"Saham milik ayahku dibekukan?"
Clara mendengus kesal mendengar berita yang tak hanya mengejutkan, tapi mampu membuat tensinya naik drastis. Charles, pengacara pribadi keluarganya ternyata sudah hadir di kantor lebih dulu dari pada ia dan David. Nampaknya pria tua itu sengaja, untuk mengumpulkan data-data dan juga informasi penting agar nantinya bisa disampaikan pada sang ahli waris seharusnya.
"Tapi kau adalah pengacara ayahku, Tuan Charles! Harusnya kau bisa membantuku untuk mendapatkan hakku sebagai anaknya!" kata Clara berusaha menekan.
Pria tambun berkacamata itu menggeleng pelan. Ia baru saja mendapatkan informasi bahwa Leo dan Amy telah menunjuk pengacara baru yang tentu saja membantu mereka untuk melawan Charles. Ditambah lagi munculnya petisi dari para pemegang saham lain yang tak mau gadis 25 tahun itu menggantikan posisi sang ayah.
"Aku akan coba melobi beberapa pemegang saham lain agar mau memberikmu kesempatan. Tapi aku butuh waktu, karena..."
"Aku tak butuh alasan apapun! Paman Leo dan Bibi Amy akan segera menguasai seluruh perusahaan jika terus dibiarkan seperti ini!" potong Clara yang tak henti memegangi pelipisnya yang berdenyut tak karuan.
Otaknya sedang tak bisa digunakan untuk berpikir. Perlawanannya nampak sia-sia jika miliknya terasa tak lagi berarti. Semua warisan sang ayah tak bisa gunakan karena ada Leo yang terus menekan. Bercapkan anak pembawa masalah dan pembunuh sang ayah, Clara harus siap menerima semua keadaan itu.
"Jadi menurutmu, apa yang harus Nona Clara lakukan saat ini?" tanya David yang sejak tadi lebih banyak diam dan berpikir daripada mengomel seperti yang dilakukan istrinya.
Charles menunduk takut. Hanya ada satu cara yang tentu tak akan mudah. Bahkan ia sangat yakin bahwa Clara tak akan mau mengikuti kata-katanya.
"Menurutlah dengan Tuan Leo, buat ia membuka hati untukmu," jawabnya yang langsung mendapat pelototan tajam dari Clara.
"Atau menerima tawaran itu dan membuktikan bahwa kau memiliki kemampuan untuk menggantikan ayahmu!" tambah David yang kini menatap gadis di sisinya dengan alis terangkat.
Dua cara yang tak mudah dan penuh dengan risiko. Mendekati Leo sama halnya dengan menjilat, satu cara yang paling anti dilakukan oleh Clara. Selama ini ia tak pernah diajarkan menjadi seorang munafik seperti itu.
Sebaliknya, mengikuti saran dari David sama halnya melakukan sesuatu yang sia-sia. Perusahaan yang akan diberikan padanya adalah sebuah bisnis hancur nan berantakan. Tak akan mudah membuatnya bangkit kembali. Hanya ada dua pilihan, gagal atau menyerah.
Manik abu Clara menatap selembar kertas petisi yang berisi nama-nama pemilik saham yang tentu saja rekanan bisnis sang ayah. Ia mengenal sebagian dari mereka, tapi tak pernah sekalipun berinteraksi dengan baik. Gadis itu lebih memilih pesta dibandingkan bekerja.
Sesal di hatinya terasa percuma. Ia tak ingin lagi berkutat dengan semua rasa bersalah itu. Tujuan utamanya adalah memperjuangkan kebenaran tentang kematian sang ayah dan juga mempertahankan perusahaan agar tak jatuh ke tangan yang salah.
"Itu terlalu berisiko untuk Nona Clara!" seru Charles memperingatkan.
"Apa yang berisiko?"
Sebuah suara diiringi tubuh tinggi besar yang masuk ke dalam ruangan membuat semua mata tertuju pada pria itu. Mata elangnya menatap tajam, penuh amarah. Langkah kakinya maju, bersama seorang wanita yang selalu menjadi buntutnya.
Leo dan Amy datang bersamaan, membuat jantung Charles berdegup kencang. Pria tua itu beranjak dari tempat duduknya dan mempersilakan salah satu Keluarga De Quinn itu untuk duduk, diikuti si bungsu yang mengambil posisi dengan anggun.
"Kalian membuatku curiga dengan mengadakan rapat tertutup seperti ini!" Leo bertanya dengan wajah penuh kecurigaan. Dengan tatapan tajam, ia memaksa Charlie untuk buka suara. "Kau merencanakan sesuatu?" tanyanya pada sang keponakan yang lebih banyak diam.
Gadis itu menggelengkan kepala. Wajah cantik itu terangkat bersama manik abu yang siap balik menyerang pamannya. Tangannya mendorong lembaran kertas berisi data saham milik sang ayah yang sudah pasti jatuh ke tangannya.
"Kenapa aku tak bisa menggunakan saham ini?" Clara balik bertanya dengan lantang.
Usianya baru 25 tahun, tanpa pengalaman yang berarti. Namun ia mengenyam pendidikan yang tak main-main. Sebuah alasan bodoh tak bisa membuatnya percaya begitu saja.
"Apa yang kau harapkan dengan saham ayahmu? Kepemimpinan? Keuntungan perusahaan? Atau... kekuasaan?" cecar Leo menahan gelak penuh ejek ke arah gadis kecil itu. Tangannya menarik lembaran milik Clara dan menyobeknya tanpa perasaan. "Semua ini tak ada gunanya!" jawab Leo sambil membuang sembarangan.
Clara menahan amarah yang sudah berada di ujung tenggorokan. Kalau saja tangan David tak menyentuh bahunya untuk tetap bersabar, pastilah ia sudah melompat dan memukuli pria tua itu. Rasa hormatnya hilang ketika Leo mulai menggerogoti perusahaan milik mendiang sang ayah dan menarik semua kekuasaan di tangannya.
"Tapi perusahaan ini milik ayahku! Sudah sepantasnya aku mendapatkan hakku!" tegasnya meminta semua miliknya kembali.
Namun Leo membalasanya dengan sebuah petisi yang sudah ditanda tangani oleh seluruh investor, pemilik saham dan juga kolega-kolega ayahnya. Judul yang tertera teramat jelas, yaitu tak akan membiarkan Clara De Quinn untuk memimpin perusahaan. Ada banyak alasan yang tak mungkin dijabarkan, tapi satu hal yang pasti yaitu kejadian antara dirinya dengan David.
Bibir bergincu itu bergetar hebat, tak sanggup berkata-kata. Tangannya meremas ujung gaun pendek berwarna putih yang baru saja ia kenakan dalam pernikahan sederhana beberapa jam lalu. Dadanya sesak, ingin tumpah ruah.
"Ini hasil rapat hari ini. Sayang sekali kau tak bisa hadir! Harusnya kau hadir dan ikut menyaksikan bagaimana mereka tak menginginkanmu!" kata Leo semakin menyudutkan keponakannya sendiri.
"Jangankan mereka, ibunya saja tak menginginkan anak itu!" tambah Amy semakin membuat Clara berada di puncak amarah.
Gadis itu beranjak, tubuhnya tak hanya bergetar tapi juga menegang. "Ini tak ada hubungannya dengan ibuku!" serunya menunjuk wajah Amy.
Wanita paruh baya itu ikut berdiri, memandang angkuh tanpa rasa takut. Ia memiliki banyak pengetahuan terkait masa lalu keponakannya itu. Sejak kecil ialah yang menjadi saksi hidup bagaimana hidup kakaknya berantakan hanya karena seorang wanita. Dan Clara adalah peninggalan terburuk kala itu.
"Bagaimana tidak? Bahkan perilakumu tak jauh beda dari pela..."
"DIAM!" seru Clara berteriak histeris. "Tutup mulutmu, Bibi!" perintahnya nyaris maju.
Namun David dan Charlie bergerak lebih cepat. Keduanya menahan tubuh gadis itu dan membawanya jauh ke belakang. Semakin Clara emosi, ekspresi bahagia semakin nampak di wajah paman dan bibinya.
"Aku tak akan membiarkan kalian melakukan ini padaku! Kalian akan menyesal sudah memperlakukan ku seperti ini!" kata Clara seraya menepis tangan suaminya dan pergi dari ruangan itu dengan berurai air mata.
Tangisnya pecah bersama bibir yang bersumpah serapah tiada henti. Telunjuknya menekan tombol lift dengan kasar, namun pintunya tak kunjung terbuka. Hingga seseorang menahan lengannya dan membuat gadis itu menengadah terkejut.
"Apa yang kau..."
Pria itu menarik tangan Clara dan membawanya ke dalam pelukan. "Jangan tunjukkan air matamu pada siapapun, di mana pun!" kata David sembari menyembunyikan wajah merah padam gadis yang bersandar di dada bidangnya itu. "Hanya aku yang boleh melihatnya, ingat itu!" katanya seraya mengeratkan pelukan.
***
"Urgh!" seru Clara kesal.Sudah satu jam lamanya ia membolak-balikkan badan, tapi matanya tak jua terpejam. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Tapi yang jelas, ia terus melirik pria yang sejak tadi terlelap di sofa empuk dekat ranjangnya.Tangannya menyentuh dada yang kembang kempis tak karuan. Jantungnya terus berdegup kencang, terutama saat melihat wajah David yang tengah mengarungi lautan mimpi. Dengan rambut klimis, jambang tipis dan deru napas yang membuat wajahnya semakin manis."Astaga!" serunya sembari menutup pipi tomatnya dengan selimut.Ini bukan pertama kalinya ia memandangi wajah pengawal yang kini sudah sah menjadi suaminya. Tapi rasanya baru kali ini Clara merasa pria itu menarik. Garis wajah yang keras dan dingin hanya hiasan, karena nyatanya begitu lunak hatinya ketika berhadapan dengan wanita."Apa yang kau lakukan?""Hah? Apa?" tanya Clara yang terkejut begitu mendengar suara bariton David. Gadis itu beranjak dan melihat pria itu sudah dalam posisi duduk. "Kau ta
"Wow, kau datang juga!" Leo masuk ke dalam ruang kerja mendiang kakaknya dengan wajah sumringah. Ia memandangi keponakannya bersama sang pengawal pribadi yang baru saja mengikat janji. Keduanya nampak semakin kompak saja, dimulai dari pakaian yang serasi, hingga sikap yang begitu mirip.Clara tengah duduk di meja kerja ayahnya, bersama David mendampingi. Tangan keduanya sibuk dengan beberapa lembar laporan, yang entah kapan. Dari raut wajahnya, terlihat sekali bahwa mereka sedang sibuk berbincang, sebelum akhirnya Leo muncul."Bagaimana? Apakah kau siap menghadapi para pemegang saham kali ini?" tanyanya setengah mengejek.Gadis itu tergelak, menertawakan sikap kekanakan Leo yang jelas saja ditunjukkan hanya untuk memanas-manasinya. Tangannya menggenggam lembaran dengan erat, berusaha menahan amarah. Sementara David dengan sigap menenangkan. Pria 40 tahun itu tak bisa tinggal dia ketika Leo mulai menggoda istrinya. Semain Clara terpancing, semakin mereka berada di titik terendah. Usi
"Semoga berhasil!"Seorang pria tambun menyalami Clara dan David secara bergantian. Senyumnya merekah, menyambut kedatangan penerus De Quinn dengan jiwa yang lebih muda lagi. Semangatnya meluluhkan separuh peserta rapat yang pada akhirnya memberikan kesempatan pada gadis 25 tahun itu untuk memimpin pabrik kecil mereka yang nyaris saja ditutup tahun ini.Leo dan Amy muncul di akhir. Keduanya tersenyum senang, karena sang keponakan nampak menurut dengan semua anjurannya. Tangannya terjulur, tanda memberikan selamat."Semoga ucapanmu tadi bukan hanya bualan belaka!" kata Leo dengan nada mengejek.Pria paruh baya itu masih percaya bahwa apa yang dilakukan oleh Clara dan David adalah hal yang sia-sia. Pabrik kecil itu sama sekali tak bisa diselamatkan, baik dari segi keuangan, juga sumber daya manusia. Masyarakat sekitar yang banyak bekerja di sana, memiliki perangai yang berbeda dari pabrik-pabrik mereka lainnya.Tak hanya itu, permasalahan limbah juga menimbulkan perselisihan dengan ling
"Tidak bisa! Ibu tidak bisa keliling sekarang!" jawab Ratna gugup.Wajahnya mendadak pucat pasi begitu mengetahui keinginan Clara untuk keliling di pabrik yang ia pimpin. Matanya mencari alasan yang mungkin bisa diterima oleh atasannya itu. Namun baru saja akan membuka mulut, tubuh wanita cantik itu sudah beranjak dari sofa."Sedang ada perbaikan di beberapa lokasi. Kami takut Ibu tak nyaman jika berkeliling saat ini."Clara mengernyitkan kening. Manik cokelatnya mengarah pada David yang menggeleng pelan. Sebelum sampai ke lokasi, keduanya sudah mencari tahu tentang pabrik tersebut. Dan sepanjang yang mereka ketahui, tak ada laporan yang mengatakan bahwa tengah diadakan perbaikan."Tak masalah, dengan begitu aku jadi tahu sejauh apa perkembangan pabrik ini," timpal Clara santai.Tangannya sudah menggapai tas mahal yang sejak tadi ia bawa. Langkah kakinya mantap, bergerak bersama David yang mengiringi di sisi. Keduanya tak mengindahkan basa-basi dari Ratna yang terus saja mengoceh bahw
BRUGH!Ratna menurunkan laporan yang baru saja ia bongkar dari gudang tepat di depan dua atasannya. Wajahnya masih sama, gugup, seolah baru saja melakukan dosa besar. Matanya mengamati, apa yang akan dilakukan oleh keduanya pada berkas-berkas itu."Kau boleh pulang!" kata Clara dengan senyum mengembang.Sontak hal itu membuat Ratna kebingungan. Matanya coba mencari jawaban pada David yang diam dengan tangan mulai mengambil salah satu laporan yang ada di paling atas tumpukan. Ia sama sekali tak tertarik dengan perbincangan dua wanita itu."T-tapi saya bisa di sini menemani Ibu dan Bapak, siapa tahu ada laporan yang membingungkan atau ada...""Kamu pikir saya bodoh?" tanya Clara dengan nada kesal. "Hah? Bu-bukan begitu, maksud saya, siapa tahu Ibu butuh bantuan saya dalam mengoreksi laporan tersebut." Ratna kalang kabut karena baru saja membuat Clara tersinggung.Clara beranjak dari tempat duduknya. Kesabarannya mulai kembali setelah beristirahat sebentar, dan tentu saja dibantu dengan
"Clara, bangun! Clara, kita harus pergi sekarang juga! Clara, ayo!"Wanita cantik dengan beberapa kerutan di wajahnya nampak menggoyang-goyangkan tubuh gadis kecil yang tengah terlelap itu dengan sekuat tenaga. Namun tak ada reaksi apapun, kecuali geliat kecil dengan kelopak yang terbuka, menunjukkan sepasang manik cokelat yang indah."Ibu mau ke mana?" tanya gadis itu polos."Ke tempat yang jauh, pergi dari orang-orang jahat di sini!" jawabnya sembari mengendong Clara kecil."Aku tak mau! Lepaskan aku! Aku ingin disini!" teriakan Clara menggema, bersama tubuh besar yang tersentak di sisinya.David terjaga dengan posisi aktif sepenuhnya. Dilihatnya Clara yang masih tertidur di sofa panjang. Keringat bercucuran dengan gumam penolakan yang terus terdengar. Wajahnya mendekat, menyimak dengan baik apa yang gadis itu ucap."Aku tak mau! Ibu bisa pergi sendiri!" serunya parau.Otak David berpikir keras, bingung karena tak pernah sekalipun mendengarkan celoteh Clara tentang ibunya. Beberapa
"Kami sudah menikah, sah secara hukum dan agama!" Kilat cahaya berpendar bergantian. Para wartawan terlihat antusias mendengarkan Clara dan David yang duduk berdampingan sebagai sepasang suami-istri. Keduanya sama sekali tak menyangkal bahwa foto yang beredar adalah mereka."Jadi sejak kapan hubungan ini terjalin?" Seorang pria mengacung sembari menyampaikan pertanyaannya.Mendengar pertanyaan itu, Clara tersipu malu. Tangannya menutup bibir yang tersenyum. Pipinya merona, menunjukkan gerak tubuh yang sempurna. Tiba-tiba saja ia mengalungkan kedua tangannya di lengan sang suami."Aku diam-diam mencintainya. Ayahku sepertinya tahu, maka dari itu ia sering kali menjauhkan kami. Tapi sebelum ia pergi, pada pria inilah aku dititipkan. Jadi, aku rasa tak perlu menunggu waktu lama untuk menikah, walaupun hubungan kami baru sebentar."Manik Clara dan David bertemu, seolah memberi semangat satu sama lain. Pria itu tersenyum, sembari menggenggam jari-jari manis istrinya dengan lembut. Sandiwa
"Aku tak tahu kau pintar bersandiwara," celetuk Clara sembari masuk ke dalam ruangan mendiang sang ayah.Kantor yang luas dengan lukisan berukuran besar Bernardo terpampang nyata di tengah ruang. Matanya tajam, tepat ke arah tempat duduk empuk yang kini Clara tempati. Keduanya seolah saling berhadapan, seperti biasanya."Aku hanya mengikuti permainan yang sedang berjalan. Aku bisa menjadi apapun yang ku mau, tergantung situasinya. Karena begitulah manusia hidup, seperti air." David menjawab panjang lebar, berusaha menjelaskan dirinya pada sang istri yang baru dinikahinya beberapa hari.Nada bicaranya berubah, sesuai dengan bagaimana cara Clara bertanya. Gadis itu berubah drastis semenjak keluar dari mobil. Ekspresinya kembali dingin, seperti Nona Muda yang biasanya ia temui sehari-hari, kasar dan angkuh. Entah apa yang merasukinya, tapi jelas sekali terlihat perbedaannya."Apa kau juga bersandiwara di depan ayahku?" tanyanya pada David yang tercekat di sofa tamu.Matanya nyalang meng