Share

Tak Ingin Jatuh Cinta

"Urgh!" seru Clara kesal.

Sudah satu jam lamanya ia membolak-balikkan badan, tapi matanya tak jua terpejam. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Tapi yang jelas, ia terus melirik pria yang sejak tadi terlelap di sofa empuk dekat ranjangnya.

Tangannya menyentuh dada yang kembang kempis tak karuan. Jantungnya terus berdegup kencang, terutama saat melihat wajah David yang tengah mengarungi lautan mimpi. Dengan rambut klimis, jambang tipis dan deru napas yang membuat wajahnya semakin manis.

"Astaga!" serunya sembari menutup pipi tomatnya dengan selimut.

Ini bukan pertama kalinya ia memandangi wajah pengawal yang kini sudah sah menjadi suaminya. Tapi rasanya baru kali ini Clara merasa pria itu menarik. Garis wajah yang keras dan dingin hanya hiasan, karena nyatanya begitu lunak hatinya ketika berhadapan dengan wanita.

"Apa yang kau lakukan?"

"Hah? Apa?" tanya Clara yang terkejut begitu mendengar suara bariton David. Gadis itu beranjak dan melihat pria itu sudah dalam posisi duduk. "Kau tak tidur?" tanyanya lagi.

David menggeleng pelan, "Belum!"

Jawaban singkat itu membuat Clara menjadi salah tingkah. Ia tak menyangka bahwa pria itu ternyata hanya pura-pura terpejam. Padahal wanita itu sangat yakin bahwa suaminya telah terlelap.

"Ja-jadi kau pura-pura tidur?" tanya Clara setengah kesal.

"Aku berusaha untuk terlelap, tapi kau terlalu berisik!" jawabnya dengan wajah mengejek.

Clara memanyunkan bibir, tak terima dengan ucapan suaminya. Ia membuka selimutnya dan ikut duduk sembari menatap pria yang baru saja menjadi suaminya itu. Keinginannya untuk tidur sama sekali tak muncul, karena terngiang pelukan hangat David padanya.

Ini bukan pertama kalinya Clara berhubungan dengan laki-laki. Namun rasa yang diberikan David terasa berbeda. Ada ketulusan yang ia rasa, hingga menyentuh relung hatinya yang tak pernah sekalipun percaya akan cinta.

"Kau ingin ku ambilkan sesuatu?" tanya David yang mulai terbiasa untuk berbicara non-formal dengan istrinya sendiri.

Gadis itu menggeleng dengan cepat. Tak ada yang ia inginkan. Hanya ada satu hal, tapi rasanya malu untuk mengungkapkan. Apalagi jika mengingat bagaimana sikapnya pada David selama ini. 

Sebagai putri semata wayang dan juga pewaris runggal ayahnya, tentu ia banyak dihujani harta dan perhatian dari banyak orang. Semua itu membuat sikap tamak, sombong dan egois tumbuh seiring dengan bertambahnya usia, termasuk pada David yang kala itu menjadi salah satu pengawal ayahnya.

"Lalu?" tanya David yang memiliki jiwa melayani yang sangat baik. 

Dari wajah cantik yang nampak kebingungan itu, ia sadar betul bahwa istrinya tengah memikirkan sesuatu. Namun entah mengapa Clara tak jua membuka mulut. Gadis itu hanya diam sambil memainkan ujung selimut di tangannya.

"Tak ada," jawab Clara yang memastikan bahwa tak ada lagi yang ia inginkan.

"Ada yang ingin kau katakan?" tanya David yang kini berhasil membuat Clara mendongak. "Katakanlah!" katanya tanpa perlu menerima jawaban.

Clara mengatur ekspresinya yang entah bagaimana saat ini terlihat. Ditariknya napas dalam sebelum akhirnya membuka mulut perlahan. Manik abunya menatap wajah tampan yang duduk beberapa meter di hadapannya.

"Yang kau lakukan tadi, di kantor, itu..."

"Jangan salah paham!" potong David sebelum ada kesalah pahaman antara keduanya. "Aku hanya tak ingin orang lain melihatmu menangis dan menjadikan itu sebagai kelemahan. Karena posisimu saat ini terancam," jelasnya panjang lebar.

Bibir kecil itu membulat, tanda mengerti bahwa semua yang dilakukan suaminya hanya untuk melindungi istrinya. Atau mungkin semua dilakukan David untuk membalas kebaikan ayahnya, seperti yang sudah-sudah.

"Apa kau pikir aku melakukannya karena hal lain?" tanya pria itu dengan nada mengejek.

Sontak pertanyaan itu mengubah raut wajah Clara. Gadis itu menjadi salah tingkah dibuatnya. Pipi tomatnya bersemu, menunjukkan rasa malu karena sudah salah paham. Namun dengan cepat ia bisa menyembunyikan semua itu dengan cara memalingkan muka.

Sayangnya gelak tawa David terdengar jelas dari sudut kamar. Pria itu telah melihat perubahan wajah yang signifikan terjadi pada istrinya. Tubuhnya beranjak, mendekat ke arah ranjang yang langsung membuat Clara mundur.

"Aku melakukannya untuk ayahmu, tak ada alasan lain!" tegasnya menahan senyum di wajah kakunya.

"A-aku tahu!" seru Clara tak terima dengan tuduhan dari suaminya. "Ja-jangan besar kepala!" katanya seraya menghempaskan selimut kasar. 

Gadis itu memilih untuk turun dari ranjang empuknya dan berjalan pelan ke arah jendela besar yang mengarah pada balkon. Matanya menerawang halaman belakang yang nampak sepi. Manik abu itu terangkat ke atas langit, di mana bulan bersinar dengan indahnya.

"Kau tak perlu khawatir, aku tak akan jatuh cinta padamu, atau siapapun di dunia ini!" tegasnya dengan kepala penuh ingatan masa lalu yang membuatnya begitu takut untuk mencintai seseorang.

"Oh ya?" David tergelak tak percaya.

Tubuh besar itu mengikuti langkah Clara yang kini terhenti di depan jendela. Berbeda dengan sang istri, manik gelapnya malah terarah pada kecantikan gadis yang baru saja menginjak usia 25 tahun. Binarnya menunjukkan rasa bangga karena masih bisa melihat putri semata wayang Bernardo yang masih bertahan dalam kondisi tersulit sekalipun.

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa perasaan itu tak mungkin ada?" tanyanya penasaran.

Bibir merah jambu yang kini mengerucut itu nampak bergerak tak jelas, tanda sang pemiliknya tengah berpikir keras. Ada satu jawaban yang sesungguhnya tak ingin ia ungkapkan. Namun melihat sosok David, rasanya mulutnya tak ingin henti berbicara.

Pria itu memberikan banyak perasaan untuk Clara selama beberapa hari terakhir. Senang, sedih, bimbang dan bingung, semua ia jalani dengan David berada di sisinya. Tak sedetikpun ditinggalkannya sang istri.

"Karena tak ada yang abadi, termasuk perasaan itu. Mungkin hari ini kau berada di sini, di sisiku. Tapi aku tak pernah tahu kapan kau akan pergi ke pihak Pamanku," katanya seraya tersenyum kecut. David baru saja akan membuka mulutnya, namun tangan gadis itu terulur tepat di depan dadan, memberi kode bahwa apa yang ia ucapkan belum usai. "Seperti ibuku yang tiba-tiba bisa pergi meninggalkan anak dan suaminya," tambahnya diakhiri sebuah senyum kepedihan.

Sontak mulut David terkunci rapat. Kalimat yang akan ia ungkap tadi tertelan kembali, tak mampu terucap karena jawaban Clara lebih menusuk ke hati. Namun senyuman di wajah cantik itu menunjukkan sebuah ketegaran.

"A-aku..."

"Ku pastikan tak akan ada yang bisa menjatuhkan hatiku seperti apa yang sudah ibuku lakukan!" katanya penuh penekanan.

"Bagaimana jika seseorang berhasil melakukannya?" 

Pertanyaan dari David balik membuat Clara tercengang. Gadis itu tak pernah membayangkan dirinya jatuh cinta pada seorang pria. Dekat dengan seseorang, bermain dengan perasaan, adalah hal yang biasa baginya. Tapi sekalipun tak pernah ada yang berhasil menyentuh hatinya.

Otaknya berusaha mencari jawab yang seumur hidup tak pernah ia dapatkan. Matanya membalas tatapan David yang terus menunggu dengan rasa penasaran. 

"Aku tak tahu, tapi kalau itu kau, mungkin akan ku pertimbangkan!" katanya diakhiri tawa canda yang mampu membuat jantung David berhenti untuk beberapa detik.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status