LOGINSejak malam itu, saat mata Arsya menyaksikan sendiri pengkhianatan Bima dan Resa, kehidupannya benar-benar berubah. Semua yang dulu ia bangun dengan penuh cinta hancur dalam sekejap. Hubungan rumah tangganya yang semula kokoh kini runtuh bagaikan bangunan tua yang diterpa badai.
Bima tidak lagi menutupi kedekatannya dengan Resa. Jika sebelumnya ia masih berpura-pura sibuk kerja atau berdalih pulang larut karena lembur, sekarang ia bahkan berani terang-terangan tidak pulang berhari-hari. Ketika Arsya bertanya, ia hanya menjawab singkat dengan nada sinis, “Kenapa kamu ribut terus? Aku muak, Sya. Kamu nggak pernah ngerti aku.” Hati Arsya seperti ditikam, matanya menatap nanar punggung Bima. Bagaimana bisa ia dituduh tidak mengerti, padahal selama ini dialah yang selalu setia menemaninya sejak nol? Ia yang mengurus rumah, mendukung Bima ketika sulit, bahkan rela mengorbankan mimpinya sendiri demi keluarga kecil mereka. Namun semua itu seolah tak berarti apa-apa di mata Bima. Ia terlihat seperti beban di matanya. Seolah semuanya telah terencana, Pelan tapi pasti Resa mengambil ruang yang seharusnya menjadi milik Arsya. Kadang Bima pulang membawa Resa, tanpa sedikit pun merasa bersalah. Resa duduk di ruang tamu dengan sikap penuh percaya diri, seakan rumah itu sudah menjadi miliknya. Reysa, yang masih kecil, sering bingung melihat ayahnya bersama “Tante Resa”. Arsya tidak tahan, tapi setiap kali ia mencoba melawan, Bima akan membentaknya. “Cukup, Sya! Jangan bikin malu diri kamu sendiri. Resa ada karena kamu nggak bisa jadi istri yang baik!” Bima masih memandang Arsya dengan tatapan sinis. “Kamu harusnya sadar sama penampilanmu sekarang.” Arsya terperanjat. Ia ingin menjerit, ingin melawan, tapi suaranya tercekat. “Haa.. hahaha… hahaha,” pada akhirnya yang keluar hanyalah tawa sumbang. Sahabat yang dulu ia percaya, kini duduk di hadapannya sebagai perusak rumah tangga. Sementara suaminya, yang pernah berjanji setia sampai mati, justru memihak wanita itu. ------------------------------------------------------------------------- Hingga akhirnya, Bima menjatuhkan keputusan terburuk yang bisa ia bayangkan. Suatu malam, setelah pertengkaran panjang, Bima melemparkan sebuah map ke meja. “Aku nggak bisa lagi hidup sama kamu. Kita cerai saja, Sya.” Arsya terdiam, tubuhnya gemetar memandang map yang tergeletak di atas meja. Kata-kata itu bagai petir di siang bolong. Ia tahu rumah tangganya goyah, tapi tidak pernah ia bayangkan Bima benar-benar tega mengucapkannya. “Bima… kamu sadar nggak apa yang kamu bilang? Kita punya anak… Reysa butuh kita berdua…” Namun Bima tetap dingin. “Reysa tetap anakku. Justru dia lebih pantas ikut sama aku. Kamu nggak akan bisa ngurus dia sendirian.” Mendengar itu membuat air mata Arsya jatuh deras. “Jangan… jangan ambil anakku, Bim. Tolong, jangan pisahin aku dari Reysa…” Arsya menarik tangan Bima, ia menggeleng, memohon. Namun Bima tidak peduli. Dengan dukungan Resa yang selalu berada di sisinya, ia tetap mengajukan gugatan cerai. Arsya berusaha melawan, namun ia tak punya kekuatan, apalagi biaya untuk mengurus perlawanan di pengadilan. Semua proses berjalan cepat, seakan dunia memang berpihak pada Bima dan Resa. Pada akhirnya hari itu tiba. Arsya resmi bercerai dengan Bima. Rumah yang dulu mereka bangun bersama, rumah yang dipenuhi kenangan, kini bukan lagi miliknya. Bima mengusirnya tanpa belas kasihan. “Kamu pergi dari sini. Rumah ini atas nama aku. Kamu nggak punya hak tinggal di sini lagi.” Arsya hanya berdiri di depan pintu dengan koper kecil di tangannya. Ia merasa seperti seorang pengemis di tempat yang dulu ia sebut rumah. Di samping Bima, Resa berdiri dengan wajah penuh kemenangan. Namun yang paling menghancurkan adalah ketika Rayan berlari kecil menghampiri ibunya. “Mama… ikut Reysa ya? Jangan tinggalin Reysa…” Tangisan Reysa merobek hati Arsya. Ia berlutut, memeluk anaknya erat-erat. “Reysa… Mama nggak mau ninggalin kamu. Mama sayang banget sama kamu, Nak.” Namun Bima menarik lengan Reysa kasar, memisahkan mereka. “Cukup! Reysa ikut aku. Kamu nggak bisa larang!” Reysa menangis, berteriak memanggil ibunya, sementara Arsya hanya bisa menangis tak berdaya. Ia ingin merebut anaknya, tapi tubuhnya lemah, dan Bima terlalu kuat. “Bima… kembalikan anakku! Bima…” Resa yang melihat itu segera menutup pintu rumah, sebelum itu ia sempat memandang remeh pada Arsya. Di situlah Arsya benar-benar merasa dunianya hancur. ------------------------------------------------------------------------- Hari-hari berikutnya, Arsya hidup sendirian. Ia menumpang di rumah seorang kerabat jauh, mencoba bertahan meski hatinya hancur. Setiap malam, ia menangis merindukan Reysa. Ia mencoba menghubungi Bima, namun jarang diangkat. Sesekali ia bisa bicara dengan anaknya lewat telepon. Suara Reysa terdengar lirih, kadang penuh tangis. “Mama… Reysa takut. Papa sering marah. Tante Resa juga marah-marah sama Reysa…” Hati Arsya tercekat, mendengar aduan anaknya. “Tunggu mama ya sayang… mama pasti jemput Reysa.” Ia ingin segera menjemput anaknya, namun ia tak punya kuasa. Secara hukum, hak asuh jatuh ke tangan Bima. Kabar buruk datang bertahap. Dari tetangga dekat rumah Bima, Arsya mendengar bahwa Reysa sering ditinggal sendirian, bahkan kadang disiksa. Ia tak percaya awalnya, tapi setiap kali mendengar suara anaknya di telepon, kecurigaan itu semakin kuat. “Mama… perut Reysa sakit. Tante Resa cubit Reysa…” Arsya menangis sejadi-jadinya setelah menutup telepon itu. Ia ingin menolong, tapi ia tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya seorang wanita sendirian, tanpa dukungan, tanpa kuasa hukum. Hingga hari paling kelam itu tiba. Pagi-pagi, Arsya mendapat kabar dari tetangganya bahwa Reysa dilarikan ke rumah sakit. Jantungnya langsung serasa berhenti. Ia berlari sekuat tenaga menuju rumah sakit, tanpa peduli wajahnya pucat dan langkahnya goyah. Di ruang gawat darurat, ia melihat tubuh kecil Reysa terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya penuh memar, wajahnya pucat, napasnya tersengal. Arsya menjerit, memanggil nama anaknya sambil menggenggam tangannya erat. “Reysa! Mama di sini, Nak… Mama di sini…” Reysa membuka mata perlahan, tersenyum tipis. “Mama… Reysa kangen…” Air mata Arsya mengalir deras. “Mama juga kangen, Sayang. Maafin Mama nggak bisa lindungin kamu…” Arsya terus menggenggam tangan itu, enggan melepaskannya. Namun sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Perlahan mata Arsya terpejam, tubuh kecil itu terdiam. Detak jantungnya berhenti. Monitor di samping ranjang berbunyi panjang. Sesaat keheningan menguasai Arsya, sebelum… Arsya menjerit histeris. Dunia runtuh, benar-benar runtuh. Anak yang menjadi alasan ia bertahan hidup, kini pergi meninggalkannya. “Re… resya” Arsya masih berusaha menggoyangkan tubuh anaknya. “Sayang! Bangun sayang ngga ninggalin Mama kan? Reysa bilang kangen Mama kan? Bangun ya, Mama janji bawa kamu pulang…” “Maaf bu, tapi anak ibu sudah tiada.” Perawat yang melihat Arsya terus menggoyangkan tubuh Resya membuatnya maju, berusaha menghentikan. Ucapan itu sukses membuat Arsya berhenti, menoleh pada perawat itu. Kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya, Arsya jatuh terduduk dilantai rumah sakit. “Kita pulang sayang…” ------------------------------------------------------------------------- Pemakaman Reysa berlangsung sederhana. Arsya berdiri di samping pusara kecil, tubuhnya gemetar, wajahnya basah oleh air mata. Ia merasa kosong, hampa. Resa tidak muncul, sementara Bima hanya berdiri jauh dengan wajah dingin, seolah kematian anaknya bukan apa-apa. Di hadapan pusara itu, Arsya berjanji pada dirinya sendiri. “Reysa… Mama janji, semua orang yang bikin kamu menderita akan bayar. Mereka akan merasakan sakit yang lebih dalam dari yang kamu rasakan…” Sejak hari itu, api dendam menyala di dalam hatinya. Ia tahu ia sudah kehilangan segalanya—rumah, suami, sahabat, anak. Tapi justru dari kehancuran itu, ia akan bangkit.Pagi itu, suasana kantor tampak seperti biasa. Semua berjalan normal, namun di balik aktivitas yang terlihat rutin, tiga wanita yang selama ini menjadi duri bagi Arsya telah menyusun rencana baru. Rencana yang jauh lebih keji dari sebelumnya.Setelah kegagalan mereka kemarin yang malah berakhir dengan kekalahan memalukan, mereka tidak mau lagi sekadar bermain-main. Rasa iri yang sudah membakar mereka semakin menjadi-jadi setelah melihat Arsya kembali bekerja dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, dari pengamatan mereka, hubungan Arsya dengan Yasa tampak semakin dekat. Yasa mulai lebih sering memanggilnya ke ruangannya, memberinya tugas-tugas penting, bahkan beberapa kali terlihat mengajaknya bicara dengan nada yang tidak pernah mereka dapatkan selama bertahun-tahun bekerja.“Lihat aja tuh,” desis Rita, matanya tak lepas dari meja Arsya. “Dikasih perhatian lebih, disenyumin pula sama Pak Yasa. Padahal kemarin abis gue jambak tuh orang.”“Dan dia balik lagi kayak nggak ada a
Hari itu, suasana kantor terlihat seperti biasa. Aktivitas berjalan norma deru printer, suara langkah terburu-buru pegawai yang berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, dan aroma kopi yang samar menyelimuti lantai tempat Arsya bekerja. Namun, ada satu hal yang masih belum reda, gosip tentang dirinya.Sejak ia membawa bekal buatan sendiri dan memberikannya kepada Yasa, topik itu seperti api kecil yang terus dikipasi agar menyala. Beberapa staf perempuan, terutama yang merasa memiliki kedekatan lama dengan Yasa atau sekadar ingin diakui keberadaannya, semakin panas hatinya. Mereka tidak mengerti bagaimana seorang wanita yang baru beberapa minggu bekerja di sini bisa mendapatkan perhatian khusus dari sang pemilik perusahaan.“Lihat saja tadi pas makan siang,” bisik seorang pegawai di pantry, menahan suara agar tak terlalu jelas terdengar. “Pak Yasa makan bekal dari dia. Gila nggak tuh? Selama gue kerja di sini, nggak pernah ada yang kayak gitu.&rdquo
Pagi itu, jam baru menunjukkan pukul lima lewat sedikit ketika Arsya membuka matanya. Cahaya matahari belum sepenuhnya menyentuh permukaan kota, hanya samar-samar menembus gorden tipis apartemen yang ia tinggali. Suasana masih sunyi. Udara pagi terasa sedikit dingin, membuat kulitnya merinding sejenak saat kakinya menyentuh lantai.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantung yang entah kenapa pagi ini terasa sedikit berbeda. Hari ini ia punya rencana kecil. Bukan rencana yang besar seperti balas dendam yang selama ini ia pendam, tetapi langkah sederhana yang mungkin saja bisa membuka jalur yang lebih luas menuju kepercayaan Yasa.Arsya melangkah ke kamar mandi, membiarkan air dingin mengalir di wajahnya. Selesai membersihkan diri, ia berdiri di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang masih basah. Ada sedikit lingkaran gelap di bawah mata akibat begadang beberapa malam lalu, namun itu bukan masalah. Ia tersenyum samar pada bayangannya, lalu melilitkan
Hari-hari terasa berjalan dengan ritme yang berbeda bagi Arsya. Sudah hampir seminggu sejak ia resmi bekerja di perusahaan milik Yasa. Pagi, siang, hingga sore harinya kini dihabiskan di kantor besar itu, sebuah gedung tinggi yang berlapis kaca dengan suasana yang awalnya terasa asing, namun kini perlahan menjadi tempatnya belajar kembali mengenal dunia kerja.Sejak hari pertama ia diperkenalkan sebagai asisten pribadi Yasa di kantor, perhatian banyak mata seolah terus mengawalnya. Dari bisikan samar di balik meja, lirikan penuh rasa ingin tahu di lorong-lorong kantor, hingga tatapan sinis beberapa pegawai wanita yang merasa posisinya terusik. Arsya bisa merasakan semuanya, meski ia tidak menunjukkan reaksi berlebihan.“Katanya dia nggak punya pengalaman kerja di bidang ini sebelumnya, ya?” bisik salah satu karyawan yang melintas di dekat pantry.“Iya, tapi bisa langsung jadi asisten pribadi Pak Yasa. Coba bayangin, orang-orang di sini antri bertahun-tahun buat deket sama beliau,” sahu
Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d
Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A







