Share

Suara Hati Mas Pamuji

Author: Betti Cahaya
last update Last Updated: 2025-03-13 21:17:37

"Ya Alloh!"

Cairan bening dan kuning bercampur dengan butiran beras tercecer di lantai, aku mematung cukup lama melihat bahan makanan itu gagal menjadi penyambung hidupku dan anak-anak. Netraku kembali memanas dan basah, aku lelah, kesal, jengkel, dan marah.

Kenapa ibu mertuaku tidak seperti ibu-ibu pada umumnya?

Kenapa dia begitu tega?

Kali ini ibu benar-benar keterlaluan, bukan lagi bermain mulut tapi sudah mulai bermain tangan. Aku sedikit menyesal karena telah melibatkan Bude Rum.

Kukumpulkan beras yang masih bisa kuselamatkan, kutahan isak agar tidak terlihat oleh anak-anak yang sedang asik menonton tv. Tidak lebih dari setengah liter yang bisa kuselamatkan. Kuambil ponsel keluaran lama yang kupunya, kuambil gambar sebagai bukti bahwa ibu sudah melampaui batas, akan kutunjukan nanti pada mas Pamuji.

Kumasak beras yang telah kucuci bersih sebelumnya, kupetik beberapa lembar sayur bayam di halaman untuk kujadikan teman makan nasi Bagas dan Tika. Aku bersyukur masih ada makanan yang bisa masuk dan mengganjal perut anak-anak, meski mereka tidak pernah mengeluh apapun yang kusajikan, tapi aku tahu dalam hatinya mereka memendam keinginan, terutama Bagas yang sudah mulai besar.

Menjelang maghrib Mas Pamuji pulang, anak-anak menyambutnya dengan riang. Wajahnya lelah, namun dia tetap tersenyum. Kusajikan teh tawar sembari menunggu Mas Pamuji mandi dan sholat.

"Mas, tadi ibu kesini," ucapku ketika Mas Pamuji keluar dari kamar.

"Apa ibu minta uang lagi?" tanya Mas Pamuji seraya menghampiriku dan meraih tehnya.

"Enggak, ibu melalukan hal yang lebih parah," ucapku.

"Apa yang ibu lakukan?" tanya Mas Pamuji dengan nada suara yang sedikit naik.

Kuserahkan ponsel milikku, Mas Pamuji meraih dan menatap layarnya dengan penuh tanda tanya.

"Apa ini, Sekar?"

"Ibu datang dan langsung marah-marah, sepertinya Bude Rum sudah menegurnya, kebetulan selembar uang terakhir di dompetku sudah kubelikan beras dan telur untuk Bagas dan Tika, tapi ... saat ibu pulang bungkusan itu di tepis ibu sampai jatuh berantakan," kisahku sambil menahan sesak.

"Astagfirullohaladzim," ucap Mas Pamuji, matanya memejam dan giginya terdengar gemeletak menahan amarah.

"Aku lelah, Mas! Sudah kubilang ibu nggak bisa ditegur, bukannya baik malah tambah buruk, itulah alasan aku memilih mundur dari pada berusaha tapi sia-sia, ibumu selain serakah juga keras kepala," ucapku meluapkan sesak.

"Maaf, Mas. Aku nggak bisa lagi menemukan alasan kenapa aku harus hormat pada ibumu, selama ini aku mengalah dan diam agar kita tetap damai, tapi ibumu semakin keterlaluan, Mas," pungkasku mulai sesenggukan, aku telah di ujung emosi, marah dan kecewa bercampur menjadi satu.

Andai bisa, aku ingin sekali masuk ke dalam otak dan hati ibu mertuaku. Aku penasaran apa yang ada di dalamnya, kenapa jalan pikiran dan hatinya begitu lain dari pada yang lain.

Apa sebabnya?

Apa yang salah?

Kenapa ibu tidak bersikap selayaknya seorang ibu dan seorang nenek?

Kenyataannya kita harus menerima bahwa tidak semua orang itu baik, terlepas dari apapun predikatnya, termasuk seorang ibu.

"Terus apa kalian udah makan?" tanya Mas Pamuji khawatir.

"Udah, Mas."

"Cepat suruh anak-anak tidur, nanti kita ke rumah ibu," perintah Mas Pamuji.

"Mas, apa Mas bisa bikin ibu sadar bahwa perbuatannya salah?"

"Kalau enggak lebih baik nggak usah kesana, percuma, Mas! Nanti malah ribut, malu sama tetangga," ucapku pesimis.

"Percaya padaku, Sekar. Aku nggak mungkin menyerah dan melepaskan kalian begitu saja," ucap Mas Pamuji berusaha meyakinkanku.

"Bertahun-tahun ibu membenciku karena kita miskin dan terbelit utang, jadi ... waktu ibu kembali perhatian dan menyukaiku, aku begitu senang, maafkan aku sekar! Aku sudah egois, hanya karena aku rindu dengan kasih sayang ibu, aku telah buta, demi membuat ibu tetap menyayangi dan mendoakanku, aku mengabaikan tanggung jawabku pada kalian," ucap Mas Pamuji.

Aku terkejut, pengakuan Mas Pamuji membuatku iba. Selama ini suamiku selalu terlihat tegar, aku tidak menyangka hatinya serapuh ini. Aku melihatnya yang tertunduk dengan tidak tega. Walaupun dia sudah beranak dua, dia tetaplah seorang anak yang rindu akan kasih sayang ibunya.

Aku meringis merasakan hati yang perih. Sebagai anak perempuan aku lebih dekat dengan bapakku ketika beliau masih ada, dan Mas Anjar lebih dekat dengan ibuku. Ketika bapak meninggal, Mas Anjar terlihat lebih tegar, tapi saat ibu yang pergi, Mas Anjar benar-benar tumbang, tubuh besarnya pingsan berulang kali. Aku bisa membayangkan bagaimana hancur dan kecewanya Mas Pamuji.

Aku menyesali keputusanku yang hendak meninggalkan Mas Pamuji, tentu saja pisah akan menyelamatku dan anak-anak, tapi akan semakin menenggelamkan Mas Pamuji dalam kesedihannya.

Bukankah aku istrinya?

Seharusnya aku tetap menjadi tempat dia pulang dan membagi kasih sayang, bukan malah meninggalkannya.

"Mas ... kamu ingin aku bagaimana?" tanyaku.

"Maksud kamu apa?" tanya Mas Pamuji tidak mengerti.

"Aku bisa saja pergi dengan damai, dan membiarkan ibu menikmati semua gajimu, tapi ... rasanya nggak adil bagimu, Mas, mengingat kasih sayang ibumu begitu bersyarat. Pilihan kedua aku bisa melawan, mempertahankan hak-hakku dan anak-anak, tapi pasti akan terjadi kegaduhan," jelasku.

"Seperti katamu sebelumnya Sekar, kamu nggak mungkin memintaku memilihmu atau ibu, seburuk apapun sikap dan sifatnya dia tetap ibuku, aku ingin jalan tengah Sekar, tetap berdiri diantara kalian."

"Jadi maksudmu apa, Mas?" Kini aku yang tidak mengerti dengan jawaban Mas Pamuji.

"Seperti keputusanku kemarin, aku hanya akan memberikan ibu jatah sesuai kemampuanku, aku akan tegas, aku nggak peduli nominal yang kuberikan cukup atau enggak untuk membeli sebuah doa dan kasih sayang dari ibu. Aku akan memenuhi kewajibanku padamu dan anak-anak, tentu saja sesuai kemampuanku, aku harap pembagian ini cukup di matamu sebagai bentuk tanggung jawab," ucap Mas Pamuji panjang.

"Bagaimana menurutmu? Sudah adil?" tanya Mas Pamuji.

"Sudah. Aku hanya berharap kenyatannya nanti akan sesuai dengan ucapanmu, Mas. Aku nggak mau kecewa lagi," jawabku.

Aku tidak mau menaruh harapan terlalu tinggi, mengingat betapa keras kepalanya ibu, dia pasti akan memaksa dan menggunakan berbagai cara agar Mas Pamuji memenuhi keinginannya. Tinggal kita lihat bisakah Mas Pamuji tegas dan tetap pada pendiriannya.

"Baiklah, sekarang tidurkan anak-anak, nanti kita ke rumah ibu," perintah mas Pamuji lagi.

Setelah beberapa menit hanya Tika yang tertidur, sementara Bagas tidak keberatan ditinggal. Aku dan Mas Pamuji pun pergi ke rumah ibu yang letaknya hanya berbeda gang dengan rumah kami, rumah yang Mas Pamuji beli setelah menikahiku dengan berutang pada bank.

Sesampainya di depan rumah ibu Mas Pamuji segera mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam terdengar ibu menjawab salam dan juga langkahnya yang mendekat untuk membuka pintu.

"Oh kamu, Ji? Kenapa? Pasti Sekar mengadu?" sambutnya sinis.

.

.

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Ibu Sedang Menebus Dosa

    "Jangan-jangan ibu diguna-guna?" ucap Nurma menduga-duga.Mas Pamuji yang sedang kalut pun tersulut dengan praduga dari Nurma, padahal benda-benda di tangannya lebih mirip benda yang telah lama dirawat, mungkin saja benda itu milik ibu."Mas ... itu bukan benda buat guna-guna perasaan deh," ucapku berusaha mengoyahkan prasangka buruk Mas Pamuji pada siapapun."Kita coba aja, Kar, tanya ke Mbah Sanusi," tutur Mas Pamuji.Kami semua pergi ke rumah Mbah Sanusi, seseorang yang dituakan di kampung Mas Pamuji. Aku tidak tahu kalau Mbah Sanusi ternyata bisa mengetahui hal-hal gaib semacam ini.Mobil terparkir di halaman sebuah rumah yang sederhana, meskipun begitu suasana hangat dan sejuk menyatu menjadi satu di hunian yang nyaman. Terlihat sekali kalau Mbah Sanusi orang yang taat.Kami bertiga dipersilahkan masuk. Sambil menyesap rokok lintingannya Mbah Sanusi menanyai maksud kedatangan kami."Mbah udah denger tentang Susi, Ji," ucap Mbah Sanusi."Iya, Mbah guru, kalau kata dokter ibu depre

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Depresi Berat Dan Bungkusan Putih

    Setelah kepergian Rima, kami bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Kami bergegas menyelesaikan urusan rumah dan kembali ke rumah kami yang baru secepatnya.Sedikit ada rasa yang mengganjal ketika kuturuti keinginan Mas Pamuji yang tidak mau mampir ke rumah ibu. Sejujurnya aku senang, hanya saja aku takut salah. Ya sudah, toh itu ibu Mas Pamuji, dan yang tidak mau datang anaknya sendiri, aku tidak ikut campur.Seminggu kemudian, ponselku dan Mas Pamuji terus berdering. Panggilan dari ibu dan juga Nurma, keduanya menanyakan keberadaan Rima. Sesuai perjanjian kami diam dan pura-pura tidak tahu. Keluarga Irfan berkali-kali datang ke rumah ibu, mereka masih menganggap ibu dan Nurma yang menyembunyikan Rima.Karena jarak kami jauh, sehingga memudahkanku dan Mas Pamuji untuk berbohong, kami akhirnya sibuk dan lupa pada masalah Rima meski ibu dan Nurma masih sering menghubungi kami dan menceritakan betapa kacaunya keadaan mereka.Ibu ... andai saja ibu tahu kepedihan Rima, pasti ibu akan berpi

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Karma

    Aku bergantian mandi dengan Mas Pamuji, setelahnya kami pergi makan di luar berdua saja."Mas ... kamu nggak mau mampir ke rumah Ibu?" tanyaku pada Mas Pamuji."Nggak usahlah," jawab Mas Pamuji apatis."Kita kelarin aja urusan kita di sini, terus kita pulang," lanjut Mas Pamuji.Aku senang mendengarnya, tidak munafik bukan?"Ehm, seenggaknya mampir ke tempat Bude," ucapku lagi."Iya, nanti mampir," jawab Mas Pamuji.Kami membeli martabak dan buah-buahan untuk Bude Rum. Kali ini kami juga membelikan jajanan untuk cucu Bude Rum di mini market."Assalamualaikum," sapaku. Terdengar jawaban dari dalam rumah besar milik Bude."Waalaikumsalam, eh kamu, Kar? Apa kabar?" jawab Mbak Arum menyalamiku."Baik Mbak.""Kamu keliatan ganteng sekarang, Ji," ucap Mbak Arum menyalami Mas Pamuji."Ganteng dari dulu perasaan," jawab Mas Pamuji sambil terkekeh."Pakde mana?" tanya Mas Pamuji."Di dalam, cari aja," ucap Mbak Arum, Mas Pamuji pun masuk ke dalam."Mana Bagas sama Tika?" tanya Mbak Arum."Ngga

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Jalan Kesuksesan

    "Harusnya kamu juga bersikap baik ke aku, atau ... jangan-jangan mereka juga udah ngebuang kamu sama Dani pas kalian susah begini?" tuturku menyindir, muka Nurma merah padam, dadanya naik turun tidak terima dengan ucapanku."Sekar!" seru Nurma."Jadi benar?" tanyaku mengulang.Tangan Nurma melayang ke wajahku dengan cepat, aku tidak punya waktu untuk menangkisnya, tapi aku masih sempat untuk menghindar."Nur!" bentak Mas Pamuji.Tangan Nurma hanya menabrak udara kosong. Tampaknya aku telah memasuki ranah sensitif pada diri Nurma. Ibu hanya bisa diam, sudah terlanjur malu."Kamu marah, Nur?""Enggak salah?""Kamu pun memperlakukan aku kaya gitu, enggak sadar atau emang sengaja?" tanyaku menahan kesal."Jangan ikut campur masalahku, Kar! Kalau nggak mau bantu ya sudah," seru Nurma, emosinya meninggi, dia benar-benar tersinggung."Bagus kalo gitu, kamu juga nggak usah ikut campur lagi, ngeliat saudara punya kok langsung panas, aku bisa baik kalau kamu baik, aku cuma menyesuaikan diri sam

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Culas Dan Sombong

    "Rumahnya nggak usah dijual, kalo kamu mau pindah ke kampungnya Sekar yang di kaki gunung itu, ya pindah aja, kasian adekmu nggak punya rumah, kasih aja ke Nurma," ucap ibu.Inti kalimat yang sukses membuat mataku membelalak."Apa?!" seruku tidak percaya."Nggak bisa gitu dong, Bu," protes Mas Pamuji, penolakannya yang terlalu halus membuatku semakin kesal."Kasian sedikit lah sama aku, Mas, utang Mas Dani banyak, omongan tetangga semakin hari semakin nggak enak karena aku malah numpang di rumah ibu, aku juga sering berantem sama Mas Dani," lanjut Nurma mengiba."Ya nggak bisa, Nur, Mas udah cukup mbantu kamu dengan nggak minta pertanggung jawaban apapun ke kamu tentang mobil yang rusak, tentang skors yang harus Mas dapet dari perusahaan, tentang pemindahan bagian dan lainnya," jelas Mas Pamuji."Bahkan kejadian itu juga nambah alasan perusahaan buat ngeluarin Mas dari pekerjaan," lanjut Mas Pamuji."Sudahlah, Ji, itu udah berlalu, sesama saudara itu saling tolong menolong, siapa yang

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Kok bisa?

    Aku mencoba memaafkan ibu meski dia tidak pernah meminta maaf, bukan karena aku baik, tapi karena aku harus sehat secara mental.Meskipun begitu adegan pelemparan uang di rumah bude masih belum bisa kulupakan. Aku tidak mengingatnya, aku justru berusaha keras melupakannya, tapi sulit rasanya, hampir di setiap mataku terpejam adegan itu kembali terbayang.Merasa terhina, rendah, dan dilecehkan. Aku tidak terima tapi tidak bisa melawan. Aku hanya bisa membayangkan jika aku bisa memutar kembali waktu, akan kutepis tangan ibu, atau paling tidak aku akan membela diri.Secara tidak sadar ucapan dan doa buruk ibu yang terus berulang telah mendoktrinku. Terekam di alam bawah sadar, membuat semua ucapan ibu seolah menjadi nyata.Aku sangat takut, cemas, dan insecure. Namun perlahan kucoba menggapai kembali kesadaranku, berkali-kali kuucapkan, ini bukan karma!Ini berkah, ini jawaban dari doa-doaku, ini jalan keluar dari masalah yang sudah membuatku muak, akhirnya aku bisa menjauh dari ibu, bah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status