Share

06 Hujan atau Angin

Angin bertiup selalu menandakan akan turunnya hujan, musim penghujan sudah mulai sejak bulan lalu. Oktober, tepat setahun yang lalu aku bertemu dengannya, Raffa. Laki-laki yang membuatku tertarik dalam sekejap dan menghilang begitu saja, ternyata dia hanya angin lewat. Setelah kejadian tertangkap basah Pak Chandra, tidak ada lagi kabar darinya. Bahkan pesan yang hampir satu semester lalu aku kirimkan. Jangankan dibalas, dibaca pun belum pesan itu. Kesal, sangat kesal!Jika aku bisa bertemu dengannya aku ingin meluapkannya. Tidak perduli dengan perbedaan usia dan tata krama terhadap yang lebih tua, aku akan memarahinya.

“Aila!”

Panggilan menyebalkan, kenapa di bulan-bulan terakhir koas-ku dia datang bergabung bersama kami. Namanya Dimas, laki-laki berjas putih yang sedang berjalan kearahku dengan melambai-lambaikan tangannya. Laki-laki yang selalu menimbulkan kesalahpahaman sejak bangku menengah atas.

“Baby, kita makan siang di kantin yuk,” ajaknya dengan merangkul sembarangan. Aku tau dia tinggi dan selalu mengejekku pendek tapi tidak seperti ini juga.

Aku melepaskan rangkulan sembarangan milik Dimas “Bukan mahram sudah kukatakan bukan?" protesku dengan nada marah.

Dimas hanya tersenyum “Sudah kukatakan juga bukan? Kau sangat pas,” ulangnya merangkul diriku. Aku menginjak kakinya sebagai bentuk protes, makhluk sejenis Dimas itu harus diberi peringatan dengan tingkah laku agar sadar.

“Sakit Ai, makan dimana kita?”

“Kantin depan yang terbaik,” saran Kayla yang baru datang diantara kami berdua.

Save, Kayla selalu menjadi yang terbaik saat aku ingin melarikan diri dari Dimas. “Tidak sibuk? Bukannya kali ini kau berada pada stase yang paling sibuk?” tanyaku kepada Kayla.

“Manusia butuh makan Ai, bukankah begitu Dim?” elak Kayla

“Benar.”

Aku menggeleng pelan melihat mereka ber-tos-ria, pasangan serasi yang tak pernah ada kesempatan. “Kalian ini, ayolah kita makan.”

Go go!” seru Kayla penuh semangat dan menggandeng tanganku.

Kami berjalan menuju kantin depan dengan saling melempar candaan ringan, entah itu Kayla yang memulai ataupun Dimas. Dimas bergabung itu kesalahpahaman bagiku tapi sebagiannya dia adalah moodboster. Setidaknya aku bisa melupakan kejadian pak Raffa tempo hari.

Ponsel milik Kayla berdering “Halo, iya Dok.”

Hanya kata yang sederhana untuk menjawab telepon tapi kami mengerti bahwa Kayla harus menghentikan langkahnya dan berbalik. Sudah kukatakan pergiliran kali ini Kayla berada di tempat yang paling sibuk.

“Lanjut?” tanya Dimas.

“Tentu, waktu istirahatku masih ada,” jawabku santai lagipula memang aku membutuhkan asupan makanan siang ini.

Dimas mengecek ponselnya, sepertinya ada pesan penting yang masuk. Ekspresi di wajahnya mengatakan semuanya.

“Situasi penting?” tanyaku memastikan.

Dimas menatapku dengan lembut seperti biasa “Iya, kau pasti tau bukan?”

“Aku tau, sampai jumpa nanti,” ujarku mempersilahkannya pergi.

“Maaf, aku yang mengajak jadi aku yang membatalkannya Ai,” pamitnya dengan sangat menyebalkan. Seolah aku benar-benar ada hubungan spesial dengan makhluk satu itu.

Aku mendorong badannya pelan “Pergi sana!” usirku. Dia pergi dengan sedikit kedipan mata yang usil, menyebalkan. Ponselku sedikit bergetar, pesan masuk. Aku mengambil ponsel dari kantong jas takut jika itu pesan penting seperti yang Dimas dapatkan.

Pak Raffa

Dia siapa?

Dua kata, setelah sekian lama hanya dua kata. Tunggu 'dia', maksudnya Dimas. Ini hampir di loby depan, Raffa ada di sini, sejak kapan? Aku melihat sekitar dan menangkap siluet yang masih bisa kukenali kecuali satu, rambut yang sedikit panjang. Raffa ada di dekat pintu masuk dengan bingkisan makanan di tangannya.

‘Raffa,’ gumamku.

Raffa tersenyum ketir di depan sana sebelum berbalik ke pintu keluar. Aku sedikit panik, tanpa sadar aku mengejarnya. Kaki panjang sialan, kenapa sangat cepat menghilang? Aku kehilangan jejaknya tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Sekali lagi aku mengedarkan netraku, hingga dia disana hendak masuk mobil yang pernah kunaiki.

Aku berlari begitu saja “Raffa,” panggilku sedikit berteriak. Dia berbalik, sedikit terkejut. Aku memanggil namanya tanpa embel-embel yang menempel padanya. Trik yang bagus bukan?

Nafasku tersengal sesampainya di depan mobil Raffa “Anda akan pergi begitu saja?” tanyaku tergesa. Raffa tertawa dengan keras dan itu membuatku kesal, ralat sangat kesal.

.

.

“Jadi dia teman sejak SMA?” tanya Raffa entah yang ke berapa kali.

Aku mengangguk sebagai jawaban karena mulutku sedang mengunyah makanan dalam bingkisan tadi.

“Apa kamu menungguku?” tanyanya lagi.

Aku menatapnya tajam “Menurut Anda pak Raffa?” sindirku dengan keras.

Raffa tersenyum dan itu membuatnya tampan, ternyata dia memiliki satu lesung pipit di sebelah kanan. “Iya,” balasnya singkat “Alia luang—

Ponselku bergetar, aku mengeceknya sejenak itu telepon dari dokter spesialis jadi aku harus segera mengangkatnya “Iya halo”. Aku sedikit menjauh dari Raffa untuk menjawab panggilan penting ini. Aku memperhatikan Raffa yang menunggu disana, seperti anak kecil, jauh berbeda dari biasanya. Sangat lucu.

“Maaf, aku harus masuk kedalam,” pamitku menghampiri Raffa sejenak.

Dia terlihat sedikit kecewa “Bolehkah aku meneleponmu Alia?” tanyanya dengan nada ragu.

Entah kenapa senyumku mengembang “Tentu saja Raffa,” ujarku langsung berlari ke dalam rumahsakit. Duh mulut sialan, kenapa hanya memanggil Raffa. Aku berbalik sejenak ke arahnya, dia hanya tersenyum simpul di tempatnya. Dasar para pria, mudah sekali menghiburnya.

.

.

Hoam.

Pukul 09.00 malam, meski tak jaga malam kenapa selalu keluar jam segini dari rumah sakit. Sabar Alia tinggal beberapa bulan lagi sebelum ujian akhir. Aku mengambil ponsel dari dalam tas. Berniat untuk meminta jemput kak Tama karena tadi tidak membawa kendaraan.

10 Panggilan tak terjawab Pak Raffa.

Sejak tadikah? Ternyata secepat ini dia menghubungiku. Para pria itu pantang sekali untuk diberikan ijin. Ada beberapa pesan dari Raffa juga.

Pak Raffa

Alia pulang jam berapa?

Aku jemput ya?

Alia mau makan apa?

Sudah malam kapan pulang?

Jaga malam ya? Sibuk?

Alia...

Aku tunggu di depan rumah sakit ya.

Raffa menungguku? Aku mengecek waktu pesan terakhir, dua puluh menit yang lalu. Semoga masih ada disana, dengan cepat aku mencari sosok Raffa di depan rumahsakit, ketemu.

“Kak Raffa,” panggilku setelah berada di dekatnya. Dia memelukku erat, hei ini keterlaluan. Meski sempat kaget dengan cepat aku mendorongnya untuk melepaskan pelukannya.

“Kak bukan mahram!” protesku sedikit berteriak. Raffa sedikit terkejut dengan teriakanku.

“Jangan kakak pikir ini hanya sekedar fashion,” ujarku menunjuk hijab yang sedang kupakai. Lepas kendali sudah jika sudah menyangkut kontak fisik, kuyakin dia pasti akan tersinggung.

Raffa tertegun di tempatnya “Maaf, tapi aku hanya sangat merindukanmu Alia,” ungkapnya tulus sebagai bentuk penyesalan dan itu menciptakan hawa panas disekitarku.

“Ayo aku antar pulang,” ajaknya menunjuk satu mobil di parkiran “sudah makan?” tanyanya mencoba menghilangkan kecanggungan.

“Sudah,” jawabku dengan ketus. Aku masih marah dengan kejadian tadi.

Raffa terlihat sangat merasa bersalah dan bingung “Maaf soal tadi,” ungkapnya sekali lagi sebelum masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Masih terlihat dengan jelas raut penyesalan di wajahnya, duh aku sedikit menyesal memarahinya. Bagaimana jika nanti aku memarahinya tentang menghilangnya dia? Tak terbayang, aku yakin dia akan terkejut dan terdiam.

“Alia,” panggilnya pelan “Bisa kita makan malam berdua? Ada yang ingin aku bicarakan padamu.”

“Harus malam?” tanyaku menggoda sedikit dirinya.

Dia terlihat sedang berpikir “Aku pulang kerja jam 07.00 malam, dan waktu luangku hanya malam. Bisakah?”

Tipikal pekerja kantoran yang baik “Aku akan mengecek jadwal libur dulu, kakak tau kan jika aku pulang larut meski tak jaga malam,” terangku mencoba untuk tak mengecewakannya.

“Ya, tidak masalah”

Aku memperhatikannya dari samping, dia seolah benar-benar menyesal perihal kejadian tadi. Raffa, apa kedatanganmu sebagai hujan atau angin kali ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status