Share

02 Pesan Pertama

+628xxxxxxxxxx Walaikumsalam, lusa ya ambil ke bengkel yang ada di dekat RS kemarin. Setelah makan siang kita ketemuan.

+628xxxxxxxxxxs hare location.

.

.

Kering sudah menunggu, ini sudah 2 jam berlalu dari jam janji pak Raffa. Waktu liburku yang berharga berkurang sia-sia.

“Maaf saya terlambat,” ungkap Raffa sedikit terengah, baru datang.

Aku menatapnya tajam “Saya menunggu selama dua jam, bapak tau bagi saya hari libur itu sangat berarti,” omelku meluapkan kekesalan padanya. “Tapi bapak membohongi saya perihal motor kakak saya. Itu sudah diambil kemarin sore!”

Raffa terlihat sedikit bingung dengan perkataanku. Dia tidak tau atau hanya pura-pura tidak tau? Aku tambah kesal melihatnya.

“Maaf Alia, saya tidak tau,” Raffa menyanggah dengan lembut.

“Karena bapak sudah datang, saya sudah menepati janji untuk datang kesini. Permisi!” pamitku beranjak meninggalkannya.

“Tunggu Alia!” panggil Raffa, aku mendengarnya hanya saja  ah sudahlah.

Grep!

Tanganku terasa ditarik cukup keras, sial! Kenapa jaraknya dekat sekali “Lepaskan!” tolakku.

Dia memberi jarak tanpa melepasku “Kamu pulang pakai apa? Biar saya antar,” tawarnya.

Aku menggeleng pelan “Tidak usah, saya pulang sendiri saj,” tolakku halus. Berusaha melepaskan tangan besar milik Raffa. Bukan mahram, malu sama hijab.

Buaya keras kepala! Raffa menyeretku menuju mobil milikknya. Mau dibawa kemana aku? “Lepas!” pintaku setengah berbisik takut membuat orang di sekitar salah paham dan kami jadi pusat perhatian. Aku masih tau diri dengan rasa malu, entah kalau buaya yang bernama Raffa itu.

Raffa membuka pintu mobilnya “Masuk!” perintahnya mutlak, sangat tegas. Menyebalkan.

Aku merasa terdorong untuk masuk ke dalam mobil, pemaksa ulung. Sungguh aku ingin keluar saja saat ada kesempatan, tapi setelah melirik ke arah Raffa nyaliku ciut. Tatapan yang sangat dingin, berbeda dengan di rumahsakit tempo hari.

“Alamatmu dimana nona Alia?"

Aku tak ingin menjawab.

“Alia?” panggilannya melembut.

Aku terhipnotis sejenak, sungguh buaya berpengalaman. Aku melihat sekelilingnya mobil itu dilengkapi navigasi. Dia butuh alamat bukan? Aku memasukkan alamat rumahku di sana.

“Terimakasih,” ujar Raffa sangat lembut. “Saya tadi melewatkan makan siang, apa tak keberatan jika kita mampir sejenak di sebuah restoran?” tanyanya mencoba untuk mencairkan suasana.

“Keberatan,” jawabku cepat.

“Huh?”

“Maksud saya, lebih baik antar saya pulang saja.” Ternyata berkomunikasi dengan yang orang tua itu sulit. “Lagi pula saya tidak la—

–kruyuk~~

—par”, lanjutku menahan malu. Perut sialan.

Aku tau Raffa sedikit menahan tawanya “Baiklah, tempat makan terlebih dahulu lalu pulang,” putusnya sepihak.

.

.

Raffa membawaku ke sebuah tempat makan sederhana di jalan menuju rumah. Dia menaikkan penilaianku sedikit, dia mau untuk makan di tempat seperti ini. Tidak seperti dugaanku yang cukup gila.

“Maaf soal dibengkel tadi. Saya benar-benar tidak tahu, mungkin Chandra yang mengurusnya tanpa mengkonfirmasikan lagi. Maaf juga soal menarikmu dengan paksa,” ungkap Raffa dengan tulus di tengah makan.

Aku sedikit tertegun mendengar penuturan Raffa, dia melembut. “Iya tak masalah. Saya juga sedikit lelah, terimakasih atas makanannya.”

“Apa lain kali saya bisa mengajakmu untuk makan?”

“Apa?”

“Eum, maksud saya itu..emm.. Saya berniat mengajak makan kamu dengan kakakmu sebagai permintaan maaf,” ajak Raffa sedikit terbata “ah, saya akan pergi bersama Chandra juga,” tambahnya seperti menyembunyikan tujuannya.

Aku tersenyum melihat tingkah pria dewasa di depanku ini. Kupikir hanya di usia kami para lelaki terlihat seperti itu. “Oh, tentu saja. Nanti saya sampaikan kepada kak Tama.”

“Alia.”

“Ya?”

“Apa saya terlalu tua untuk terus mempertahankan bahasa yang formal ini?” tanya Raffa tiba-tiba.

Aku tak bisa menahan tawaku mendengar pertanyaan dari Raffa. “Maaf,” selaku mencoba untuk tak merasa mengejeknya “Karena bapak berpakaian formal, jadi itu otomatis saja.”

“Jika saya memakai pakaian yang lebih kasual apa kita bisa meninggalkan situasi formal ini. Seperti saat pertama kali bertemu?”

Raffa itu sedikit lucu.

“Mungkin,” jawabku santai lalu kembali tertawa pelan.

“Kamu cukup memanggilku degan nama itu lebih baik.”

Aku menggeleng pelan “Itu tidak baik, tidak sopan. Bapak terlihat jauh lebih tua dari saya,” terangku menolak tawaran panggilan itu.

Dia tertegun, mudah sekali terbaca atau dia dengan sengaja melakukannya?

“Alia sudah punya pacar?"

Deg! Sudah kuduga tapi tetap saja itu mengejutkan. Pacar ya,  aku ingin membuang kata itu jauh sekali sehingga tak muncul lagi di pendengaranku.

“Maaf saya sedikit lancing,” ujarnya sedikit merasa bersalah.

“Tidak apa-apa,” sergahku cepat agar suasana tidak menjadi canggung kembali “Saya tidak memilikinya.”

“Apa dia menyakitimu?”

Kenapa dia harus bertanya seperti itu?

“Apa maksud pak Raffa?”

Raffa menghela nafasnya pelan “Kamu sempat terdiam tadi, kupikir kamu pernah terluka. Saya janji tidak akan melakukannya.”

Apa maksud pak tua ini? Pedofil.  Aku sangat terkejut, dia seolah menarikku untuk membuka diri tapi dia terlalu perasa. Itu tidak baik, aku tak ingin terjebak kedua kalinya.

“Maaf pak, saya harus pulang,”  ujarku mengalihkan topik yang cukup sensitif ini.

“Baiklah saya antar sesuai janji Alia.”

Maaf Raffa, mungkin jika dalam posisi yang berbeda aku akan meladeninya dengan waras. Aku belum siap untuk membuka diri. Senior sialan.

.

.

Sial!

Raffa sudah pulang dari tadi tapi aku masih memikirkannya. Aku pikir itu pertanyaan biasa dari orang asing tapi, sepertinya tidak. Itu membuatku tergangu, pacar—orang yang tega meninggalkannya tanpa kejelasan.

“Raffa ya? Kata kakak dia cukup tertarik denganku. Bolehkah aku berharap padanya?”

Pak Raffa

Ini mengangguku, maaf soal pembicaraan di tempat makan tadi.

Segera hubungi saya untuk waktu rencana makan bersama kita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status