Share

Senyum Sepahit Kopi

Penulis: Tri Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-25 14:08:01

Aku memulai pagi dengan menjerang air diatas kompor. Tak banyak yang ku masukkan ke dalam panci, hanya cukup untuk menyeduh secangkir kopi dan segelas teh.

Tanganku mulai cekatan meracik sesendok penuh kopi, dan setengah sendok gula. Perbandingan pas racikan kopi khusus untuk Mas Bayu, suamiku.

Untukku sendiri cukup sekantung teh dan setengah sendok gula. Cukup untuk memulai hari yang selalu berjalan sama.

Setiap pagi seolah aku memutar filem yang sama. Bangun, menjerang air, meracik teh dan kopi. Kemudian aku akan duduk sendiri di teras samping yang menghadap ke arah kolam ikan.

"Terima kasih." Ucapan itu pun selalu sama. Seperti sebulan yang lalu saat pertama kali aku membuatkannya secangkir kopi.

Saat itu dahinya hanya sedikit berkerut, sebelum berkata "takaran gulanya cukup setengah dari takaran kopi."

Ya, pagi pertama dan itu kalimat terpanjang selama usia pernikahan kami.

Pernikahan yang kuharapkan terjadi sekali dalam seumur hidupku.

***

Aku tinggal bersama Mas Bayu dan dua asisten rumah tangga. Seharusnya cukup berdua saja, asisten rumah tangga hanya membuat peranku semakin tenggelam.

Mas Bayu tak banyak bicara, aku pun mulai terbiasa. Terbiasa membaca gerakannya, membaca tatap matanya.

Terbiasa melihatnya duduk menyeruput kopi buatanku. Terbiasa melihatnya menyisakan setengah cangkir tetap terisi begitu saja.

"Kenapa tak dihabiskan?" tanyaku pagi itu. Entah pagi keberapa.

Jawaban yang ku dapat hanya sebuah tatapan. Seperti enggan atau tak sampai untuk mengungkapkan.

"Racikannya kurang pas?" tanyaku lagi.

Mas Bayu hanya menghela nafas. Dan itu cukup bagiku untuk tahu, jika dia tidak mau aku banyak bicara.

"Inara ingin berkunjung." Ucapan datar terdengar. Seolah tanpa emosi, namun cukup membuat detak jantungku sejenak berhenti.

Aku tahu siapa Inara, meski belum pernah sekalipun berjumpa.

Mas Bayu sejenak menatap ke arahku, seolah memaksa jawaban. Mengangguk, walau terpaksa. Inilah aku, hanya ingin mengabdi.

Bagaimana aku bisa menolak kehadiran Inara, sedang aku di sini seolah tamu yang memaksa masuk di kehidupan Mas Bayu.

Jika hati Mas Bayu sebuah rumah, maka Inara adalah pemiliknya.

Aku tak boleh melakukan apapun, selain menyeduh kopi.

Setelah mendapat jawaban, tak butuh waktu lama Mas Bayu segera beranjak pergi.

Secangkir kopi, caraku mengabdi. Pengabdian sederhana yang mampu ku lakukan. Sebatas keinginan untuk terbiasa. Mengeja ikatan dalam sebuah keheningan.

Aroma kopi semerbak. Di dalam cangkir masih terisi separuh, tak lebih ataupun kurang.

Memaksaku menerbitkan seulas senyum. Senyum sepahit kopi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Luluh

    Rasa tak percaya diri muncul. Apa bentuk tubuhku berubah mengerikan? Apa lemak yang mengiringi kehamilanku membuat hasratnya lebur?Lagi-lagi aku patah.Kuputuskan untuk mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Berusaha meredam amarah agar tak salah arah.Duduk diam dan membiarkan air mata mengalir begitu saja.Hampir tengah malam seseorang mencoba membuka pintu. Aku tetap diam. Tak berusaha bangun untuk membukanya.Saat ini aku ingin sendiri. Berdamai dengan rasa yang menyakitiku.***"Kenapa p

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Kecewa

    Hari-hari selanjutnya kulalui dengan normal. Tidak ada yang mengusikku, selain Mas Bayu.Lelaki itu nyaris setiap saat memintaku kembali ke rumah. Sayangnya aku masih merasa nyaman disini. Rumah Diana yang sudah dibeli suamiku dengan harga fantastis.Diana bahkan mampu membeli rumah lain yang lebih besar dan juga liburan ke luar kota. Aku tidak akan melupakan saat Mas Bayu juga menjanjikan sebuah toko kue lengkap dengan karyawan untuknya.Entahlah, aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran suamiku itu. Terlalu mudah menghamburkan uang.Sepertinya setelah kepergianku, dia berubah bekerja keras hingga lupa waktu. Mungkin itu caranya untuk melupakan aku. Menurut Inara, harta Mas Bayu tak akan

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Cemburu

    "Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bayu. Tatapannya tak beralih dari jalan raya yang padat ileh kendaraan."Tidak," jawabku pelan."Anakku, apa dia tidak lapar?" Kali ini Mas Bayu menatapku sebentar.Rasa hangat kembali memenuhi dadaku. Aku tersenyum. Semudah itu membuatku bahagia."Kenapa?""Hmm? Kenapa apanya?" Aku menoleh. Mengamati tangan kekarnya yang memegang setir."Kamu, senyum-senyum begitu.""Nggak boleh?" rajukku.Mas Ba

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Ratu di Hati Suamiku

    Tidak apa?" Aku masih mencoba mencari kepastian.Mas Bayu masih berdiri tegak. Tak menoleh, juga tak menyahut. Dengan cepat kulempar bantal ke arahnya.Hanya terdengar helaan nafas darinya. Aku hampir putus asa. Sikapnya semakin mambuatku yakin pada apa yang kupikirkan. Pak Mahmud telah meninggal."Aku ikut," putusku cepat.Ternyata ucapanku kali ini menimbulkan reaksi. Dia berbalik dan memandangku. Aku berdiri dan segera meraih jaket untuk menutupi piyama yang kukenakan. Selanjutnya aku menabrak lengannya untuk keluar menuju kamar mandi."Ndhis!"Seruannya tak kuhiraukan. Dengan cepat aku mencuci muka dan menggosok gigi. Tak lupa kuikat rambut menyerupai gaya ekor kuda."Ayo," ajakku."Kamu di rumah saja." Dia masih berusaha membujuk."Tidak. Aku ikut atau kamu tidak akan pernah bisa menemukanku lagi. Aku akan pergi," ancamku."Bagaimana bisa kamu pergi, sedangkan dun

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Kontraksi

    "Katakan, di mana Pak Mahmud?" Aku mencecar Mas Bayu. Lelaki itu menghela nafas kasar."Entahlah. Terakhir yang kutahu, dia mengantar ayah melakukan perjalanan bisnis. Beberapa malam yang lalu, dia menghubungiku. Memberi tahu tentang kamu. Semua begitu cepat. Seperti sesuatu mengejarnya.""Kamu tidak melacak ponselnya?" tanyaku khawatir. Hal mudah bagi Mas Bayu untuk mengetahui keberadaan seseorang melalui ponsel. Apalagi ada beberapa karyawannya yang dibidang itu."Sudah. Dan hanya ponsel yang kutemukan." Mas Bayu membuang muka. Terlihat sekali dia tengah menyembunyikan sesuatu."Lalu, siapa laki-laki yang tadi berkelahi denganmu?""Mereka suruhan ibu.""Suruhan? Untuk apa?" Heranku."Kamu mengandung pewaris mereka," ucapnya pelan."Apa hubungannya?""Jika anak kita lahir, mereka akan membawanya, dan tidak mustahil mengakhiri hidup kita."Gila! Aku tidak habis pikir, ini ha

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Hilang

    Aku berpura tidak peduli dengan raut wajahnya yang terlihat kesal. Dengan gerakan santai kubereskan peralatan untuk membersihkan luka Mas Bayu tadi.Selain obat pereda nyeri, orang-orang itu juga membeli kain kasa dan beberapa lembar plester.Cangkir kopi kubawa ke dalam. Sebagai gantinya aku membuatkan teh manis untuknya dan empat orang yang berdiri siaga di teras. Sebenarnya aku sudah mempersilahkan mereka untuk duduk, tapi aura Mas Bayu yang kehilangan secangkir kopi begitu kelam. Mungkin itu membuat mereka memilih berdiri.Hari sudah malam, dan aku menyiapkan makanan untuk lima lelaki dewasa. Mudah saja bagiku yang memang senang bergelut di dapur. Apalagi si kecil yang biasanya aktif, entah kenapa kurasa tenang. Apa mungkin dia senang, bisa merasakan kehadiran ayahnya?Senyum muncul saat menyentuh perutku sendiri. Ah, bagaimana rasanya jika Mas Bayu mengelusnya?Aku menggigit bibir. Tiba-tiba dorongan untuk merasakan tangan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status