Ivy terbangun dengan kepala yang terasa berat. Ia beberapa kali mengerjapkan matanya, dan menatap Evan yang tertidur di bawahnya. Ia kini mengerti mengapa tubuhnya terasa begitu lengket.Ivy mencoba untuk bangun karena merasa tidak nyaman di bagian inti tubuhnya, seperti ada yang mengganjal di bawah sana. Saat itulah ia sadar bahwa penyatuan mereka belum dilepas semenjak tadi malam. Ia tersenyum tipis saat mengingat kejadian tadi malam.Namun senyumnya perlahan memudar saat Ivy merasakan gatal dan perih yang luar biasa di wajahnya. Padahal ia sudah memperingatkan Evan untuk tidak menyentuh wajahnya, namun pria itu sepertinya lupa dan mengabaikan peringatan itu.Dengan perlahan Ivy menarik tubuhnya, dan mengubah posisinya menjadi duduk. Ia lalu mencari pakaiannya yang entah kemana. Ia ingin segera kembali ke kamar untuk mandi, namun tanpa pakaian ia takut akan ada pelayan melihatnya. "Lagi cari apa?" tanya Evan dengan suara serak.Ivy seketika menoleh ke arah pria yang ternyata sudah
Ivy langsung mengambil nasi dan lauk begitu sampai di dapur. Ia tak perlu mengambil air minum karena di ruang kerja Evan sudah terdapat air galon sendiri.Tak membutuhkan waktu yang lama untuk Ivy kembali naik ke lantai dua. Ia membuka pintu ruang kerja Evan secara perlahan. Di sana ia melihat pria itu sedang duduk di kursi sambil memejamkan matanya. Pria itu tampak begitu pulas, padahal dirinya hanya pergi ke dapur sebentar.Melihat suaminya tampak begitu kelelahan, Ivy memilih untuk langsung meletakkan makanan di meja dan akan pergi setelah itu. Namun baru saja berjalan satu langkah, suara berat pria itu menghentikan langkahnya. “Mau ke mana? Di sini aja dulu.”Ivy pun menoleh dan menatap pria yang masih memejamkan matanya itu.“Maksudnya? Kamu jadi makan atau langsung tidur?” tanyanya merasa heran.“Jadi. Bentar ya, tunggu lima menit, saya ngantuk banget,” balas Evan dengan suara serak.“Ya udah, kalau gitu aku balik ke kamar ya,” pamit Ivy. Namun Evan menggeleng.“Di sini aja d
Balasan Evan sesuai dengan dugaan Ivy. Walaupun sebenarnya pria itu tidak bermaksud untuk membentak, namun menurut perempuan seperti Ivy yang hatinya sensitif, perkataan pria itu begitu menyakiti perasaannya. Sekarang Ivy menyesal karena sudah mencemaskan Evan. Ia menganggap suaminya itu tidak menghargai usahanya. Padahal sebenarnya seorang pria memang cenderung berpikir menggunakan logika, tidak seperti dirinya yang lebih berpikir menggunakan perasaan.Evan menganggap kalau dirinya akan makan dengan sendirinya tanpa disuruh oleh orang lain, sementara Ivy berpikir sebaliknya. Ivy pun langsung berdiri dari kursi. Ia menatap Evan yang kini menatapnya dengan bingung. Pria itu tidak tahu kalau ucapannya sudah membuat istrinya tersakiti. “Aku emang salah ya udah cemasin kamu. Kamu semenjak kita pulang dari klinik belum keluar dari ruang kerja sama sekali. Aku Cuma pengin tahu kamu udah makan malam atau belum tapi itu salah? Salah kalau sebagai istri kamu, aku perhatian sama kamu?” tanya
Ivy melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Evan belum juga keluar dari ruang kerjanya semenjak mereka sampai di rumah tadi sore. Ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh pria itu. Apakah pria itu benar-benar melakukan pekerjaan kantor, atau justru melakukan hal lain untuk melupakan kejadian hari ini.“Evan kayaknya belum makan malam deh. Apa aku samperin aja yah?” tanya Ivy kepada dirinya sendiri. Sedari tadi ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Ia ingin menawarkan Evan makan malam namun merasa ragu. Ia takut pria itu masih ingin sendiri dan tidak ingin diganggu oleh dirinya sekalipun. “Udahlah. Ngapain juga aku mikirin dia? Nanti kalau laper juga dia pasti bakal ambil makanan sendiri,” gumam Ivy. Ia berpikir kalau Evan bukanlah pria manja yang akan berhenti makan hanya karena sedang menjalani hari-hari yang berat.Ivy tahu bahwa Evan pasti sering mengalami kejadian tidak terduga di kantor. Tapi buktinya pria itu tetap bersikap tenang dan menghabiskan ma
“Inget. Kenapa emangnya?” tanya Evan masih belum memahami hubungan antara Owen dan saat di mana ia sedang bertengkah dengan Ivy karena Naufal.Ivy menghela napas panjang sebelum kembali bercerita. “Nah, waktu itu kan kamu bener-bener marah sampai ngga pulang berhari-hari. Terus Owen datangin aku, dan dia bilang ke aku buat jangan terlalu khawatir dan ngasih kamu waktu sendiri,” jelasnya sambil mengingat-ingat saat di mana Owen mendatanginya. “Terus habis itu?” tanya Evan terlihat tidak sabar. Ia menatap wajah Ivy lekat-lekat seolah tidak ingin tertinggal satu kata yang terucap dari bibir istrinya. Namun sebaliknya, Ivy yang ditatap seperti itu merasa terintimidasi. Ia pun mengalihkan pandangan agar mereka tidak saling bertatapan. “Habis… habis itu dia cerita tentang masa lalu kamu sama Adelia. Dia cerita kalau dulu kamu pernah di selingkuhi sampai Adelia hamil, dan yang bikin sedihnya lagi, selingkuhannya itu temen kamu sendiri,” lanjutnya dengan hati-hati. Evan mendengarkan dengan
“Seriusan kamu udah tahu semuanya? Kamu tahu dari siapa? Dari bunda yang cerita?” tanya Evan memberikan pertanyaan beruntun kepada Ivy. Ia merasa begitu heran. Seingatnya ia tidak pernah menceritakan mengenai masa lalunya kepada istrinya itu. Tidak satupun ia ceritakan. Di balik wajah dinginnya pria itu memang menyembunyikan sesuatu yang begitu membuatnya trauma. Berbanding terbalik dengan Evan yang memasang wajah serius dan rasa ingin tahu yang begitu tinggi, Ivy justru semakin melebarkan senyumannya, seolah hal itu bukan masalah besar. “Aku kasih tahu ngga ya? Tapi orang yang cerita ke aku itu bilang supaya kamu jangan sampe tahu kalau dia udah cerita semuanya,” ucap Ivy bermaksud untuk meledek dan mencairkan suasana tegang di antara mereka.Namun sepertinya Evan menganggap serius perkataan Ivy. Ia kini justru menatap wanita di depannya itu dengan tatapan tajam.“Saya serius pengin tahu. Siapa yang udah ceritain hal itu ke kamu? Dan kenapa orang itu ngga mau saya tahu?” tanyanya