan karena insiden







