Share

Senyum Sepahit Kopi

Aku memulai pagi dengan menjerang air diatas kompor. Tak banyak yang ku masukkan ke dalam panci, hanya cukup untuk menyeduh secangkir kopi dan segelas teh.

Tanganku mulai cekatan meracik sesendok penuh kopi, dan setengah sendok gula. Perbandingan pas racikan kopi khusus untuk Mas Bayu, suamiku.

Untukku sendiri cukup sekantung teh dan setengah sendok gula. Cukup untuk memulai hari yang selalu berjalan sama.

Setiap pagi seolah aku memutar filem yang sama. Bangun, menjerang air, meracik teh dan kopi. Kemudian aku akan duduk sendiri di teras samping yang menghadap ke arah kolam ikan.

"Terima kasih." Ucapan itu pun selalu sama. Seperti sebulan yang lalu saat pertama kali aku membuatkannya secangkir kopi.

Saat itu dahinya hanya sedikit berkerut, sebelum berkata "takaran gulanya cukup setengah dari takaran kopi."

Ya, pagi pertama dan itu kalimat terpanjang selama usia pernikahan kami.

Pernikahan yang kuharapkan terjadi sekali dalam seumur hidupku.

***

Aku tinggal bersama Mas Bayu dan dua asisten rumah tangga. Seharusnya cukup berdua saja, asisten rumah tangga hanya membuat peranku semakin tenggelam.

Mas Bayu tak banyak bicara, aku pun mulai terbiasa. Terbiasa membaca gerakannya, membaca tatap matanya.

Terbiasa melihatnya duduk menyeruput kopi buatanku. Terbiasa melihatnya menyisakan setengah cangkir tetap terisi begitu saja.

"Kenapa tak dihabiskan?" tanyaku pagi itu. Entah pagi keberapa.

Jawaban yang ku dapat hanya sebuah tatapan. Seperti enggan atau tak sampai untuk mengungkapkan.

"Racikannya kurang pas?" tanyaku lagi.

Mas Bayu hanya menghela nafas. Dan itu cukup bagiku untuk tahu, jika dia tidak mau aku banyak bicara.

"Inara ingin berkunjung." Ucapan datar terdengar. Seolah tanpa emosi, namun cukup membuat detak jantungku sejenak berhenti.

Aku tahu siapa Inara, meski belum pernah sekalipun berjumpa.

Mas Bayu sejenak menatap ke arahku, seolah memaksa jawaban. Mengangguk, walau terpaksa. Inilah aku, hanya ingin mengabdi.

Bagaimana aku bisa menolak kehadiran Inara, sedang aku di sini seolah tamu yang memaksa masuk di kehidupan Mas Bayu.

Jika hati Mas Bayu sebuah rumah, maka Inara adalah pemiliknya.

Aku tak boleh melakukan apapun, selain menyeduh kopi.

Setelah mendapat jawaban, tak butuh waktu lama Mas Bayu segera beranjak pergi.

Secangkir kopi, caraku mengabdi. Pengabdian sederhana yang mampu ku lakukan. Sebatas keinginan untuk terbiasa. Mengeja ikatan dalam sebuah keheningan.

Aroma kopi semerbak. Di dalam cangkir masih terisi separuh, tak lebih ataupun kurang.

Memaksaku menerbitkan seulas senyum. Senyum sepahit kopi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status