Elise terduduk di tepi ranjang kamar tamu. Setelah perdebatannya dengan Theo tadi di ruang tamu, ia memutuskan untuk kembali tidur di sana. Sementara Theo, ia langsung meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun.Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam. Hingga saat ini ia tak melihat tanda-tanda bahwa Theo pulang ke rumah. Ke mana dia? Apa dia baik-baik saja? Elise merasa khawatir dalam hati. Tiba-tiba ia teringat sesuatu yang disimpannya di dalam laci nakas saat masih tidur di sana. Ia beringsut mendekat ke arah laci, lalu membukanya.Sebuah amplop coklat berisikan lembaran foto Theo bersama seorang wanita. Tak hanya di e-mail, ia juga mendapatkan foto cetak yang dikirim ke klinik. Entah siapa yang mengiriminya. Saat menanyakannya pada Amy, gadis itu juga kebingungan. Amy sudah bertanya kepada si kurir, tapi hasilnya nihil. Si kurir hanya diminta untuk mengantarkan amplop itu ke klinik.Elise menahan nafas melihat setiap lembaran foto itu. Tak satu pun dari foto-foto terseb
Rahangnya mengeras saat membaca kalimat teratas yang tertera di kertas itu. Surat perceraian. Ditambah lagi ucapan Elise di waktu bersamaan, membuat Theo nyaris kehilangan kendali atas dirinya. Nafasnya menderu cepat. Ia tak menyangka jika hal semacam ini yang akan menyambutnya saat pulang."Aku ingin bercerai darimu." ujar Elise datar. Tatapannya kosong.Theo setengah mendengus setengah tergelak. "Apa katamu? Bercerai?"Elise menganggukkan kepalanya pelan, tanpa sedikit pun membalas tatapan Theo.Detik itu juga, tanpa pikir panjang, Theo langsung merobek kertas tersebut. Elise yang melihat hal itu langsung tersentak dan menatapnya tak percaya."Tidak ada kata perceraian di antara kita." gumam Theo dengan nada rendah, namun penuh penekanan."Apa yang kau lakukan? Kenapa kau merobeknya?""Apa ucapanku barusan tak cukup jelas?" Theo melangkah mendekati istrinya yang tampak ketakutan, seperti melihat monster yang hendak menerkamnya.Elise spontan melangkah mundur. Langkah demi langkah, a
"Sebaiknya dia dipisahkan dulu dari saudaranya yang lain, supaya proses penyembuhan lukanya lebih maksimal." kata Elise pada wanita si pemilik kucing Persia yang sejak tadi tampak cemas melihat kondisi salah satu kucing kesayangannya yang sempat terluka, namun tidak parah.Wanita itu mengangguk paham. "Baik, dok. Terima kasih banyak."Elise tersenyum sekaligus melambaikan tangan ke arah si kucing yang sejak tadi menatapnya dengan tenang. Setelah mereka meninggalkan ruangan, Elise akhirnya bisa duduk kembali di bangkunya. Ia meneguk segelas air di atas meja sebelum menyandarkan tubuh di sandaran kursi.Sejak hamil, ia merasa jadi lebih mudah lelah. Tapi untung saja sejauh ini ia belum pernah merasa mual saat sedang menangani pasien. Jika sampai itu terjadi, kehamilannya pasti akan diketahui oleh Nathan dan Amy. Hingga saat ini, Elise masih memilih untuk merahasiakannya dari mereka. Tidak ada yang tahu soal kehamilannya, selain dirinya dan dokter Moris.Suara ketukan pintu membuyarkan l
"Sudah dua minggu ini Theo tidak menjawab teleponku."Kelly Dempsey berpura-pura menunjukkan raut prihatin saat mendengar keluhan Jessica Blake. "Dia pasti sangat marah karena Anda bersikap kasar pada Elise."Jessica menyeruput teh hangatnya dengan sebal. "Aku ibunya. Seharusnya dia lebih menuruti perkataan ibunya, bukannya wanita itu!" gerutunya.Suasana kafe pagi itu belum terlalu ramai. Ruangan luas bernuansa klasik itu sering menjadi tempat pertemuan para konglomerat kota. Entah itu untuk membicarakan bisnis atau sekadar duduk-duduk menikmati pagi yang cerah. Aroma kopi yang semerbak membuat tempat itu terasa nyaman. Awalnya Kelly berniat mengajak Jessica untuk bertemu demi menarik perhatian dan mendapatkan hatinya. Tapi siapa sangka ternyata pagi itu ia justru mendapat telepon dari Jessica yang mengajaknya untuk bertemu di sana."Aku tidak yakin jika Theo akan datang kemari." ujar Jessica lagi sambil menyesap tehnya."Dia pasti datang. Percayalah padaku." sahut Kelly menenangkan
"... Nyonya,"Suara Bibi Bernadeth yang semula terdengar sayup, kini terdengar jelas di telinga Elise. Wanita itu membuka mata dan mendapati Bibi Bernadeth sedang berdiri di hadapannya, menatapnya cemas.Elise lekas menegakkan badan dan seketika ia teringat bahwa saat itu ia berada di ruang tengah, terbaring di atas sofa yang cukup empuk dengan balutan selimut.Tunggu. Selimut?Elise menatap benda itu sejenak dengan heran. Rasanya ia tidak membawa keluar selimut saat terakhir kali meninggalkan kamar. Siapa yang menutupi tubuhnya dengan selimut?Pikirannya buyar ketika mendengar suara Bibi Bernadeth yang berbicara padanya. "Nyonya, apa Anda baik-baik saja? Kenapa Anda tidur di sini?""O-oh, ini..." Elise mendadak gagap. Tapi ia segera menemukan jawaban yang masuk akal, setidaknya untuk Bibi Bernadeth. "Kemarin malam aku terbangun dan sulit tidur kembali. Jadi aku keluar kamar untuk duduk sebentar. Tapi ternyata aku ketiduran." sahutnya dengan seulas senyum kecil.Bibi Bernadeth mengang
Langit di luar sana masih gelap ketika Elise terjaga dari tidurnya. Ia membuka kedua matanya yang berat saat merasakan sesuatu yang berat mendorong keluar di bawah sana.Ya, ia harus segera buang air besar."Kenapa harus di waktu seperti ini?" gerutunya pelan. Dengan malas Elise terpaksa menegakkan tubuh dan turun dari tempat tidur. Ia berjalan tertatih dengan langkah diseret menuju kamar mandi yang untungnya ada di dalam kamar.Elise mendorong pelan pintu kamar mandi yang tak terkunci. Ia terpaksa membuka mata ketika menyadari lampu kamar mandi yang sudah menyala. Dan tepat ketika ia membuka mata, sosok pria bertubuh kekar tanpa busana di tengah ruangan membuatnya kaget. Detik itu juga kesadarannya langsung penuh. Matanya melebar dan seketika ia langsung melangkah mundur, membiarkan pintu di hadapannya tertutup dengan sendirinya."Astaga!" bisiknya terkejut. Jantungnya berdegup kencang, nyaris meloncat keluar. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Apa yang