Aku menatapnya, pemilik rahang kokoh yang nyaris tanpa cela.
Tangannya menggenggam rangkaian mawar merah.
Mas Bayu menghindar dari tatapanku, "dari karyawan kantor." Begitu katanya. Aku mengangguk mencoba mengerti.
Baru saja tanganku ingin memilih vas kosong di rak pajangan, suara Mas Bayu terdengar.
"Bik …!" Tak lama wanita paruh baya muncul dari arah dapur.
"Ya, Pak." Wanita yang di panggil bibik tadi sedikit membungkukkan badan di depan Mas Bayu.
"Tolong bunga ini dibagi dua, sebagian simpan di vas biru ruang tamu dan sebagian lagi tolong letakkan meja makan."
Tanganku yang terulur terhenti di udara. Aku hanya butuh waktu untuk terbiasa. Terbiasa dengan rasa yang mengambang, seperti genangan air yang terkumpul di ujung mata.
"Inara jadi datang, Mas?" Akupun harus terbiasa, mengulas senyum mesti tipis dan nyaris tak terbaca.
Mas Bayu menatapku, kali ini lebih lama. Mungkinkah dia juga mulai terbiasa?
***
Senja datang bersama dengan sosok cantik yang muncul di depan pintu.
Cantik sekali.
Pantas saja Mas Bayu seperti enggan memindahkan mata untuk menatapku. Mungkin raganya ada di sampingku, bisa jadi hati dan jiwanya tengah mengembara bersama Inara.
"Assalamu'alaikum," sapa lembut terdengar mendayu.
Kami berdua beradu tatap. Ada sesuatu yang tak terbaca dari matanya. Aku jengah. Hingga memutuskan memiringkan badan untuk menyilahkannya masuk.
"Silahkan duduk," kataku. Inara membalasnya dengan senyum.
"Sebentar ya, Mas Bayu masih bersiap di dalam." Aku melanjutkan ucapanku setelah Inara duduk di sofa hijau.
Terlihat binar rindu di mata Inara. Wajahnya berseri, kecantikan alami yang saat ini nyaris jarang ditemui.
Bidadari, begitu nama yang ditulis Mas Bayu di ponselnya. Secara tak sengaja aku membaca, saat panggilan datang dan kami terbaring dalam diam.
Salahkah aku yang mulai merasa aku bukanlah tandingan sempurna untuk Inara?
Mas Bayu muncul dari dalam, dengan rambut basah dan wangi sabun mandi yang aromanya mulai aku suka.
"Assalamualaikum, Mas," sapa Inara. Bergegas dia bangkit menyambut Mas Bayu.
Begitu pun Mas Bayu, seolah tergesa ingin menghambur pada Inara.
Aku memejamkan mata. Membatasi diri dari pandangan yang memang seharusnya tak ku lihat. Karena yakin aku tak akan kuat.
Nyatanya Inara hanya meraih tangan Mas Bayu. Meskipun dari sorot matanya tersirat rasa rindu yang begitu hebat.Inara mencium punggung tangan, telapak tangan, kemudian membalik untuk mencium punggung tangan Mas Bayu sekali lagi. Mungkin itu caranya mengungkapkan rasa cinta dan rindu dari hati.Sesaat Mas Bayu hendak menundukkan badan, mungkin ingin mengecup keningnya. Tapi dengan cepat Inara menahan dada suamiku. Sebuah gelengan halus masih bisa kutangkap.Apakah Inara sedang berusaha menjaga hatiku?Mas Bayu duduk di antara kami berdua. Sampai Bibik menghidan
Mas Bayu menatapku. Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan. Aku yang tengah menyesap teh mencoba tidak peduli.Jika memang ada hal penting, tentu dia akan segera menyampaikannya bukan?Nyatanya sampai saat kopi di cangkir miliknya tinggal separuh dia tetap diam.Mas Bayu berangkat kerja bahkan tanpa menyentuh sarapan yang disajikan Bibik. Setelah dia pergi, aku memilih masuk kembali ke kamar. Rumah ini masih saja asing bagiku.Setiap sudutnya seolah memandangku remeh. Apalah aku yang hanya anak seorang pekerja kebun. Bisa tinggal di rumah ini pun tak pernah t
Hatiku penuh dengan berbagai rasa. Semua bergumul dan memaksa menyeruak ke luar. Kata-kata Rum sangat membekas, dan membuatku seketika seperti dihempas ke lubang penuh kotoran.Seolah tak punya harga diri.Hampir dua bulan aku menjadi nyonya di rumah ini, tapi seseorang yang bahkan mendapatkan sesuap nasi dari suamiku berani menghina.Aku marah. Ya, marah pada Bapak yang membuatku berada di posisi ini. Marah pada Mas Bayu yang mengacuhkan aku. Marah pada mertua yang memintaku pindah ke rumah Mas Bayu.Jika saja Mas Bayu bisa sedikit lebih tegas untuk menolak pernikahan kami, tentu jalan cerita hidupku akan berbeda. Aku bisa hidup bebas, dan tak akan mendapatkan hinaan di rumah suamiku.
Tanpa suara aku meletakkan novel di atas nakas, dan beringsut turun. Sambil mengikat rambut aku berjalan menuju pintu.Saat pintu terbuka, aku terperanjat. Sebuah kejutan …!Mas Bayu yang semula bersandar di samping pintu pun sepertinya ikut terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan keluar.Sesaat mata kami bertemu, gerakan tanganku yang sedang merapikan rambut pun terhenti. Beberapa anak rambut masih terburai."Sedang apa disini?" tanyaku sesaat setelah rasa kagetku hilang.
Pagi ini aku menikmati segelas teh. Tanpa menghidangkan kopi. Bibik yang sedang memasak untuk sarapan memandangku heran. Tapi dia sama sekali tidak bicara apapun.Ya, aku asing di sini. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak menganggapku ada. Atau mungkin terganggu oleh kehadiranku?Ku lihat Mas Bayu seperti mencari sesuatu, atau mungkin memastikan sesuatu. Dia menatapku sesaat, dan aku memilih tidak berkomentar apapun."Bik …, tolong buatkan kopi." Suamiku meminta Bibik membuatkannya kopi.Lihat! Sebenarnya mudah saja dia memintaku untuk membuatkan secangkir k
Rizal mengangguk dan sedikit menjauh, namun aku yakin tangannya akan sigap menangkap jika aku jatuh lagi.Tak tahu kenapa aku merasa ada yang mengawasiku. Dan benar, saat aku melihat ke arah pintu masuk, sosok Mas Bayu ada di sana.Kenapa dia disana? Oh tidak, apakah dia melihatku hampir jatuh tadi?Aku berjalan pelan mendekatinya. Kakiku benar-benar terasa nyeri."Mas Bayu," sapaku canggung. Mas Bayu menatapku dengan pandangan tajam."Selamat siang, Pak, maaf saya tidak
"Gendhis, tunggu …!"Sepertinya Inara berusaha mengejarku."Gen … ahhh!"Aku menoleh dan terkejut saat melihat Inara, perempuan itu tersungkur dan bagian bawah bajunya basah!Terlihat pecahan beling bertebaran di sekitarnya. Seorang pelayan laki-laki berdiri kaku dengan nampan kosong."Gimana sih, resto sebagus ini kenapa punya pelayan ceroboh kayak kamu!" Inara menuding pelayan malang itu. Si pelayan tidak menjawab, tapi terlihat sekali dia menahan diri untuk tidak membalas tudingan Inara."Kamu tahu, bajuku ini mahal, kena tumpahan juice mana bisa hilang," keluhnya. Tangannya sibuk
Seketika ruangan hening, bahkan setelah Mas Bayu menjauhkan wajahnya dariku.Tatap matanya yang tajam memaksaku untuk mengangguk. Pria dingin itu kemudian kembali menggenggam tanganku dan memaksa mengikuti langkahnya.Kami berdua menaiki tangga. Di sudut yang tersembunyi aku berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.Mas Bayu menyerngit tak suka. Namun aku tak perduli. Aku tak ingin terus terbuai oleh sikap manisnya di kantor. Dan akan terasa sakit saat menemukan realita berbeda sesampainya di rumah nanti.Dengusan kasar terdengar, dan hentakan kakinya kembali terdengar menaiki tangga.Tuhan, tolong hentikan debaran kurang ajar yang lancang datang tanpa k