Share

04 Makan Malam

Aku keluar dari kamar dengan sedikit panik. Bagaimana tidak, sebelum jam 7 malam sudah dijemput. Salah juga aku yang tak mengecek kotak pipih berlabel smartphone itu. Alia ceroboh. Aku tak tau apakah penampilanku rapi ataupun tidak, sekiranya rapi terakhir mengeceknya di depan cermin sebelum keluar. Huft.

“Akhirnya tuan putri selesai dandannya,” ejek kak Tama setelah melihatku sekilas “ayo berangkat,” ajaknya menarik Chandra keluar dari rumah.

Raffa?

Dia berdiri ditempatnya, jadi patung. Patung yang sangat tampan dengan pakaian yang lebih santai. Seperti patung manequin  di mall, yang tingginya tidak realistis. Aku jadi penasaran berapa sebenarnya tinggi si Pak Raffa ini. Dia terus memandangiku, apa ada yang salah? Apa hijabku berantakan? Apa aku terlihat sangat jelek?

Ya Tuhan, Alia!

“Pak Raffa, kita jadi berangkat?” tanyaku mencoba menyadarkannya.

Raffa terlihat terkejut ditempatnya, sungguh ingin aku tertawa tapi kuurungkan. “Ah iya, ayo ke mobil,” ajaknya dengan segala tingkah anehnya.

Kami keluar terakhir dan aku memastikan bahwa rumah terkunci dengan benar. Kak Tama sudah berada di dalam mobil bersama Chandra, berbincang  dengan tawa sesekali terlihat. Raffa membukakan pintu mobil, mempersilahkan aku masuk duluan. Tunggu, kenapa posisinya begini? Aku dibelakang bersama Raffa? Terrible.

“Ai, Raffa dan Chandra ini lebih tua dari kakak loh,” celoteh kak Tama sesaat aku baru masuk mobil.

“Benarkah?” timpalku seadanya.

“Ya, kami pikir seumuran,” ujar Chandra membenarkan.

Aku tertawa puas “Kak Tama boros wajahnya,” ejekku.

“Alia lucu ya kalau sedang tertawa,” suara berat dari sebelahku menggema.

Sial! Pasti merah. Aku memalingkan wajahku ke samping, berpura-pura melihat ke arah jalan. Kenapa harus terjebak dalam posisi seperti ini?

“Malu tuh, diem kan,” ejek kak Tama dari depan.

Terkutuklah Sohbi!

.

.

Mereka membawa kami menuju sebuah tempat makanan yang terkenal dengan seafood –nya di kota. Pantas saja sepanjang perjalanan tadi mereka membahas tentang alergi. Kami berdua pemakan segala, tidak ada pantangan apalagi kak Tama.

Pelayan disana sangat ramah dan langsung menunjukkan tempat yang nyaman untuk makan disana. Sudah reservasi rupanya, tipikal dompet tebal.

“Kami sudah memesan menu spesial, ada tambahan?” tanya Chandra mengecek kembali menu makanan disana.

“Tidak,”  jawabku cepat sebelum kak Tama buka suara. Dia sadar tanda dariku jadi ekspresi menyebalkan itu agak menunduk. Maaf kak Tama.

“Alia pernah makan disini?” tanya Raffa acak.

“Sekali, saat baru buka tapi siang hari,”  jawabku sesingkat mungkin.

“Masa?” nada yang menyebalkan dari kak Tama “Padahal pemandangannya bagus malam bukan?”

“Benar, lampu-lampu yang dipakai cantik. Bagusnya membawa pasangan kesini, jadi kangen istri,” sergah Chandra melirik kami berdua yang tak sengaja duduk berhadapan.

Apa maksudnya coba?

“Chandra sudah menikah?” tanya Kak Tama sedikit terkejut. Chandra mengangguk sebagai jawaban. Setekah itu Chandra membisikkan sesuatu ke kak Tama, nada pelan yang masih cukup terdenga olehku. ‘Kita sebagai pelengkap ya.’ Dua orang yang menyebalkan bersatu.

Aku melirik Raffa sejenak, dia tersenyum simpul dan itu sangat tampan. Cukup Alia! Nikmat Tuhan disaat yang tidak tepat. “Memangnya bapak-bapak ini belum pernah kesini?” tanyaku mengalihkan topik.

“Belum—

“Kami bukan asli sini Alia,” sela Chandra cepat.

“Abang-abang ini asli mana?” kali ini Kak Tama gerak cepat, lebih cepat dari kecepatan cahaya.

“Jakarta,” jawab Chandra “Kami hanya tugas sementara disini.”

“Bagaimana selama tinggal di kota Jambi ini?” tanyaku mencoba mengulik tanggapan orang luar daerah. Jujur saja, aku jarang keluar pulau sumatera. Hanya beberapa kali saat berkunjung ke tempat kakek dan nenek atau waktu kak Tama masih di pesantren.

Chandra sejenak terlihat berpikir “Awalnya kupikir beda tipis dengan Jakarta karena panas, tapi disini lebih santai.”

“Karena disini kota kecil,” timpal kak Tama “Bagaimana dengan Raffa?”

“Hm.. tadinya aku malas kesini tapi aku menemukan sesuatu yang menarik,” jawab Raffa menatap lurus padaku, akunya jadi salah tingkah. Buaya, mulutnya manis sekali.

“Ekhm,” deham Chandra dan Kak Tama berbarengan membuat kami tertawa bersama.

“Alia,” panggil Raffa ditengah para pelayan yang menyajikan makanan “Bisakah tidak memanggilku bapak mulai sekarang?” pintanya setengah berbisik tak ingin kedua orang lainnya tau. Tapi mana mungkin, jelas saja terlihat telinga mereka yang mendekat ke arah kami.

Aku sedikit terkejut dengan permintaannya, sulit rasanya tapi akan kucoba. Dia sudah berusaha untuk tampil dengan lebih santai dan memperpendek jarak diantara kami. “Oke kak Raffa,” jawabku acuh mulai menyantap makanan yang tersaji. Raffa tersenyum dan itu menambah kadar ketampanannya. Tuhan, rasanya aku tidak sanggup.

.

.

“Terimakasih atas ajakan makan malamnya,” ungkap Kak Tama tepat makanan selesai disantap.

“Tidak masalah, lagipula ini sebagai bentuk penyesalan kami dengan kejadian tempo hari,” balas Raffa mengingatkan tujuan dari makan malam hari ini.

Kak Tama menunjukkan lengan dimana dia terluka tempo hari “Ini bahkan sudah mulai sembuh, terimakasih sudah bertanggung jawab sepenuhnya. Terimakasih juga perhatianya terhadap adik saya Alia,” singgungnya terhadap hadiah yang tempo hari diberikan padaku.

“Ah itu Bos-eh maksudnya Raffa yang berinisiatif untuk meghibur Alia. Dia terlihat panik saat di rumahsakit,” terang Chandra membantu Raffa yang terlihat sedikit terkejut.

Menghibur? Untung saja aku tidak mengambil kesimpulan dengan tergesa. Alia pintar. “Terimakasih,” timpalku menyenangkan mereka berdua.

“Terimakasihnya boleh dalam bentuk lain tidak Alia?” kali ini Raffa yang bersuara.

“Bentuk lain?” tanyaku sedikit heran dengan pertanyaan Raffa.

Raffa menatap kak Tama dengan serius “Tama, bolehkah aku menculik adikmu satu hari?” lanjutnya tanpa menghiraukan kebingungan dariku.

Tunggu, kenapa memintanya ke kak Tama? Bukannya tadi ditujukan padaku? Apalagi ini menculik? Langkah yang aneh dan menyebalkan.

Kak Tama melihat ke arahku dan Raffa bergantian “Menculik?” ulangnya menyakinkan diri kata yang didengar olehnya.

“Aku ingin bersamanya satu hari saja dan menyampaikan sesuatu hal yang penting,” jawabnya tersenyum dengan bangga.

Apa-apaan senyuman itu?

Hanya aku dan Chandra yang memperhatikan percakapan serius mereka berdua. Aku yang bingung tak mengerti dan Chandra yang tersenyum penuh arti. Rumit. Sulit bagiku untuk mengartikannya.

Kak Tama mengangguk pelan “Jika anda berjanji untuk mengembalikannya dengan utuh. Itu bukan masalah,” ujarnya dengan sedikit tawa ringan.

“Yes!”

Percakapan macam ini, aku masih disini dan mereka seakan saling merayakan keberhasilan yang aneh. Sungguh terkadang bahasan para pria juga tak kalah rumit dari wanita.

“Alia congrats,” bisik Chandra.

“Huh?”

Tolong kasih tau, ini apa yang sedang terjadi.

Kak Tama memegang pundakku “Ai, kakak kasih restu jadi pikirkan baik-baik.”

Tuhan, drama apalagi ini?

.

.

“Kak Tama, soal makan malam tadi itu maksudnya?” tanyaku sesampainya di rumah. Tidak ada Raffa maupun Chandra.

Kak Tama tersenyum menyebalkan seperti biasa “Nanti, pikir baik-baik ya jangan gegabah ambil keputusan.”

“Kak, Ai itu gak ngerti,” rengekku.

“Tunggu ajalah Bang Raffa menghubungimu lagi.” ujarnya sebelum melesat menuju kamar.

Aku semakin tidak paham, ya Tuhan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status