Semoga suka dengan 3 bab hari ini, MyRe. Sehat selalu dan semangat yah …. Dukung terus novel kita dengan cara vote gems, hadiah, dan komentar manis. Papaiii ... IG:@deasta18
"Raymond, setelah kamu sadar, berjanjilah untuk menikahiku …. Hanya aku yang mencintaimu," ucap Siran kembali, sengaja untuk memanas-manasi Carmen. Carmen semakin membeku di tempat saat mendengar perkataan Siran tersebut. Hatinya terasa sakit dan hancur, Raymond rela kecelakaan hanya demi melindungi Siran dan Talita. Itu sudah membuktikan siapa sebenarnya yang diinginkan oleh Raymond. Mungkin sebenarnya Raymond masih mencintai Siran, akan tetapi karena Siran telah dilecehkan oleh ayahnya, Raymond tidak bisa menikahinya sehingga menjadikan Carmen sebagai pelampiasan. Semuanya semakin terasa jelas, mengingat jika Raymond dan ayahnya bertengkar. Mungkin penyebabnya adalah Siran. Dengan pundak melorot dan wajah lesu, Carmen beranjak dari sana. Teresia hanya mengikuti, tak bisa mengatakan apa-apa karena-- dia ikut sakit hati melihat Siran memeluk Raymond. Carmen adalah sahabatnya, hal seperti ini pasti sangat menyakiti Carmen. Saat akan masuk ke lift, Carmen bertemu dengan rombongan Le
Raymond membuka mata, segera mengambil posisi duduk karena langsung mengingat jika istrinya berniat kabur. "Ah, kau akhirnya bangun," ucap seseorang dengan nada rendah dan pelan. Raymond menoleh ke arah sumber suara, langsung berdecak ketika melihat siapa yang ada di ruangannya. Ayahnya! Hell! Raymond baru ingin jika dia kecelakaan–itu karena terlalu memikirkan istrinya yang dikabarkan kabur dari rumah. "Kau mau kemana, Ray?" Lennon langsung mendekat ke arah putrinya kemudian menahan Raymond yang berniat mencabut jarum infus dari tangan. Dia menekan pundak Raymond supaya tidak bangkit dari tempat tidur. "Ck, aku harus mencari Ura. Dia ingin kabur," ucap Raymond dengan nada kesal, akan tetapi terkesan lemas karena dia baru terbangun. Raymond sama sekali tak peduli pada kepalanya yang sakit, yang ada dipikirannya hanya Carmen. Perempuan itu tidak boleh kabur, Carmen harus selalu berada di sisinya. "Chestnut baru pergi dari sini." Raymond langsung mendongak pada ayahnya, c
"Baiklah." Lennon menganggukkan kepala pelan, "intinya kau tidak perlu khawatir mengenai nama baik Ayah. Perempuan itu lah yang menjebak Ayah, dan Ayah punya bukti kebusukan perempuan itu." Awalnya Raymond ingin membantah. Bukan ingin memihak pada Siran, akan tetapi ayahnya memang brengsek. Ayahnya tukang selingkuh dan seorang lady killer. Dia pria bejad! Namun, setelah ayahnya menjelaskan, Raymond akhirnya percaya pada ayahnya. Karena apa yang Lennon katakan, sangat masuk diakal. Berawal dari Siran tahu jika Harlen berkemungkinan tidak akan menjadi pewaris utama Abraham karena Harlen tak memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin. Selain itu, Harlen berselingkuh dengan sekretarisnya, sehingga sekalipun Harlen menjadi pewaris, Harlen bisa saja mencampakkan Siran. Akhirnya Siran berencana untuk menjebak Raymond. Namun, karena saat itu Raymond masih lumpuh, Siran enggan tidur dengan pria lumpuh lalu berakhir menjadi istrinya. Akhirnya dia memutuskan menjebak Lennon. Jika d
"Tadi itu siapa, Kal?" tanya Teresia, di mana saat ini dia dan Carmen sedang menikmati jajanan pinggir jalan–mereka duduk di tempat yang disediakan oleh pedagang. Angin malam berhembus, menambah rasa dingin yang menyapa kulit keduanya. Akan tetapi, itu membuat mereka semakin semangat mengunyah makanan. Rasa dingin membuat tubuh membakar lebih banyak energi untuk menghasilkan panas. Sehingga perut mudah lapar. "Itu Ayah mertuaku," jawab Carmen singkat, tersenyum di akhir kalimat. "Kalian terlihat akrab yah," ujar Teresia, mendapat anggukkan kepala dari Carmen. "Oh iya, kamu nggak apa-apa kan? Kamu …-" Teresia berhenti makan, memperhatikan ekspresi Carmen dengan teliti. Wajah Carmen memang terlihat ceria, akan tetapi tatapan perempuan ini sendu dan sayu–menandakan jika Carmen sedang menyembunyikan kesedihannya. Teresia yakin sekali Carmen sakit hati, akan tetapi dia memilih menyembunyikannya karena tak ingin sedihnya mempengaruhi orang di sekitarnya. Carmen menoleh ke arah Tere
"Carmen!" teriak Gerry marah, nadanya menggelegar dan penuh kemarahan. Dia sangat geram karena Carmen sulit ditangkap, perempuan itu lincah dan gesit. Carmen tak menoleh, dia juga tak menyahut pada Gerry yang meneriaki namanya. Carmen hanya fokus berlari. Dia tidak boleh tertangkap oleh Gerry, pria itu bukan hanya akan menikahinya tetapi juga akan membawa Carmen kembali ke kota itu. "Kal, kenapa kamu bisa berurusan dengan Tuan Gerry?" tanya Tersia, berlari sekuat tenaga bersama Carmen. "Aku dijual Tiara ke dia," jawab Caen cepat, menarik Teresia untuk berlari ke arah sebuah gang. Jalan itu lebih dekat ke arah rumahnya. Carmen hapal sebuah jalan menuju rumah suaminya–Raymond. Dia berniat membawa Teresia untuk bersembunyi di rumah itu karena ada banyak pengawal di sana! Yah, pengawal Raymond pasti akan melindunginya dan Teresia di sana. Namun, untuk menuju rumah itu, mereka harus melewati jalan yang sepi karena lokasi rumah Raymond memang jauh dari keramaian. Sebelumnya mer
Cincin ini pantas disingkirkan! Hanya cincin darinya yang boleh menghiasi jari manis Carmen. Setelah dia menikahi gadis ini, maka cincin darinya lah yang akan melingkar di jari manis Carmen–calon istri yang telah ia beli dari ibu tiri perempuan ini. "Cincinku!" pekik Carmen dengan mata yang sudah memerah dan berair, menatap sedih ke arah Gerry melempar cincinnya. Entah kenapa hatinya terasa sangat sakit saat Gerry mencopot cincin tersebut dari jari manisnya. Lalu ketika Gerry melempar cincin itu, rasa sakit serta kesedihan itu semakin terasa nyata. "Hahahaha … Sayang, kau menangisi cincin jelak dari suamimu yang lumpuh itu? Cih, untuk apa kau menangisi pria lumpuh, Heh?!" ucap Gerry dengan nada mengejek. Dia sudah tahu Carmen menikah karena Tiara yang memberitahu. Tiara memberi tahu jika Carmen menikah dengan pria cacat yang hanya bisa duduk di kursi roda, dan pria itu telah meninggalkan Carmen semenjak awal pernikahan. Carmen yang bodoh karena terus menunggu suaminya pulang,
Raymond mencium daun telinga Carmen lalu beralih mencium kening istrinya, dia sengaja melakukan itu supaya Carmen lebih tenang. "Beraninya kau menyentuh calon istriku, Bajingan!" marah Gerry, langsung mengeluarkan pisau dari balik jas kemudian berlari ke arah pria yang memeluk Carmen, berniat melukai pria itu. Dia marah karena pria sok jagoan itu mencium Carmen di dalamnya. Cih! Dia akan membunuh pria itu, dan akan melenyapkannya di depan Carmen supaya Carmen tahu bahwa dia seorang yang berkuasa serta mengerikan! Dengan begitu, Carmen akan tunduk dan patuh padanya. Ah yah, pria itu sepertinya tidak dalam kondisi baik, kepalanya diperban dan begitu juga dengan telapak tangannya. Gerry yakin sekali bisa melenyapkan pria ini dengan mudah. Terlebih dia hanya sendiri. "Pulanglah lebih dulu," bisik Raymond pelan pada istrinya, setelah itu melepas Carmen dari pelukannya–bersamaan saat dia menangkap pisau yang ingin Gerry tikam ke arah wajahnya. Tubuh Carmen membeku, menatap tangan s
Carmen semakin ketakutan dan khawatir. Dia mulai berkeringat dingin, jantungnya berdebar lebih kencang dari yang sebelumnya dan tubuhnya gemetar hebat. "Ma-Mas Kaizer …," gumamnya pelan. Perasaan Carmen mulai kacau, matanya terasa panas dan pada akhirnya bulir kristal berhasil jatuh dari pelupuk. Dia sangat khawatir pada kondisi Raymond! Suara tembakan itu …- Ti-tidak! Tidak mungkin! Suaminya pasti baik-baik saja. Mu-mungkin tadi bukan suara tembakan, tetapi suara ban meledak a-atau petasan. Carmen berusaha positif thinking. Dia berdiri lalu berjalan cepat tetapi dengan lutut gemetar–sehingga beberapa kali hampir terjatuh, dia berusaha ke tempat tadi untuk menemui suaminya. Di sisi lain, wajah seorang pria memucat. Bodyguardnya tersisa sedikit dan pria mengerikan ini berdiri tepat di depannya, menodong senjata tepat ke kepalanya yang berlutut di tanah–menghadap iblis berwujudkan manusia ini. Wajahnya bagai malaikat, tampan dan penuh pesona. Namun, lihatlah apa yang pria i
Belum memulai dan dia sudah kalah. Sedangkan Tita, dia menganga lebar karena syok mendengar perkataan Jonny tadi. Damian meraih kotak di tangan Tita lalu asal meletakkannya di rak. "Ayo," ucap Damian, menarik Tita supaya pergi dari sana. Tita sendiri masih syok, cukup malu dan masih tak paham kenapa Jonny bisa mengatakan hal seperti tadi. Sekarang Tita jadi semakin takut dengan pria di sebelahnya ini. Jangan cuma mau enaknya saja.' Astaga, ucapan Jonny tadi-- kenapa terasa sangat mengerikan bagi Tita? Yang membuatnya semakin mending adalah Jonny menyuruh Damian menikahinya. Gila! "Kak Damian tidak perlu mengindahkan ucapan temanku tadi. Sepertinya dia sedang ada masalah," ucap Tita gugup. Di mana saat ini dia dan Damian sudah di depan mini market, menunggu Sbastian menjemput. Sebetulnya Tita masih gugup dan canggung karna perkataan Jonny tadi. Tapi, karena jajannya dibayar oleh Damian, Tita memberanikan diri untuk bersuara. "Humm." Damian berdehem singkat. "Sebenarnya
Tita malah duduk di sana–bersebelahan dengan Damian. "Ck, kenapa kau duduk di belakang, Dek? Sini, pindah ke depan," ucap Sbastian, menoleh sambil melayangkan tatapan penuh peringatan pada Tita. Tita menganggukkan kepala lalu pindah ke depan. Mobil berjalan dan Tita tak banyak bicara karena canggung pada Damian. Sebetulnya Tita tipe yang banyak bicara dan berisik, tetapi dia pilih-pilih orang untuk memperlihatkan sifat tersebut. Contohnya pada Damian, sepertinya itu tak cocok karena Damian tipe yang pendiam dan tak banyak bicara. "Loh, kenapa kita ke sini, Kak?" Tita memprotes, mengerutkan kening lalu melayangkan tatapan tajam pada kakaknya. "Daripada kau bekerja di perusahaan orang lain, lebih baik kau bekerja di perusahaan Kak Damian," ucap Sbastian. Dia segera turun kemudian membukakan pintu untuk Damian. Tita buru-buru turun kemudian mengikuti kakaknya. "Kak, tapi aku bukan anak tata boga, manajemen ataupun ekonomi. Aku agribisnis," ucap Tita dengan setengah berbisik pada
Setelah makan malam bersama, keluarga Diego masih belum pulang. Sekarang mereka berkumpul di ruang tengah untuk membahas pernikahan Damian dan Olive lebih serius. "Sudah kukatakan aku tidak ingin menikah," dingin Damian, melayangkan tatapan kesal bercampur marah pada setiap orang di sana. Dia sangat tak suka dipaksa, terlebih tentang pernikahan. Carmen memperhatikan putranya secara lekat, keningnya mengerut dan matanya sedikit memicing. Sebelumya dia bertanya pada putranya dan Damian sudah bersedia. Lalu kenapa sekarang Damian menolak keras? Bahkan putranya terlihat sangat marah. "Tak apa-apa jika Tuan muda tak mau, dan kuharap kita semua tak memaksa Tuan muda," ucap Diego, tak masalah jika Damian menolak menikah dengan Olive. Tentu! Putri konglomerat saja Damian tolak, apalagi hanya putri angkat dari seorang kepercayaan sepertinya. "Damian tidak bisa menolak. Mau tak mau Damian menikah dengan Olive. Minggu depan kalian akan bertunangan," putus Lennon, memaksa agar Damian
Bagaimanapun Olive putri dari pengasuhnya, rasanya tak pantas dijadikan istri untuk Damian yang seorang tuan muda. Namun, Diego kurang enak mengatakan hal itu. Jadi lebih baik Raymond dan Lennon yang mengambil keputusan. "Nanti malam, datanglah ke rumah. Ajak putri mengasuh mu," ucap Lennon tiba-tiba, "tidak penting dari kalangan apa perempuan itu, yang terpenting cucuku terlihat normal," lanjutnya. Raymond tak menanggapi, tetapi dia memijat kepala–tanda semakin pusing dan tertekan. *** "Ayah ingin menjodohkan mu dengan putri Paman Diego loh, Nak," ucap Carmen, di mana saat ini dia sedang memasak dan dia dibantu oleh putranya. Di depannya dan suaminya, Damian adalah anak yang baik, penyayang, dan penurut. Namun, kata orang putranya jahat dan sebelas dua belas dengan Raymond--ayah putranya. Tapi lihatlah! Putranya saja mau membantunya memasak, jadi mana mungkin yang orang-orang katakan tentang putranya itu benar. Sebelas dua belas dengan suaminya yang kadang seperti seta
Tita seketika berhenti minum kopi tersebut, segera mengembalikan cangkir ke tempat semula. "I-iya kah? Tapi orangnya tidak ada." "Kak Damian ke toilet," jawab Sbastian, mendengus sambil menatap tak habis pikir pada adiknya, "ganti sana kopinya. Cepat!" "Ah, Kak, suruh maid saja. Aku malas," ucap Tita, bersamaan dengan Damian yang kembali ke ruangan itu. Damian masih malas pulang ke rumahnya, dan dia memilih bertahan di rumah Sbastian. Damian menoleh sejenak pada Tita. Perempuan ini sudah mengganti pakaian dan … apa dia tidak istirahat? Tidakkah dia kelelahan setelah mengikuti acara wisuda yang panjang? Damian meraih cangkir kopinya lalu berniat meminumnya. "Jangan, Damian. Tita sudah meminumnya," ucap Sbastian cepat, sedikit panik saat Damian akan menyeruput kopi dari bekas cangkir Tita. Bukan apa-apa. Hanya saja Damian sangat anti perempuan, sedangkan gelas itu telah dinodai oleh bibir adiknya yang bandel. Sedangkan Tita, dia segera bangkit dari sofa lalu berlari
Kak Sbastian. Tolongin aku …," pinta Tita, setengah berteriak karena panik Damian mendekat ke arahnya dan malu karena dia lagi-lagi terjatuh. Untungnya tak lama kakaknya datang, di mana Sbastian langsung berlari ke arahnya dan membantunya bangun. "Astaga, Dek, kau kenapa?" ucap Sbastian, sejujurnya syok melihat adiknya berbaring di lantai. Sbastian menoleh ke arah Damian. Meski rasanya Damian tak mungkin macam-macam pada adiknya tetap saja Sbastian menatap curiga pada bos sekaligus sahabatnya tersebut. "Damian, kau tidak macam-macam kan?" Sbastian bertanya sambil memicingkan mata. "Menurutmu, ada kemungkinan aku macam-macam pada anak ingusan itu?" ucap Damian balik, menatap datar ke arah Tita. Perempuan itu terlihat malu, tampang mukanya seperti hamster! Jelek! "Ah, benar juga." Sbastian menganggukkan kepala pelan, kemudian menoleh pada adiknya, "jadi kau kenapa?" "Jatuh," jawab Tita, sudah berhenti menangis. "Aku ingin melepas heels ku, Kak," lanjutnya. Sbastian
"Aku berjuang sampai di titik ini, itu atas nama Mama. Tapi kenapa namanya yang disebut sebagai ibuku? Aku cape, Kak, skripsian, hampir gila untuk mendapatkan tandatangan dosen. Pontang panting bimbingan, ke sana kemari demi ketemu dosen. Aku beberapa kali pengen mundur, tapi mengingat Mama berjuang untuk kehidupanku, aku memilih tetap bertahan. Aku sudah membayangkan bagaimana rasa senangnya saat nama Mama disebut ketika acara wisuda tadi. Tapi kenapa malah namanya yang disebut, Kak? Aku tidak isi namanya saat pendaftaran wisudah padahal, aku isinya nama Mama. Pasti Ayah yang menukar kan?! Kalau tahu gini, mending kalian nggak usah ingat aku sekalian. Soalnya sekalinya ingat, nyakitin tahu nggak!" marahnya sambil menangis, tak peduli lagi dengan teman kakaknya. "Tak boleh seperti itu. Bagaimanapun dia yang mengasuh kita, dia sudah seperti ibu kita." Sbastian berusaha membujuk. "Ya kalau dia baik padaku. Ini enggak kan? Dia baiknya saat di depan Ayah dan Kakak doang. Kalau padaku
"Dia yang wisuda?" tanya Damian sambil melirik ke arah Olive. Saat ini mereka sudah berada di kampus tempat adik Sbastian kuliah. Tempat ini sangat ramai dan sebenarnya Damian kurang nyaman. Namun, tempat ini jauh lebih baik dari pada rumahnya. Di rumahnya ada kakek dan ayahnya yang terus-terusan memaksa dia menikah. Memangnya kenapa jika dia tidak menikah? Usianya baru 32 tahun dan di jaman sekarang usia tersebut masih tergolong muda. "Bukan, Damien." Sbastian hampir tertawa karena salah mengira. Bukan Olive yang wisuda, melainkan adik kandungnya. "Hahaha … kau ini. Tidak mungkin dia bersama kita jika dia yang wisuda." Damian menganggukkan kepala pelan, kembali melirik ke arah Olive yang terlihat berpenampilan cantik. Maksud Damian, seperti wanita ini yang wisuda. Wanita ini cukup heboh, mengenakan kebaya, make up yang cukup tebal dan aksesoris untuk melengkapi. Karena penampilannya yang begitu, Damian mengira kalau Olive yang wisuda. "Ayah dan Ibu pengasuh sudah di atas
(✿--Musim baru--✿) "Sekarang usiamu sudah 32 dua tahun, Nak, dan Kakek belum pernah melihatmu dekat dengan wanita. Kakek khawatir kau menyimpang, dan … harus dengan tegas Kakek memaksamu untuk secepatnya menikah," ucap Lennon dengan suara pelan dan lembut, akan tetapi menatap penuh peringatan pada sosok pria tampan yang duduk di hadapannya. Pria itu adalah Damian Asher Abraham, putra kesayangan Raymond Kaizer Abraham dan Carmen Gaura Abraham. Damian memiliki rupa yang sangat tampan, tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Dia sangat mempesona dan berkarisma. Semua perempuan yang pernah melihatnya, tergila-gila padanya. Hanya saja, Damian tak demikian. Bisa dikatakan Damian kehilangan rasa ketertarikan pada lawan jenis, anti romantis, anti hubungan asmara dan percintaan juga. Dia juga tidak memiliki gairah pada perempuan, dia bermasalah! Sebelumya, Damian pernah berpacaran. Dia sangat mencintai kekasihnya. Mereka berpacaran sejak hight school, hubungan mereka damai dan jarang ada