Mag-log inEsok paginya, kantor terasa terlalu terang.
Bukan karena lampunya, tapi karena pikirannya masih tertinggal di café kemarin—di meja panjang, di kalimat-kalimat yang hampir terucap dan di tatapan yang seharusnya tidak ia ingat sedetail itu.
Naya duduk di meja kerja sementara di Ruang QA, laptopnya terbuka, menampilkan laporan audit internal yang masih setengah jalan. Kursor berkedip di layar, menunggu angka, sementara pikirannya sibuk menghitung hal lain.
“Mungkin telat tujuh tahun, tapi aku siap.”
Kalimat itu terus muncul, seperti notifikasi yang lupa dimatikan.
“Naya.”
Suara Keira membuatnya mengangkat kepala. General Manager muda itu bersandar di bilik, memegang tablet.
“Jam sembilan kamu bisa ikut aku ke ruang meeting kecil?” tanya Keira. “Ada pembahasan pengaturan ulang jadwal commissioning. Kak Elric minta kamu ikut.”
Tentu saja. Nama itu lagi.
“Bisa,” jawab Naya. “Meeting room yang mana?”
“Yang kecil di ujung koridor. Yang ada jendelanya,” jelas Keira. Tatapannya menajam sedikit.
“Kamu yakin nggak apa-apa?”
“Aku engineer,” sahut Naya pelan. “Aku di sini buat kerja, Keir.”
“Itu bukan jawaban,” gumam Keira. Tapi ia tidak memaksa. “Oke. Jam sembilan, ya.”
Begitu Keira pergi, Naya menutup mata sebentar. Ia bisa melakukan ini. Toh ini hanya rapat. Lima puluh menit, mungkin satu jam. Angka, jadwal, kapasitas mesin.
Singkat. Terukur. Pasti.
Bukan soal hati.
Atau setidaknya, ia berharap begitu.
***
Ruang meeting kecil itu punya satu jendela yang menghadap ke parkiran. Naya duduk menghadap pintu, laptop sudah menyala. Di meja ada dua botol air mineral yang entah sejak kapan disiapkan oleh resepsionis.Elric masuk beberapa menit kemudian, bersamaan dengan Keira dan kepala produksi.
“Pagi,” sapa Elric singkat. Ia tidak mencari mata Naya terlalu lama, tapi Naya bisa merasakan perhatiannya berdiri di ambang ruangan.
Pembahasan dimulai. Keira menjelaskan target timeline, kepala produksi mengeluh soal tenaga kerja, Elric mengarahkan diskusi agar tetap realistis.
Naya mengisi bagian teknis—berapa lama satu batch untuk proses kualifikasi, kapan validasi ideal dilakukan, apa saja risiko jika jadwal dipadatkan.
Mereka bertiga sesekali berdiskusi, membawa kertas, memindah-mindah blok timeline di layar.Di sela-sela itu, ada momen kecil yang aneh: setiap kali Naya meletakkan pena terlalu dekat dengan tepi meja, Elric tanpa sadar menggesernya kembali ke tengah. Setiap kali Naya bergerak terlalu dekat ke layar, refleksnya adalah menarik kursinya sedikit mundur untuk memberi ruang.
Gerakan remeh.
Tapi tubuh Naya mengingat pola perlindungan itu, bahkan ketika hatinya ingin melarikan diri. “Kalau kita geser validasi proses ke minggu ketiga, validasi pembersihannya terlalu mepet,” komentar Naya pada suatu titik. “Aku nggak saranin.”
“Kalau kita nggak geser, line baru telat release sampai hampir sebulan,” kejar kepala produksi.
“Lebih baik telat release daripada main-main sama risiko kontaminasi,” sahut Elric tenang.
“Saya lebih mending dimarahi manajemen karena delay, daripada kena masalah. Kita harus recall, ganti rugi, belum trust issue.”
Naya menoleh. Untuk pertama kalinya sejak rapat dimulai, ia benar-benar menatap wajah Elric.
Dulu, suara itu yang menuntunnya menarik napas pelan di pinggir jalan. Sekarang, suara yang sama sedang bicara soal pasien—orang-orang yang bahkan belum pernah mereka lihat.
Ada garis tipis menghubungkan keduanya: orang yang tidak pernah main-main dengan nyawa. Termasuk nyawanya dulu.
“Setuju,” kata Naya pelan. “Kita cari cara lain, tapi jangan ambil risiko yang terlalu besar.”
Keira mengamati keduanya bergantian, sudut bibirnya sedikit terangkat, tapi ia tidak berkomentar.Akhirnya, mereka mencapai kompromi. Beberapa jadwal digeser, beberapa aktivitas dipadatkan, tapi jadwal validasi proses tetap berdiri tegak di tempatnya.
“Baik,” Keira menutup rapat. “Terima kasih, semuanya. Naya, nanti kamu kirimkan draft revisi timeline ke email aku dan Pak Elric, ya.”
“Siap.”
Kepala produksi keluar lebih dulu. Keira pura-pura membaca sesuatu di tablet, lalu berkata,
“Aku ke HR dulu. Kalian… silakan pakai ruangan kalau masih mau bahas hal teknis.”
Naya hampir protes. Tapi Keira sudah menghilang di balik pintu.
Tinggal mereka berdua. Lagi.
***
Beberapa detik pertama diisi dengan suara AC dan dengung lampu.Naya pura-pura sibuk mengatur file di laptop. Elric berdiri di sisi meja, seolah ragu apakah ia harus duduk atau pergi.
Dejavu.
“Aku nggak nyangka,” ucapnya akhirnya. “Kamu beneran ada di sini. Di gedung yang sama. Di proyek yang sama.”
Kalimat itu bisa jadi pembuka percakapan apa pun. Naya memilih yang paling aman.
“Dunia ini kecil,” ujarnya singkat. “Especially di industri ini.”
“Kamu…marah?” Elric tiba-tiba bertanya.
Naya terkejut, menatapnya. “Marah?”
“Sama aku.” Ia menggeser kertas di depannya, meski tidak tampak benar-benar melihat. “Karena dulu… aku nggak nyari kamu. Nggak…menghubungi kamu lebih dulu.”
Kata-kata itu menyentuh sesuatu yang sudah lama ia kubur.
“Bukan tugas Kak Elric,” jawab Naya pelan. “Aku yang pergi.”
“Tapi aku yang janji bakal jagain kamu.” Mata Elric mengeras. “Dan hari kamu pergi… aku bahkan nggak nganterin kamu ke bandara.”
Ada memori yang muncul tanpa diundang: koper di depan pintu, Ardan yang memeluknya lama, udara pagi yang dingin, dan satu nama yang ia tunggu disebut tapi tidak pernah muncul.
“Kak Elric nggak tahu aku pergi jam berapa,” kata Naya, mencoba tersenyum datar. “Jadi kakak nggak bisa disalahin.”
“Ardan bilang kamu sengaja berangkat sebelum subuh,” balas Elric. “Supaya… nggak perlu pamit ke siapa pun.”
Ke siapa pun.
Kalimat itu terlalu luas.
“Dan kakak percaya?” tanya Naya lirih. “Kakak bahkan nggak—” ia berhenti. Nggak coba tanya langsung ke aku. Tapi kalimat itu terlalu gamblang untuk diucapkan.
“Aku bahkan nggak apa?” desak Elric lembut.
Ia menatapnya lama. Ada terlalu banyak jawaban. Terlalu banyak hari-hari di Jerman ketika ia berpikir: Kalau aku penting, mestinya dia nyari aku.
Terlalu banyak malam ketika ia menatap gelang biru di pergelangan tangan dan bertanya-tanya: Mungkin aku memang cuma adik sahabatnya. Titik.
“Apa bedanya sekarang?” Naya berusaha merapikan nada suaranya. “Kita di sini sebagai rekan kerja. Bukankah itu sudah cukup?”
“Permisin, Pak Elric?” suara dari luar mengetuk. “Pak, ada tamu dari vendor.”
Ia menutup mata sepersekian detik. Timing semesta selalu aneh.
“Sebentar,” jawab Elric. Lalu kembali menatap Naya. “Kita belum selesai bahas ini.”
“Aku sudah selesai,” sahut Naya pelan.
Ia menutup laptop, berdiri, menghindari tatapannya. “Terima kasih, Dokter. Itu saja sudah lebih dari cukup.”
Ia melangkah menuju pintu, melewatinya dengan jarak yang terlalu sempit. Bahu mereka hampir bersentuhan. Hampir.
Di luar, vendor menunggu. Di dalam, ruangan terasa lebih kosong dari sebelumnya.
-BERSAMBUNG-
Naya baru saja menutup pintu ketika suara ketukan terdengar lagi. Untuk sesaat, Naya pikir Reza lupa sesuatu. Tapi saat ia membuka pintu— “Kak Ardan?” Naya terpaku. “Kok kakak—” “Aku paham kamu merasa kalau kamu kuat setelah dokter pasang besi di tangan kamu. Aku tahu kamu merasa kamu adalah Robocop,” ia langsung masuk tanpa menunggu izin. “Tapi, merasa kuat bukan berarti kamu harus kerja sampai pingsan.” Naya berkedip cepat. “Kok Kakak bisa tahu?” Ardan menyandarkan punggung ke dinding, menyilangkan tangan. “Ada yang kasih tahu aku.” Jeda. Seolah-olah ia mencoba menjaga rahasia Let’s wait. “Elric telepon.” Katanya akhirnya. Sejak dulu Ardan tak pernah bisa menjaga rahasia. Naya kaget. Ternyata Elric pakai jalur Ardan untuk intervensi. “Oh.” satu-satunya kata yang keluar dari mulut Naya. “Dia bilang kamu pingsan. Pucat kaya mayat. Dan hari ini kamu bukan Cuma balik kerja seperti biasa, tapi juga maksain diri sampai pingsan.” Ardan menirukan suara Elric dengan dramatis.
Pintu lift basement terbuka dengan bunyi ding yang terdengar terlalu nyaring.Udara pengap dari parkiran bawah tanah menyambut: bau aspal, suara samar mesin mobil, lampu kuning remang-remang. Naya melangkah pelan keluar, sepatu kerjanya beradu pelan dengan lantai semen.“Pelan-pelan aja,” ujar Reza, berjalan setengah langkah di depan, seolah tubuhnya otomatis mengambil posisi penghalang kalau-kalau ia jatuh lagi.“Aku nggak serapuh itu,” Naya mencoba bercanda.Reza menoleh, tersenyum. “Aku nggak bilang kamu rapuh. Tapi tangan kamu cuma satu yang bisa dipakai, Nay. Sistem support-nya lagi reduced capacity gitu.”Naya nyaris tertawa. “Kamu baru aja nyamain aku sama mesin?”“Mesin itu hal yang paling aku ngerti,” jawab Reza enteng. “Sekarang aku lagi belajar ngerti hal lain.”Tatapannya sempat jatuh ke arah wajah Naya. Sekilas. Hangat. Bukan tatapan orang yang baru kenal beberapa jam.Naya buru-buru mengalihkan pandang ke deretan mobil. “Mobil Pak Reza yang mana?”Reza mengerjap pelan. “
Laptop terasa lebih berat dari biasanya. Gips di tangan kirinya menggosok kulit, membuatnya tidak nyaman. Seminggu memakai gips mulai memberikan masalah bagi Naya. Ia sudah mulai merasakan gatal di tangannya dan jarinya tidak cukup panjang untuk menyusup masuk ke dalam gips dan menggaruk bagian yang gatal. Namun, saat ini hal yang paling mengganggu bukan tangannya yang gatal, tapi napasnya sendiri yang mulai terdengar… tidak stabil. Semenjak jatuh, asmanya kambuh setiap hari membuatnya sangat bergantung pada inhaler. Naya mulai frustasi. Jangan tumbang. Jangan sekarang. Jangan di kantor. Naya bangkit, berniat kembali ke meja Keira. Tapi baru dua langkah, lututnya goyah. Penglihatannya berbayang. Dan sebelum ia sempat mencari pegangan— “Whoa, hati-hati!” Seseorang menangkap siku dan pinggangnya bersamaan. Naya terhenti dalam posisi setengah jatuh—sangat tidak elegan. Nafasnya tercekat. Reza. “Kamu baik-baik aja?” suaranya rendah, penuh kekhawatiran yang tulus. Naya ingin bil
Gips di lengan kirinya terasa berat, membatasi semua gerakannya. Setiap kali ia berusaha mengambil file, rasa nyeri yang menusuk menyentaknya dan mengingatkan bahwa ia belum benar-benar pulih. Tapi tetap saja, ia kembali duduk di kursinya pagi ini.Seminggu pasca operasi bukanlah waktu ideal untuk bekerja. Setiap dokter yang ia temui sepakat soal itu.Termasuk seseorang yang berdiri di balik kaca koridor saat ini.“Naya!” Keira melambai sambil berjalan cepat menghampirinya. “Kamu udah balik kerja? Kamu yakin kamu kuat?”“Ada banyak yang harus diberesin,” jawab Naya, seolah itu alasan paling tepat. “Dan, ya. Aku baik-baik aja.”Keira menatap gips di tangan Naya. “Gips kamu bicara sebaliknya.”“Aku bisa. Cuma buat laporan, apa sulitnya.” Katanya sambil mengangkat bahu meremehkan.Keira menghela napas panjang. “Kalau kamu tumbang lagi, kakak sepupu aku bakal nyalahin aku sampai akhir hayat.”Jantung Naya mencelos. “Dia… marah?”“Marah sama siapa pun yang kontak mata dengannya semalam.” K
Elric pergi tidak lama. Ia Kembali ke sisi tempat tidur, lalu menggenggam tangannya lagi.“Kita tunggu sebentar, Mudah-mudahan kamu udah nggak mual lagi, ya. Nanti kalau sudah nggak mual aku belikan bubur, ya.”Naya mencoba memfokuskan perhatiannya pada Elric.Wajahnya terlalu dekat.Begitu dekat sampai aku bisa melihat garis lelah di bawah matanya.“Muka Kak El pucet banget,” kataku pelan.Elric malah mendengus. “Muka kamu yang udah nggak ada warnanya, malah aku yang dibilang pucat.Naya ingin tertawa, tapi hanya bisa mengerang kecil.Elric menyelipkan tangannya di bawah kepala Naya untuk memposisikan kepalanya agar bisa sedikiT bersandar di bantal, lalu menepuk pelan pipi Naya dengan punggung jarinya.Gerakannya lembut—seperti seseorang yang sudah melakukan hal itu ratusan kali.“Kak Elric...”“Hm?”“Kak El... jangan di sini terus. Nanti Kak El capek, repot juga nemenin aku disini. Kerjaan kakak gimana? ”“Nggak apa-apa,” jawabnya singkat. “Aku bisa kerja dimana aja.”Naya menatapny
Mobil ambulans kecil pabrik melaju cepat menuju rumah sakit, sirenenya memantul di dinding-dinding beton kawasan industri.Elric duduk di sisi ranjang tandu, memegang sisi tempat tidur agar tidak berguncang terlalu keras—sementara Naya terus mengoceh dalam benaknya yang kabur.“Aku mau mie ayam…” gumamnya.Elric hampir tertawa. “Sekarang?”“Aku lapar secara emosional…”Ardan mengusap wajah lelahnya. “Naya, fokus ke tangan kamu dulu, bukan ke mie ayam.”Naya mendesah dramatis. “Dua-duanya penting.”***Sampai di IGD, dokter langsung menangani Naya.Saat mereka mendorong Naya masuk, tangan kanan Naya mencari-cari sesuatu—atau seseorang.Mencari Elric.Dan ketika Elric menggenggamnya, jari Naya mengendur—percaya.Itu saja sudah cukup mengacaukan napas Elric.***Ketika pintu ruang tindakan tertutup, semua suara tiba-tiba menjauh.Yang tersisa hanya detak jantung sendiri — cepat, kacau.Ia bersandar ke dinding, memejamkan mata. Mencoba menenangkan hati dan pikirannya.Bukan karena insiden







