Share

03 Terganggu

Pak Raffa

Siang Alia, sudah makan hari ini?

Saya mengirimkan sesuatu di loby rumah sakit, ambil ya.

Pesan itu lagi, sejak ajakan makan malam tempo hari Pak Raffa seakan menerorku. Setiap harinya dia akan menanyakan jawaban perihal makan malam. Belum lagi pesan-pesan penuh perhatian yang sangat menganggu. Aku tidak selalu memegang ponsel dan sekalinya memegang ponsel spam pesan darinya membuatku sakit kepala. Materi dan praktek ko-as saja sudah membuat kepalaku sakit ditambah pesan-pesan menyebalkan darinya.

Aku sedikit menghela nafas, dia bertanya soal makan maka, hari ini dia pasti mengirimkan bingkisan makanan yang akan sampai di lobi rumah sakit. Soal bingkisan, itu dimulai dari minggu lalu. Saat aku total mengabaikan pesan-pesan darinya. Pertama sekali bingkisan-bingkisan seperti ini datang ke rumah. Namun, setelah dia ‘tahu’ jika rumah jarang dihuni, dia mengirimkannya ke rumah sakit. Pria aneh. Sangat menganggu, aku sempat berpikir dia memiliki kelainan. Harusnya psikologisnya diperiksa, adakah penyakit mental yang menempel padanya.

“Nanti, kakak sedang sibuk

Aku tak tau harus berkata apa lagi kepada Raffa.

“Ai!”

Itu Kayla, sahabatku “Ada apa?”

“Ini,” dia menyodorkan sebuah bingkisan. Makanan, tepat sekali. “Aku mendapatkannya dari loby depan. Apa dari pengagum rahasiamu?”

Tawaku tertahan mendengar celotehan Kayla “Pengagum rahasia apanya?” sergahku menunjukkan pesan terakhir dari Raffa.

“Ai, dia suka kamu loh,” godanya menarik tanganku untuk membawa bingkisan itu.

“Tapi aku gak suka.”

“Tapi kamu tertarik,” balasnya menggoda terus diriku “Ai, dia orang mana sih?”

Aku tak pernah menyelidikinya, dia darimana atau apapun itu. “Aku tidak tertarik dan aku juga tidak mau tau dia berasal dari mana,” jawabku acuh mengangkat bahu.

“Kalau kamu gak mau, buat aku aja,” Kayla memanasiku. Terniat dan aku merasa kesal.

“Emang dianya mau,” ejekku menertawakannya.

“Bagi dong?”

“Apa?”

“Bingkisannyalah,” Kayla berbalik membuka bingkisan itu sesampainya di ruang dokter. “Kesukaanmu?”

“Masa?”

Aku mengintip bingkisan yang setengah terbuka di tangan Kayla. Beberapa pastry dan yogurt, kesukaanku mungkin.

“Sudah terima ajalah,” saran Kayla yang mengambil salah satu pastry dari dalam sana.

Duh Kayla, apa yang harus aku terima? Dia hanya mengajak makan malam bersama kak Tama, tidak lebih. “Apa yang harus diterima Kay?”

“Cintanya.”

Cinta? Dia tak pernah menyatakan cinta Kayla, setidaknya. “Dia tidak pernah menyatakan cinta Kay,” terangku memutuskan khayalannya.

Kayla menatapku dengan intens, seolah menyelidikku perihal Raffa. Dia mengangkat satu jarinya “Bunga mawar,” lalu dia tambahkan satu lagi “sekotak coklat besar, bantal leher yang cantik, boneka beruang besar, scarft yang cantik, dan beberapa bingkisan makanan seperti ini. Kau bilang itu bukan pernyataan cinta?” ujarnya menggebu “Oh ayolah Ai, kita bukan anak labil yang tidak tau maksud terselubung dibalik semua barang-barang itu.”

Aku kaget mendengar penuturan Kayla. Sempat terpikir olehku hal seperti itu, tapi terlalu narsis dan akan menimbulkan salah paham.

“Eh malah diam ini anak,”  Kayla menyentakku dengan sedikit tepukan bahu “Jangan terpaku dengan Bang Dika, dia itu buaya bego.”

Mulut Kayla terkadang membuatku sadar dengar kenyataan yang ada. Bang Dika, membuatku menangguhkan kata bahagia memiliki seseorang yang istimewa seperti pacar. “Kay, aku hanya tak ingin salah paham. Siapa tau dia hanya merasa bersalah dengan kak Tama,” elakku melindungi diri.

Puk!

Kayla melempar bungkus kertas pastry ke arahku “Jika dia merasa bersalah dengan bang Tama, harusnya bang Tama yang diganggu bukan kamu.”

“Kay, dia jauh lebih tua.”

“Alasan lagi,” cibir Kayla “sekarang zamannya sugar daddy, kau tau kan?”

“Gila,” sarkasku dan Kayla hanya tertawa keras.

.

.

To: Pak Raffa

Bagaimana dengan sabtu ini untuk makan malamnya?

Akhirnya aku memberanikan diri menentukan hari untuk makan malam, tanpa menanyakan terlebih dahulu dengan Kak Tama. Dia cukup ditarik pada hari sabtu nanti.

Ting!

Notifikasi pesan masuk, aku membukanya dengan tergesa. Berharap pesan dari Raffa dan itu benar adanya.

Pak Raffa

Saya jemput pukul 7 malam, siap-siap saja.

Semudah itu? Kenapa tidak aku coba dari kemarin? Dasar Alia bodoh! Mungkin jika dari kemarin maka bingkisan menyusahkan itu tidak akan pernah datang ke rumah ataupun rumahsakit.

“Sedang apa?”

Suara Kak Tama mengagetkanku, sejak kapan dia disini? “Bisakah kakak tak mengagetkanku, kapan datang?” tanyaku meredakan keterkejutanku.

Kak Tama tersenyum menyebalkan seperti biasa “Baru saja, adakah yang menganggumu?”

“Sabtu ini jangan buat janji, kita akan makan malam dengan pak Raffa.”

“Oke.”

“Hanya itu?” tanyaku bingung. Sejak kemarin sulit sekali untuk membuatnya bicara untuk menentukan hari dan sekarang hanya bilang oke. Kak Tama!

Kak Tama berjalan mengambil minum “Lalu? Bukannya lebih baik jika Ai yang menentukan harinya. Makan malam juga, kakak banyak free kalau malam sedangkan Ai? Ai kan ada jaga malam di rumah sakit.”

Logika yang benar dengan cara yang menyebalkan “Kenapa gak jelasin dari kemarin, jadi Ai gak risih dan hampir salah paham,” protesku.

Kak Tama menatapku dengan sedikit heran “Salah paham? Oh, hadiah-hadiah kecil itu ya?” tebaknya seolah mengejek “Kakak yang bocorin kesukaanmu.”

“Kak Tama!” teriakku melempar buku terdekat.

Dugh!

Lemparanku kena salah punggungnya saat mengelak “Ai, bukumu itu semuanya tebel loh. KDRT ini KDRT, kakak tuntut nanti,” ejeknya. Dasar calon jaksa, menyombongkan pengetahuannya tentang hukum.

“Gak ada bekas visumnya,” balasku dengan menjulurkan lidah ala anak kecil.

.

.

Pukul 06.30, dari sejak menyelesaikan ibadah aku masih di depan lemari, memilih akan memakai pakaian apa. Seperti anak gadis yang akan diajak kencan atau makan malam dengan keluarga calon. Ayolah ini hanya makan malam biasa tapi, aku merasa ini bukan biasa. Entah apa yang merasukiku hingga bersikap berlebihan seperti ini. Aku butuh saran, itu lebih baik.

“Kak Tama”, panggilku dari dalam kamar. Tidak lama yang dipanggil muncul dari balik pintu. Dia sudah rapi dengan kemeja motif sederhana dan celana bahan berwarna senada.

“Ada apa?” tanyanya.

Aku menunjuk lemari “Lebih baik pakai baju yang mana?”

Kak Tama mendekat ke depan lemari, mondar-mandir sejenak lalu mengambil beberapa blouse yang memiliki warna senada dengan pakaian miliknya “Diantara mereka, terserah Ai nyamannya pakai yang mana.”

Senyumku mengembang “Terimakasih kak,” aku memberikan kode untuk kak Tama keluar kamar tapi dia tak bergeming.

“Kak.”

“Apa?”

Duh kak Tama kalau lemotnya kumat “Aku mau ganti baju kak, keluar sana!” usirku padanya.

“Ah.. lupa, dandan yang cantik ya!”

“Kakak!”

Pak Raffa

Saya sudah di depan rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status