Главная / Rumah Tangga / Jatah Bulanan Ibu Mertuaku / Seliter Beras Dan Sebutir Telur

Share

Seliter Beras Dan Sebutir Telur

Aвтор: Betti Cahaya
last update Последнее обновление: 2025-03-13 21:11:37

"Apa benar bisa begitu, Bude?" tanya Mas Pamuji, matanya berbinar seperti mendapat secercah harapan.

"Insha Alloh, Ji, semua tergantung niatmu. Berbakti bukan berarti harus menuruti semua yang ibumu minta, ada Sekar dan anak-anak yang harus kamu nafkahi, kamu juga berdosa kalau mengabaikan tanggung jawabmu pada mereka," terang Bude Rum dengan bijaksana.

"Bude benar, aku sudah banyak salah sama Sekar," ucap Mas Pamuji.

Sebenarnya aku sudah kenyang dengan pengakuan salah dari Mas Pamuji, semua nggak berguna tanpa perbaikan atas sikap-sikapnya. Aku butuh ketegasan.

Dari raut wajah Bude Rum, aku bisa menangkap bahwa sebelum menyusahkan kami, ibu telah terlebih dulu menyusahkan Bude.

"Kalian jangan gegabah dan gampang memutuskan untuk pisah, kalau kalian pisah tambah panjang aja kesalahan ibumu itu," ucap Bude.

"Batas kekuatan Sekar sudah menipis Bude, Sekar nggak sanggup melihat anak-anak terus kekurangan," ucapku penuh putus asa.

"Kalau Mas Pamuji nggak ngasih apa yg ibu minta, pasti ibu mikir kalau aku yang ngelarang, padahal bukannya nggak boleh, tapi kenyataannya kami juga butuh untuk hidup," tangisku meledak, bude memelukku dengan penuh pengertian.

"Sekar lelah disalah-salahkan, disindir-sindir, ibu selalu baik sama Bagas dan Tika di depan Mas Pamuji, tapi selebihnya ibu selalu bersikap cuek pada cucu-cucunya sendiri, apa itu pantas bude? Kasian Bagas sama Tika, Sekar cuma pengen bawa mereka pergi jauh dari kepalsuan yang ibu buat di depan Mas Pamuji," lanjutku mengadu seperti anak kecil, semua tekanan yang kupendam seolah meluncur begitu saja dengan mudahnya.

"Hati Sekar sakit setiap Bagas minta makan pake chiken sementara Sekar cuma mampu beliin dia tempe goreng, sementara ibu selalu memajang fotonya yang sedang jalan-jalan dan makan di tempat-tempat bagus dengan makanan yang enak," ucapku lagi sesenggukan, bisa kurasakan pandangan bude dan mas Pamuji melihatku dengan kasihan.

"Sekar tahu nggak mudah mendebat ibu, semua sudut pandangnya selalu benar, semua yang Sekar anggap salah selalu diputar balikan menjadi nggak salah, sepatu senam dan beras di mata ibu lebih penting sepatu senam, dan itu benar tanpa bisa Sekar ganggu gugat," tuturku, Bude dan Mas Pamuji hanya mendengarkan tanpa menyela.

"Sekar aja yang terlalu miskin jadi Sekar nggak sanggup memahami jalan pikiran ibu, Sekar memilih mundur Bude, cara ibu memandang kehidupan terlalu beda dengan cara Sekar," pungkasku.

"Astaghfirullohaladzim," gumam bude lirih.

Kami saling diam hanya suara tangisku yang terdengar. Beban di pikiran dan hatiku seolah menguap satu persatu, setelah mengatakan semuanya aku merasa lega, tidak pernah hatiku selepas ini. Kehadiran Bude Rum saat ini membuatku merasa nyaman, hingga semua keluhan meluncur satu persatu tanpa hambatan.

Andai saja mertuaku itu seperti Bude Rum, andai saja Bude Rum-lah yang jadi mertuaku, andai saja ibuku masih ada sehingga ada tempat dimana aku bisa mengadu seperti ini. Kenapa mertuaku tidak seperti ibu pada unumnya?

"Bude nggak nyangka kelakuan Susi separah ini," lanjut Bude.

"Dengarkan Bude Rum, Sekar, kamu boleh ke rumah mas Anjar untuk menenangkan diri, tapi jangan buru-buru minta pisah," pinta mas Pamuji.

"Apa nanti setelah tenang aku bisa hidup tanpa makan, Mas? Apa nanti setelah tenang anak-anak bisa besar tanpa biaya? Tanpa Sekolah? Apa gunanya aku tenang?" tanyaku pada Mas Pamuji, pertanyaan yang mungkin tidak bisa dia jawab.

"Aku akan bicara apa adanya pada ibu, tentang keadaan kita," ucap Mas Pamuji.

"Mas, aku nggak yakin kamu bisa bikin ibu mengerti, yang ada ibu tambah benci sama aku." Jujur saja aku ragu, Mas Pamuji tidak pandai merangkai kata.

"Nanti bude bantu Sekar, ucapan suamimu ada benarnya, sabar ... ini cobaan untuk rumah tangga kalian."

Bude terus memberiku dan Mas Pamuji wejangan sampai aku lupa bahwa kami harus mengejar bus agar bisa ke rumah Mas Anjar. Menjelang maghrib Bude Rum berpamitan, rumah beliau hanya berbeda RW dengan kami.

Dengan berat kuurungkan kepergianku hari ini. Setelah sholat maghrib kurasakan perut yang meronta-ronta minta diisi, anak-anak dan suamiku pasti juga merasakan hal yang sama.

Beras satu gelas cukup untuk makan malam kami, aku pun memasaknya. Di dalam kulkas tersisa setengah papan tempe, kupotong-potong dan kugoreng dengan adonan tepung agar menjadi banyak. Tidak lupa aku membuat sambel orek dengan cabe yang kupetik di pot depan rumah.

Kami makan bersama malam itu dengan nikmat, tidak pernah ada lauk dan sayur, ketika ada sayur ya sayur saja dan ketika ada lauk ya lauk saja. Semua kuatur agar uang belanja yang tidak seberapa itu sampai akhir bulan.

Keesokan harinya kutebalkan muka dan menemui guru TK Bagas, kuutarakan maksudku untuk menunda lagi sampai bulan depan. Meski rasanya malu tapi hanya ini yang bisa kulakukan.

Kami pulang berjalan kaki, uang di dompet hanya sisa 10.000, sementara hari sudah siang. Aku mengajak anak-anak mampir ke warung untuk membeli beras dan sebutir telur.

"Mbak Sekar irit sekali belanjanya," ucap mbak Yuyun pemilik warung.

"Iya," jawabku singkat.

"Tapi makasih lho masih belanja di warung kecil saya, kalo ibu mertuamu udah lama nggak belanja ke sini, dia pasti belanja ke alpa dan sengaja nunjuk-nunjukin merk di plastiknya, aku kesel deh sama mertuamu itu Mbak, kayak lupa aja dulu pasti ngutangnya ke sini," tutur Mbak Yuyun.

Aku hanya menanggapinya dengan senyum kecut, malu, bukan satu dua orang saja yang menggunjing kelakuan ibu.

"Maaf ya Mbak Sekar, habis saja jengel banget sama mertua Mbak itu, giliran nggak dikasih THR dia marah-marah."

Kusodorkan uang 10 ribu yang kupunya agar kami bisa segera pergi. Tadi pagi sebelum Mas Pamuji berangkat kerja mengatakan akan mencari pinjaman untuk uang makan kami sampai gajian bulan depan, dan Mas Pamuji pun berjanji akan memberikan jatah ibu secukupnya saja.

Sampai rumah aku segera memeluk Bagas, bocah 7 tahun itu heran tapi menerima saja pelukanku. Dalam hati aku berjanji, aku akan menjadi ibu yang baik, setidaknya aku tidak akan menyusahkan Bagas ketika dia dewasa nanti.

"Mama kenapa?" tanya Bagas.

"Nggak papa, mama cuma bahagia aja punya Bagas," jawabku.

"Tika juga," pinta gadis kecilku sambil merentangkan tangannya.

Aku pun memeluknya dan menciumi pipinya, aku berharap kelak Tika mendapat mertua yang baik, dan suami yang mengerti bagaimana memposisikan diri antara istri dan ibunya. Aamiin.

"Sekar ...!" Sebuah suara memanggilku, aku langsung mengenali pemilik suara itu.

Pintu terbuka dan ibu langsung masuk menghampiriku.

"Iya, kenapa, Bu?"

"Kamu ngomong apa sama Bude Rum?" tanyanya marah, aku diam tanpa tahu harus menjawab apa.

"Bude kenapa memang, Bu?"

"Halah, jangan pura-pura polos kamu, asal kamu tahu, ibu nggedein Pamuji biar dia berbakti sama ibu, biar masa tua ibu ada yang nanggung, bukan untuk kamu manfaatin biar kamu numpang hidup sama dia," ucap ibu marah.

"Astaghfirullohaladzim, istighfar, Bu. Kalau mas Pamuji denger pasti dia sakit hati, Bu. Dan bagaimanapun aku ini istri Mas Pamuji, bagaimana bisa dibilang numpang hidup? Memang sudah jadi tanggung jawab Mas Pamuji," balasku.

"Enak banget jadi kamu, dateng-dateng langsung bisa menikmati kehidupan Pamuji, ibu yang berkorban biar dia jadi kaya gini! Jadi pantes kalau ibu yang lebih banyak menikmatinya."

"Dulu ibu juga hidup susah, kamu ini harusnya banyak prihatin biar besok anak kamu juga bisa nyenengin kamu, bukannya ngarep ke anak ibu," lanjutnya.

Ibu berbalik hendak pergi, dan tangannya bergerak menangkis bungkusan beras dan telur yang kuletakan di atas meja karena belum sempat membawanya ke belakang.

Mataku bergerak seiring dengan tanganku berusaha menangkap bungkusan itu. Tepat ketika pintu tertutup bungkusan itu pun jatuh menghantam lantai dan isinya berserakan, dan telurnya ... pecah.

"Ya Alloh!" pekikku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Ibu Sedang Menebus Dosa

    "Jangan-jangan ibu diguna-guna?" ucap Nurma menduga-duga.Mas Pamuji yang sedang kalut pun tersulut dengan praduga dari Nurma, padahal benda-benda di tangannya lebih mirip benda yang telah lama dirawat, mungkin saja benda itu milik ibu."Mas ... itu bukan benda buat guna-guna perasaan deh," ucapku berusaha mengoyahkan prasangka buruk Mas Pamuji pada siapapun."Kita coba aja, Kar, tanya ke Mbah Sanusi," tutur Mas Pamuji.Kami semua pergi ke rumah Mbah Sanusi, seseorang yang dituakan di kampung Mas Pamuji. Aku tidak tahu kalau Mbah Sanusi ternyata bisa mengetahui hal-hal gaib semacam ini.Mobil terparkir di halaman sebuah rumah yang sederhana, meskipun begitu suasana hangat dan sejuk menyatu menjadi satu di hunian yang nyaman. Terlihat sekali kalau Mbah Sanusi orang yang taat.Kami bertiga dipersilahkan masuk. Sambil menyesap rokok lintingannya Mbah Sanusi menanyai maksud kedatangan kami."Mbah udah denger tentang Susi, Ji," ucap Mbah Sanusi."Iya, Mbah guru, kalau kata dokter ibu depre

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Depresi Berat Dan Bungkusan Putih

    Setelah kepergian Rima, kami bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Kami bergegas menyelesaikan urusan rumah dan kembali ke rumah kami yang baru secepatnya.Sedikit ada rasa yang mengganjal ketika kuturuti keinginan Mas Pamuji yang tidak mau mampir ke rumah ibu. Sejujurnya aku senang, hanya saja aku takut salah. Ya sudah, toh itu ibu Mas Pamuji, dan yang tidak mau datang anaknya sendiri, aku tidak ikut campur.Seminggu kemudian, ponselku dan Mas Pamuji terus berdering. Panggilan dari ibu dan juga Nurma, keduanya menanyakan keberadaan Rima. Sesuai perjanjian kami diam dan pura-pura tidak tahu. Keluarga Irfan berkali-kali datang ke rumah ibu, mereka masih menganggap ibu dan Nurma yang menyembunyikan Rima.Karena jarak kami jauh, sehingga memudahkanku dan Mas Pamuji untuk berbohong, kami akhirnya sibuk dan lupa pada masalah Rima meski ibu dan Nurma masih sering menghubungi kami dan menceritakan betapa kacaunya keadaan mereka.Ibu ... andai saja ibu tahu kepedihan Rima, pasti ibu akan berpi

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Karma

    Aku bergantian mandi dengan Mas Pamuji, setelahnya kami pergi makan di luar berdua saja."Mas ... kamu nggak mau mampir ke rumah Ibu?" tanyaku pada Mas Pamuji."Nggak usahlah," jawab Mas Pamuji apatis."Kita kelarin aja urusan kita di sini, terus kita pulang," lanjut Mas Pamuji.Aku senang mendengarnya, tidak munafik bukan?"Ehm, seenggaknya mampir ke tempat Bude," ucapku lagi."Iya, nanti mampir," jawab Mas Pamuji.Kami membeli martabak dan buah-buahan untuk Bude Rum. Kali ini kami juga membelikan jajanan untuk cucu Bude Rum di mini market."Assalamualaikum," sapaku. Terdengar jawaban dari dalam rumah besar milik Bude."Waalaikumsalam, eh kamu, Kar? Apa kabar?" jawab Mbak Arum menyalamiku."Baik Mbak.""Kamu keliatan ganteng sekarang, Ji," ucap Mbak Arum menyalami Mas Pamuji."Ganteng dari dulu perasaan," jawab Mas Pamuji sambil terkekeh."Pakde mana?" tanya Mas Pamuji."Di dalam, cari aja," ucap Mbak Arum, Mas Pamuji pun masuk ke dalam."Mana Bagas sama Tika?" tanya Mbak Arum."Ngga

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Jalan Kesuksesan

    "Harusnya kamu juga bersikap baik ke aku, atau ... jangan-jangan mereka juga udah ngebuang kamu sama Dani pas kalian susah begini?" tuturku menyindir, muka Nurma merah padam, dadanya naik turun tidak terima dengan ucapanku."Sekar!" seru Nurma."Jadi benar?" tanyaku mengulang.Tangan Nurma melayang ke wajahku dengan cepat, aku tidak punya waktu untuk menangkisnya, tapi aku masih sempat untuk menghindar."Nur!" bentak Mas Pamuji.Tangan Nurma hanya menabrak udara kosong. Tampaknya aku telah memasuki ranah sensitif pada diri Nurma. Ibu hanya bisa diam, sudah terlanjur malu."Kamu marah, Nur?""Enggak salah?""Kamu pun memperlakukan aku kaya gitu, enggak sadar atau emang sengaja?" tanyaku menahan kesal."Jangan ikut campur masalahku, Kar! Kalau nggak mau bantu ya sudah," seru Nurma, emosinya meninggi, dia benar-benar tersinggung."Bagus kalo gitu, kamu juga nggak usah ikut campur lagi, ngeliat saudara punya kok langsung panas, aku bisa baik kalau kamu baik, aku cuma menyesuaikan diri sam

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Culas Dan Sombong

    "Rumahnya nggak usah dijual, kalo kamu mau pindah ke kampungnya Sekar yang di kaki gunung itu, ya pindah aja, kasian adekmu nggak punya rumah, kasih aja ke Nurma," ucap ibu.Inti kalimat yang sukses membuat mataku membelalak."Apa?!" seruku tidak percaya."Nggak bisa gitu dong, Bu," protes Mas Pamuji, penolakannya yang terlalu halus membuatku semakin kesal."Kasian sedikit lah sama aku, Mas, utang Mas Dani banyak, omongan tetangga semakin hari semakin nggak enak karena aku malah numpang di rumah ibu, aku juga sering berantem sama Mas Dani," lanjut Nurma mengiba."Ya nggak bisa, Nur, Mas udah cukup mbantu kamu dengan nggak minta pertanggung jawaban apapun ke kamu tentang mobil yang rusak, tentang skors yang harus Mas dapet dari perusahaan, tentang pemindahan bagian dan lainnya," jelas Mas Pamuji."Bahkan kejadian itu juga nambah alasan perusahaan buat ngeluarin Mas dari pekerjaan," lanjut Mas Pamuji."Sudahlah, Ji, itu udah berlalu, sesama saudara itu saling tolong menolong, siapa yang

  • Jatah Bulanan Ibu Mertuaku   Kok bisa?

    Aku mencoba memaafkan ibu meski dia tidak pernah meminta maaf, bukan karena aku baik, tapi karena aku harus sehat secara mental.Meskipun begitu adegan pelemparan uang di rumah bude masih belum bisa kulupakan. Aku tidak mengingatnya, aku justru berusaha keras melupakannya, tapi sulit rasanya, hampir di setiap mataku terpejam adegan itu kembali terbayang.Merasa terhina, rendah, dan dilecehkan. Aku tidak terima tapi tidak bisa melawan. Aku hanya bisa membayangkan jika aku bisa memutar kembali waktu, akan kutepis tangan ibu, atau paling tidak aku akan membela diri.Secara tidak sadar ucapan dan doa buruk ibu yang terus berulang telah mendoktrinku. Terekam di alam bawah sadar, membuat semua ucapan ibu seolah menjadi nyata.Aku sangat takut, cemas, dan insecure. Namun perlahan kucoba menggapai kembali kesadaranku, berkali-kali kuucapkan, ini bukan karma!Ini berkah, ini jawaban dari doa-doaku, ini jalan keluar dari masalah yang sudah membuatku muak, akhirnya aku bisa menjauh dari ibu, bah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status