Melewati hari yang sibuk ternyata tak mengubah perasaan kesal Rakhan pada Mentari. Kejadian tadi siang masih melekat dalam memorinya. Wanita keras kepala itu masih saja menuduhnya terlibat atas hilangnya Arya. Sikap tidak kooperatifnya pun membuat Rakhan lebih jengkel. Ia tidak habis pikir kenapa ayahnya sampai bisa memaksanya menikah dengan wanita sok pintar yang menyebalkan seperti Mentari.Rakhan menggoyang gelas bertangkai dan berbadan bulat berisi red wine. Alih-alih meneguk isinya, ia hanya mengamati cairan hasil fermentasi buah anggur itu. Sesekali pandangannya menembus ke luar jendela yang setinggi langit-langit dan memandangi awan, atap gedung lain, atau hanya sekadar memandang kosong. Di dalam apartemen mewah berfasilitas megah ini Rakhan biasanya menghabiskan waktu untuk menenangkan diri dari permasalahan yang sedang melilitnya. Namun, kali ini ia tidak sendirian. Sepasang tangan dengan jari-jari lentik dan berkuku oval yang dicat merah tiba-tiba mengalungi pundak lebar R
“Tari ....” Ucapan lirih Lucian menghentikan debat kecil antara Mentari dan Anton. Seuntai rasa syukur dan bahagia menyelusup ke dalam hati Mentari meski tak bisa ia tunjukkan dengan berapi-api. Mentari hanya memandangi Lucian dari tempat duduknya tanpa senyuman untuk mengekspresikan kebahagiaannya. Hanya binar cerah yang terpancar dari mata cokelatnya yang menggambarkan betapa Mentari senang ayahnya sudah bangun dan bisa berbicara lagi kepadanya. “Iya, Pa.”“Sedang apa kau di sini?” Suara Lucian terdengar sedikit serak.Sedang apa? Mentari mengerutkan dahi. “Tari sedang menunggui Papa. Papa sakit.”“Kau pulang saja. Kau harus mempersiapkan resepsi pernikahanmu.”Itu lagi. Mentari mendesah kesal. Seketika ia merasa keberadaannya di sana tidak diinginkan. “Tapi Papa kan sedang sakit. Tari—““Apakah suamimu tahu kau di sini?” potong Lucian dengan nada menyelidik.“Kenapa Papa peduli sekali dengan menantu Papa? Dia tahu atau tidak, itu tidak penting, Pa.” Mentari melipat tangan di atas
Mentari mengunci pintu kamar sesaat setelah Rakhan meninggalkan kamarnya. Ia khawatir Rakhan akan kembali lagi dengan membawa kemarahan. Mentari belum siap dan tidak akan pernah siap untuk menerima kemarahan Rakhan seperti malam itu. Menurutnya, Rakhan tidak waras. Pria itu sebelas-dua belas dengan ayahnya yang selalu memaksakan kehendak pada orang lain. Menyebalkan! Mentari menghardik Rakhan di dalam hati. Tubuhnya tiba-tiba saja meremang dan hatinya seketika tertusuk memori pahit di malam menyakitkan itu. Cara Rakhan meminta haknya sebagai suami membuat Mentari nyaris mengalami trauma. Sekarang, ia dihadapkan pada fakta bahwa ia dan Rakhan harus melakukannya lagi sampai dia hamil. Oh, tidak!Tidak berpikir untuk membersihkan diri atau hanya sekadar berganti pakaian, Mentari langsung terjun bebas ke tempat tidur dan membenamkan wajahnya ke atas bantal. Beberapa saat kemudian ia mengangkat wajah, menarik napas dalam-dalam, dan berguling. Ia berbaring dengan posisi terlentang dan men
Tidak ingin menciptakan keributan, Rakhan akhirnya menyetujui usulan ayahnya. Seperti yang sudah direncanakan, siang itu seluruh anggota keluarga pergi ke rumah sakit. Kedatangan mereka kebetulan bertepatan dengan jam besuk hingga pihak rumah sakit harus menyambut mereka melalui pintu belakang supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Mengingat keluarga Mahawira cukup terkenal di arena bisnis dan gosip, tentu saja pihak rumah sakit tidak mau mengambil risiko terjadinya kehebohan yang bisa mengganggu pasien lain. Mereka lebih memilih mengistimewakan keluarga pemilik saham terbesar rumah sakit tersebut dengan memberi sedikit keleluasaan. Sebagai besan dan orang paling tua di antara mereka, Handoko menjadi orang pertama yang masuk ke kamar perawatan Lucian. Sementara itu, yang lain menunggu di ruang tunggu khusus yang telah disiapkan pihak rumah sakit, sebuah kamar rawat inap di sebelah kamar Lucian yang disulap menjadi ruang tunggu yang nyaman. Bukan Rakhan Mahawira namanya jika pria itu bi
“Selamat siang, Pak Lucian.” Kehadiran Rakhan menyelamatkan Mentari dari rasa gugup dan panik. Mentari menelan kembali umpatannya pada Rakhan yang sempat terucap di dalam hati. Ia memperhatikan langkah Rakhan sampai berhenti berjalan dan berdiri di samping ranjang Lucian, berseberangan dengannya. Namun, Rakhan tak sedikit pun berusaha untuk melihat dan melirik Mentari. Pandangannya hanya tertuju pada Lucian. “Selamat siang. Apa kabarmu, Nak?” Lucian tampak semringah melihat menantunya. Binar matanya yang cerah mengindikasikan adanya kegembiraan dalam diri pria itu. Sebaliknya, Mentari merasa sedih dan kasihan melihat ayahnya yang begitu bangga dengan kehadiran Rakhan. Pria itu tidak tahu bagaimana menantu yang selalu ia pedulikan tidak pernah sedikit pun memedulikannya. Keadaan tak seimbang itu yang menyayat-nyayat hati Mentari walaupun ayahnya sudah tidak berlaku adil kepadanya dan Arya. “Baik.” Rakhan hanya menjawab dengan singkat. Ia bahkan tidak menanyakan kabar Lucian dan ju
Rakhan memalingkan pandangan ke arah lain berusaha menenangkan dirinya sendiri. Suatu kesalahan besar telah mengundang Mentari ke sana dan berbicara dengannya. Sekarang bukan ia yang mengintimidasi Mentari, melainkan sebaliknya. Dengan cara paling halus dan sangat sederhana, Mentari mampu menyerang sisi lain dari diri Rakhan. “Aku tidak pernah ingin berada di dalam keluarga ini, apalagi menjadi salah satunya. Jika jalan terbaik untuk terbebas dari pernikahan ini aku harus melahirkan anakmu, aku setuju.” Mentari pasrah karena tak punya pilihan yang lebih baik. Suaranya pun bahkan terdengar sedikit bergetar ketika berbicara. Rakhan tertegun. Tiba-tiba saja ia merasa menjadi pria paling tidak beruntung sekaligus paling brengsek. Hanya untuk bebas dari belenggu pernikahan, ia harus memaksa seorang wanita melahirkan anaknya. Ia ingin sekali memaki dirinya sendiri, tapi seperti halnya Mentari, ia pun tak punya pilihan. Ayahnya begitu menginginkan cucu darinya dan Mentari. “Apa kau yak
“Dia peduli padamu. Sangat. Percayalah.” Mawar berusaha meyakinkan Rakhan. Kakaknya itu memang keras kepala dan sedikit menyebalkan, tetapi Rakhan adalah saudara terbaik yang ia punya. Mawar tidak ingin membuat Rakhan malu dengan pesta yang biasa-biasa saja. Ia dan suaminya sudah berusaha mewujudkan impian ayah mereka untuk menciptakan pesta pernikahan terbaik dan meriah. Rakhan mengembus napas. “Kau dan ayah sama saja, senang membuatku sengsara.” Mawar mendengar nada bangga dalam ucapan Rakhan meskipun kakaknya itu mengatakan sebaliknya. “Aku dan ayah menyayangimu. Kami ingin yang terbaik untukmu. Itu yang perlu kau tahu.” “Kau memang menyebalkan, adikku.” Rakhan menyikut pelan lengan Mawar. Mawar tersenyum menanggapi ucapan Rakhan. Dibalik sikap sok keras yang selalu ditunjukkan Rakhan, Mawar tahu pria itu sangat menyayangi keluarga. Dari seberang meja, Mentari bisa melihat keakraban antara Rakhan dan Mawar. Rasa iri melintas di benaknya lantaran ia tidak pernah punya kesempata
“Mentari.” Panggilan pelan yang tertangkap telinga Mentari membuat Mentari mengangkat wajah. Seorang pria baya bertubuh tinggi dan sedikit berisi dalam balutan jas abu-abu tersenyum hangat kepadanya. Rambut putih kecokelatannya tampak berkilat tertimpa sinar lampu yang gemerlap. Meskipun tanpa senyuman, tetapi kesejukan dan ketulusan terlukis di wajahnya. “I-iya.” Mentari menjawab dengan ragu-ragu sambil memberanikan diri memandang wajah pria tersebut.“Kenalkan, aku Barry. Barry Haryanto. Aku teman ibumu.” Pria itu mengulurkan tangannya.Mentari mengernyitkan dahi. Skeptisisme tiba-tiba berkembang di benaknya. Ia pikir teman mamanya tidak akan berpenampilan se-fashionable para pria classy. Mengingat semasa hidup, mamanya jarang bergaul dengan orang lain terutama pria. Namun, akhirnya Mentari menyambut uluran tangan Barry dan berjabat tangan.“Mentari Sekar Ayu,” ucap Mentari.“Boleh aku duduk?” Pandangan pria itu kemudian ditujukan pada kursi kosong di samping kursi Mentari.“Silak