Share

Jatuh dalam Kepalsuan
Jatuh dalam Kepalsuan
Penulis: Afiys Fa

01 Klasik dan Klise

“Halo, dengan keluarga Sohbi Pratama Habib? Sohbi sedang berada di IGD, kami terlibat kecelakaan kecil tadi, bisa anda kesini?”

Aku tak perduli lagi, yang kutahu pergi secepatnya menuju ke rumah sakit. Tempat Kak Tama berada. Rumahsakit dekat bandara, 30 menit dari tempatku sekarang. Masa bodoh dengan teriakan senior saat aku akan naik ojek terdekat. Aku hanya ingin cepat sampai, melihat separah apa luka kak Tama.

Disini lah aku, depan IGD dan masih menggunakan helm.

“Kak, helmnya,” tegur tukang ojek yang mengantarku.

Aku melepas helm dengan tergesa dan memberikannya ke tukang ojek “Maaf bang, terimakasih.”

Kakiku masih terasa lemas, terasa berat untuk melangkah memasuki IGD yang cukup besar ini. Rupaku terpantul di kaca bening pintu IGD, masih menggunakan jas putih kebanggaan. Sial, tidak ada bagusnya sama sekali, berantakan. Aku melepasnya sebelum masuk, atau orang akan bingung dengan identitasku. Huft.

Ruangan IGD yang lapang, tidak terlalu banyak pasien. Diujung kanan ruangan aku melihat kak Tama dengan selang infus menempel di tangannya. Perban yang melilit di beberapa bagian tubuhnya. Tidak parah, hanya cukup membuatnya terdiam sejenak. Aku merasa lega setelah melihatnya.

“Kak Tama ceroboh.”

Seseorang datang mendekat ke arahku dan Kak Tama. Orang yang meneleponku tadi?  “Maaf, tadi saya sedikit lalai di jalan,” rupanya orang yang menabrak Kak Tama, terdengar tulus.

“Sekali lagi saya minta maaf.”

Orang yang sopan sesuai penampilannya, kemeja polos, dasi, dan jas yang cukup berantakan. Tidak ada luka, dia menggunakan mobil. Ini hanya sebuah kecelakaan kecil.

“Iya, lagipula bapak telah bertanggung jawab terhadap kakak saya. Lukanya juga tak terlalu serius”, balasku sesopan mungkin.

“Kakak saya ini memang merasa seperti raja jalanan jika sedang terburu-buru, saya juga mewakili kakak minta maaf.”

“Jangan panggil saya bapak, saya tidak setua itu. Nama saya Chandra,” dia memperkenalkan diri dengan memberi kartu nama, tipikal pebisnis.

“Teman saya juga sedikit terluka disana,” tunjuknya ke salah satu brangkar di seberang.

Aku melihat ke seberang arah telunjuknya, tampan eh bukan maksudnya tidak jauh berbeda dari sosok Chandra, pembisnis kelas atas. “Nama saya Alia,” balasku mengambil kartu nama yang sejak tadi terabaikan.

“Dokter?” tanyanya melirik jas putih yang tergeletak di atas brangkar.

“Sedang ko-as di RSUD,” jawabku singkat.

“Keluarga korban?”

Suara yang berat dan lembut, eh sejak kapan temannya datang menghampiri kami?

“Sepertinya adek korban,” bisik Chandra ke temannya.

Dia melirik ke arahku, meski sulit karena menggunakan cervical collar di lehernya “Sekali lagi maafkan teman saya ya, untuk kendaraan kakak anda kami akan tanggungjawab kerusakannya.”

“Tidak–

“Jangan begitu, bagaimanapun kami yang menabrak kakak anda,” sela pria tadi dengan cepat.

“Aku Raffa, anda bisa menghubungi no ini untuk kedepannya,” ujarnya menyodorkan sebuah kartu nama, pebisnis.

Aku segera mengambil kartu itu dan sedikit tersenyum “Alia, terimakasih untuk tetap bertanggungjawab atas kakak saya.”

“Tidak masalah,” balas pria yang mengaku Raffa tadi.

Tatapan yang teduh. Stop Alia! Kenapa aku harus terpesona di saat seperti ini?

“Bagaimana dengan mobil bapak-bapak ini?” tanyaku  sedikit takut untuk membayar biaya kerusakan mobil.

“Tak masalah ada asuransi, lagipula itu mobil kantor dan kami sedang bekerja jadi pasti kantor akan membiayainya.”

“Saya permisi untuk melanjutkan administrasi tadi,” pamit Chandra meninggalkan kami berdua di tengah kak Tama yang masih belum sadar.

“Alia masih kuliah?” tanya Raffa acak sambil menunggu Chandra.

“Saya lagi ko-as.”

“Calon Dokter?”

Aku mengangguk pelan sebagai jawaban.

“Wah hebat, lalu bagaimana dengan koas-nya bukankah sulit untuk izin?”

“Ya, karena ini darurat jadi boleh.”

“Begitu ya?” dia terlihat sedang berpikir yang entah apa itu.

“Bang Raffa ini sudah selesai semua, kita bisa pulang,” ajak Chandra yang baru dating ke dekat kami.

“Bagaimana dengan abangnya Alia?” tanya Raffa.

“Ah Bang Sohbi, setelah infusnya habis baru boleh pulang,” jawab Chandra.

“Kita tunggu saja, biar sekalian diantar,” tegas Raffa.

Raffa yang mudah terbaca, sedikit memastikan tidak masalah kan. “Tidak usah, bapak-bapak ini pasti ditunggu dikantor. Saya bisa pulang sendiri,” ujarku sedikit menengahi.

 “Beneran bisa?” tanya Rafffa terlihat sedikit khawatir bercampur kesal di wajahnya.

“Iya,” jawabku mantap.

Raffa seolah terlihat berpikir sebentar lalu mengambil dompetnya dan mengelurakan beberapa lembar uang dari sana “Ini untuk ongkos pulang.”

“Tidak perlu pak,” tolakku lembut.

“Ambil saja,” paksa Raffa.

 “Terimakasih.”

“Ini juga Alia,” Chandra menyerahkan kertas administrasi padaku “Ini sudah dibayar, obatnya nanti akan diantarkan perawatnya.”

“Terimakasih.”

“Sampai jumpa, jangan lupa hubungi kami untuk biaya perbaikan motornya,” pesan Raffa sebelum meninggalkan kami.

“Ya”

Menarik.

“Sepertinya, salah satunya tertarik padamu Ai.”

Suara yang sedikit mengagetkanku, kak Tama. “Sejak kapan sadar?” tanyaku tanpa basa basi lagi.

“Sejak...,” tatapan penuh tanya milik Kak Tama yang menyebalkan  “... namaku Raffa”

“Dih!” cibirku pelan dan senyuman menyebalkan dari kak Tama “Buat panik aja, mau jadi pembalap?”

Kak Tama tertawa ringan “Kaget juga ya ditabrak dari belakang.”

Aku tak tau terbuat dari apa kakak satu ayahku ini, bukannya meringis kesakitan malah tertawa renyah. “Itu motor bakal pensiun kali ya?”

“Tanggung jawab juga orangnya, nanti kamu yang hubungi dia ya,” goda Kak Tama.

“Kok aku?”

“Siapa tau kan jodoh.”

“FTV kali ah.”

Kak Tama hanya tertawa mendengar jawaban dariku, dan jauh di dalam diriku membenarkan kemungkinan kecil itu. Aku juga tertarik padanya, Raffa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status