Share

Takdir yang Mempertemukan

"Pengantin wanita dipersilakan untuk masuk!"

Clara menarik napas dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam gereja kecil yang berada di pinggir kota. Manik abunya mengambang penuh air mata begitu pintu terbuka dan menunjukkan isi di dalam ruangan yang tak diisi banyak orang. Hanya ada Leo dan Amy yang duduk di sisi kiri, sebagai perwakilan keluarganya. Sementara Tuang Charles, pengacara pribadi keluarga, mewakili keluarga dari David yang diketahui adalah seorang yatim piatu.

Gadis itu hampir saja tersandung saat berjalan sendiri, tanpa sosok ayah yang mengantarkannya sampai ke altar. Hatinya remuk, tak pernah membayangkan pernikahan kecil yang diselenggarakan sembunyi-sembunyi agar tak ada wartawan yang meliput. 

Sementara di altar, telah berdiri pengantin pria tampan dengan jas berwana putih, persis seperti gaun yang kini dikenakan Clara. Setangkai mawar menghiasi kantong kirinya, membuat tubuh tegap itu semakin sedap dipandang. Senyumnya lebar, menyambut pengantin cantik dengan mini dress sederhana bersama buket bunga di tangannya.

"Tersenyumlah, ayahmu sedang menyaksikan dari atas sana!" bisik David ketika menyambut calon istrinya.

Gadis itu menyunggingkan senyum walau terasa berat sudut bibirnya terangkat. Namun akhirnya wajah itu bersemu merah ketika kata 'cantik' keluar dari mulut David. Setidaknya ada pujian yang mampir walau tak sepenuhnya mengobati luka di hatinya hari itu.

Seorang pendeta masuk, memimpin acara dengan khidmat. Tak ucapan selamat, riuh tepuk tangan apalagi pesta. Janji pernikahan yang terucap telah tercatat secara hukum dan agama. Hubungan keduanya telah sah, dan tamu-tamu itu pun pergi tanpa kata. Kecuali Charles, pria tua yang memeluk pasangan pengantin itu dengan tangis.

"Kalian harus bahagia," pesannya sebelum benar-benar meninggalkan pasangan itu berdua saja.

Clara tertunduk lesu, duduk diam menatap patung salib yang bertengger indah, menunjukkan siapa sang penguasa hidupnya kini. Hanya dalam hitungan hari semua yang ia miliki direnggut paksa. Ayah, kekayaan, kekuasaan hingga kehidupan bebasnya, hilang tak tersisa.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya David yang mengambil posisi tepat di sisi Clara.

Manik abu itu melirik sebentar, lalu kembali memandangi kursi-kursi kosong yang harusnya penuh haru nan bahagia di hari pernikahannya. Sayang itu semua hanya mimpi yang tak akan pernah terjadi. 

"Maaf bila akhirnya kau harus ikut masuk ke dalam nerakaku," katanya tercekat. "Akupun berharap kau tak pernah ada di sini," tambahnya menitikkan air mata penuh rasa bersalah.

Ingatannya kembali pada malam di mana ia harus terbawa arus dari obat yang sengaja dimasukkan ke dalam minumannya. Jika saja waktu bisa diulang kembali, ia pasti memilih untuk mengikuti kehendak sang ayah dan hidup di neraka lain yang mungkin tak akan melibatkan orang lain.

"Harusnya kemarin aku menemui pria itu, menikah dengannya dan hidup tanpa perlu merepotkanmu seperti ini," sesalnya.

Air matanya terus mengalir, bersama napas yang mulai sesenggukan. Tangannya terangkat, berusaha untuk menutupi wajah yang pasti berantakan. Tak dihiraukan David yang sejak tadi memandang sedih melihat istrinya yang begitu terpuruk.

Walau tak ada rasa cinta di hati keduanya, wajar saja jika pria itu merasa kasihan. Ia hidup bersama Clara tak hanya setahun atau dua tahun. Sifat dan sikap asli sang nona muda yang dipahaminya betul membuat keduanya cukup dekat, walau jarang berinteraksi. 

Tangan besarnya terulur, merengkuh bahu yang sejak tadi bergoyang kencang bersama tangis yang pecah. Ditariknya pelan kedua tangan Clara, hingga kedua mata mereka bertemu. Ia tersenyum, berusaha untuk menunjukkan kondisinya baik-baik saja. 

"Ku rasa nerakamu tak seburuk itu," kata David yang membuatnya jadi lelucon. 

Clara tergelak, menertawakan sebuah candaan tua yang harusnya tak begitu lucu baginya. Namun menertawakan takdir seperti yang dilakukan David nampaknya cukup menghibur diri. Hatinya hangat, melihat pengawal pribadinya baik-baik saja. 

"Kau terlalu jumawa, Tuan David!" balas Clara yang kini mulai bisa tersenyum.

"Aku belajar darimu, Nona Clara!" timpalnya tak mau kalah. Keduanya tergelak bersama, menertawakan nasib buruk yang bertubi melanda. "Atau harus ku panggil kau dengan sebutan, Istriku?" tanyanya seraya mengangkat kedua alisnya.

Gadis itu terhenyak, baru sadar bahwa ada benda melingkari jari manis keduanya. Maniknya bergerak cepat, berusaha mengalihkan pembicaraan. Wajahnya ikut berpaling, tak ingin ucapan itu akhrinya berlanjut.

Namun David malah menarik dagunya pelan, hingga manik mereka bertemu kembali. Tatapannya berubah serius, padahal baru beberapa detik lalu keduanya bercanda. Tubuh tegapnya memberikan intimidasi pada lawan bicaranya yang menciut seketika. Jarak usia yang terbentang di antara keduanya menunjukkan kelas yang berbeda. 

"Aku tak akan memaksamu melakukan apapun yang tak kau inginkan," kata David membuka perbincangan serius untuk hubungan keduanya yang belum sempat dibicarakan. Hanya satu tujuan yang sama, tanpa rencana yang jelas. "Aku tahu kau tak menginginkan pernikahan ini, maka dari itu tak akan ada paksaan dari ku. Katakan saja jika kau ingin pergi dan mengakhiri semuanya." tambahnya.

David menarik napas dalam sebelum menutup rentetan perasaannya saat ini. "Kau tak perlu khawatir, aku akan di sini, menjagamu, menemanimu hingga semua terungkap!" tegasnya.

Jantung Clara rasanya berhenti berdetak. Ia tak tahu bahwa David bisa menyikapi semuanya dengan begitu dewasa. Tidak seperti dirinya yang entah bagaimana harus menjalani hari. Tangannya bergetar, gugup mendengar setiap kata yang bak janji setia seorang prajurit.

"Apa kau melakukan ini karena uang ayahku?" tanya gadis itu tanpa basa-basi.

David tergelak, nyaris menertawakan begitu picik isi kepala gadis itu. Usia muda dan minim pengalaman membuat Clara tak bisa melihat ketulusan yang saat ini ia lakukan.

"Apa aku masih bisa mendapatkan uang ketika saat ini kau kehilangan segalanya?" Pria itu balik mempertanyakan kondisi Clara yang saat ini begitu terpuruk. "Aku hanya ingin berterima kasih pada ayahmu, tak kurang dan tak lebih!" tegasnya penuh penekanan.

Air mata di pelupuk mata gadis itu tumpah tak karuan. Harunya menjadi, merasa bersyukur untuk semua kebaikan sang ayah yang entah apa, karena ia sendiri tak pernah tahu hubungan yang terjalin antara Bernardo dan David.

Ingatannya kembali pada sosok pria dewasa yang masuk ke dalam rumahnya, mendampingi sang ayah dan tiba-tiba saja menjadi pimpinan seluruh keamanan di sana. Usianya masih 15 tahun kala itu, tapi ia tahu bahwa David mengalami banyak hal berat selama berada di rumahnya. Apalagi sebagai orang baru yang langsung menjabat sebagai atasan, pria itu banyak dirundung oleh seniornya dan dihadapinya seorang diri. Tak hanya itu, David tak jarang harus kerepotan mencari Clara kecil yang kala itu hobinya bolos sekolah, kabur dari rumah atau bahkan bertengkar di sekolah hanya untuk mendapat perhatian sang ayah.

"Kita harus pergi!" kata David yang membangunkan istrinya dari lamunan.

"Ke mana?" tanyanya.

"Pamanmu ingin kita ikut rapat pemegang saham," jawabnya dengan wajah serius. 

Clara diam sejenak. Ia belum mempersiapkan apapun untuk bertemu dengan orang-orang itu. Jantungnya berdetak cepat, bersama keringat dingin yang membasahi tubuh. Tiba-tiba saja tangan besar David mengelus lembut bahunya, coba menguatkan.

Namun dengan Clara menghindar dan menepis kasar. Matanya melotot, tak suka. "Jangan sentuh aku!" perintahnya sembari menunjuk wajah sang suami. "Di atas kertas, kau memang suamiku. Tapi di sini, aku masih atasanmu!" tegasnya seraya pergi meninggalkan David yang menarik napas dalam.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status