Home / Rumah Tangga / Jejak Luka, Jejak Cinta / Bab 5 Saat Segalanya Direbut

Share

Bab 5 Saat Segalanya Direbut

Author: Alfpaint
last update Last Updated: 2025-08-21 22:05:19

Sejak malam itu, saat mata Arsya menyaksikan sendiri pengkhianatan Bima dan Resa, kehidupannya benar-benar berubah. Semua yang dulu ia bangun dengan penuh cinta hancur dalam sekejap. Hubungan rumah tangganya yang semula kokoh kini runtuh bagaikan bangunan tua yang diterpa badai.

Bima tidak lagi menutupi kedekatannya dengan Resa. Jika sebelumnya ia masih berpura-pura sibuk kerja atau berdalih pulang larut karena lembur, sekarang ia bahkan berani terang-terangan tidak pulang berhari-hari. Ketika Arsya bertanya, ia hanya menjawab singkat dengan nada sinis,

“Kenapa kamu ribut terus? Aku muak, Sya. Kamu nggak pernah ngerti aku.”

Hati Arsya seperti ditikam, matanya menatap nanar punggung Bima. Bagaimana bisa ia dituduh tidak mengerti, padahal selama ini dialah yang selalu setia menemaninya sejak nol? Ia yang mengurus rumah, mendukung Bima ketika sulit, bahkan rela mengorbankan mimpinya sendiri demi keluarga kecil mereka.

Namun semua itu seolah tak berarti apa-apa di mata Bima. Ia terlihat seperti beban di matanya.

Seolah semuanya telah terencana, Pelan tapi pasti Resa mengambil ruang yang seharusnya menjadi milik Arsya.

Kadang Bima pulang membawa Resa, tanpa sedikit pun merasa bersalah. Resa duduk di ruang tamu dengan sikap penuh percaya diri, seakan rumah itu sudah menjadi miliknya. Reysa, yang masih kecil, sering bingung melihat ayahnya bersama “Tante Resa”.

Arsya tidak tahan, tapi setiap kali ia mencoba melawan, Bima akan membentaknya.

“Cukup, Sya! Jangan bikin malu diri kamu sendiri. Resa ada karena kamu nggak bisa jadi istri yang baik!” Bima masih memandang Arsya dengan tatapan sinis. “Kamu harusnya sadar sama penampilanmu sekarang.”

Arsya terperanjat. Ia ingin menjerit, ingin melawan, tapi suaranya tercekat.

“Haa.. hahaha… hahaha,” pada akhirnya yang keluar hanyalah tawa sumbang.

Sahabat yang dulu ia percaya, kini duduk di hadapannya sebagai perusak rumah tangga. Sementara suaminya, yang pernah berjanji setia sampai mati, justru memihak wanita itu.

-------------------------------------------------------------------------

Hingga akhirnya, Bima menjatuhkan keputusan terburuk yang bisa ia bayangkan.

Suatu malam, setelah pertengkaran panjang, Bima melemparkan sebuah map ke meja.

“Aku nggak bisa lagi hidup sama kamu. Kita cerai saja, Sya.”

Arsya terdiam, tubuhnya gemetar memandang map yang tergeletak di atas meja. Kata-kata itu bagai petir di siang bolong. Ia tahu rumah tangganya goyah, tapi tidak pernah ia bayangkan Bima benar-benar tega mengucapkannya.

“Bima… kamu sadar nggak apa yang kamu bilang? Kita punya anak… Reysa butuh kita berdua…”

Namun Bima tetap dingin. “Reysa tetap anakku. Justru dia lebih pantas ikut sama aku. Kamu nggak akan bisa ngurus dia sendirian.”

Mendengar itu membuat air mata Arsya jatuh deras. “Jangan… jangan ambil anakku, Bim. Tolong, jangan pisahin aku dari Reysa…” Arsya menarik tangan Bima, ia menggeleng, memohon.

Namun Bima tidak peduli. Dengan dukungan Resa yang selalu berada di sisinya, ia tetap mengajukan gugatan cerai. Arsya berusaha melawan, namun ia tak punya kekuatan, apalagi biaya untuk mengurus perlawanan di pengadilan. Semua proses berjalan cepat, seakan dunia memang berpihak pada Bima dan Resa.

Pada akhirnya hari itu tiba. Arsya resmi bercerai dengan Bima. Rumah yang dulu mereka bangun bersama, rumah yang dipenuhi kenangan, kini bukan lagi miliknya. Bima mengusirnya tanpa belas kasihan.

“Kamu pergi dari sini. Rumah ini atas nama aku. Kamu nggak punya hak tinggal di sini lagi.”

Arsya hanya berdiri di depan pintu dengan koper kecil di tangannya. Ia merasa seperti seorang pengemis di tempat yang dulu ia sebut rumah. Di samping Bima, Resa berdiri dengan wajah penuh kemenangan.

Namun yang paling menghancurkan adalah ketika Rayan berlari kecil menghampiri ibunya.

“Mama… ikut Reysa ya? Jangan tinggalin Reysa…”

Tangisan Reysa merobek hati Arsya. Ia berlutut, memeluk anaknya erat-erat.

“Reysa… Mama nggak mau ninggalin kamu. Mama sayang banget sama kamu, Nak.”

Namun Bima menarik lengan Reysa kasar, memisahkan mereka.

“Cukup! Reysa ikut aku. Kamu nggak bisa larang!”

Reysa menangis, berteriak memanggil ibunya, sementara Arsya hanya bisa menangis tak berdaya. Ia ingin merebut anaknya, tapi tubuhnya lemah, dan Bima terlalu kuat.

“Bima… kembalikan anakku! Bima…”

Resa yang melihat itu segera menutup pintu rumah, sebelum itu ia sempat memandang remeh pada Arsya.

Di situlah Arsya benar-benar merasa dunianya hancur.

-------------------------------------------------------------------------

Hari-hari berikutnya, Arsya hidup sendirian. Ia menumpang di rumah seorang kerabat jauh, mencoba bertahan meski hatinya hancur. Setiap malam, ia menangis merindukan Reysa.

Ia mencoba menghubungi Bima, namun jarang diangkat. Sesekali ia bisa bicara dengan anaknya lewat telepon. Suara Reysa terdengar lirih, kadang penuh tangis.

“Mama… Reysa takut. Papa sering marah. Tante Resa juga marah-marah sama Reysa…”

Hati Arsya tercekat, mendengar aduan anaknya. “Tunggu mama ya sayang… mama pasti jemput Reysa.”

Ia ingin segera menjemput anaknya, namun ia tak punya kuasa. Secara hukum, hak asuh jatuh ke tangan Bima.

Kabar buruk datang bertahap. Dari tetangga dekat rumah Bima, Arsya mendengar bahwa Reysa sering ditinggal sendirian, bahkan kadang disiksa. Ia tak percaya awalnya, tapi setiap kali mendengar suara anaknya di telepon, kecurigaan itu semakin kuat.

“Mama… perut Reysa sakit. Tante Resa cubit Reysa…”

Arsya menangis sejadi-jadinya setelah menutup telepon itu. Ia ingin menolong, tapi ia tidak tahu harus bagaimana. Ia hanya seorang wanita sendirian, tanpa dukungan, tanpa kuasa hukum.

Hingga hari paling kelam itu tiba.

Pagi-pagi, Arsya mendapat kabar dari tetangganya bahwa Reysa dilarikan ke rumah sakit. Jantungnya langsung serasa berhenti. Ia berlari sekuat tenaga menuju rumah sakit, tanpa peduli wajahnya pucat dan langkahnya goyah.

Di ruang gawat darurat, ia melihat tubuh kecil Reysa terbaring lemah di atas ranjang. Tubuhnya penuh memar, wajahnya pucat, napasnya tersengal. Arsya menjerit, memanggil nama anaknya sambil menggenggam tangannya erat.

“Reysa! Mama di sini, Nak… Mama di sini…”

Reysa membuka mata perlahan, tersenyum tipis.

“Mama… Reysa kangen…”

Air mata Arsya mengalir deras. “Mama juga kangen, Sayang. Maafin Mama nggak bisa lindungin kamu…” Arsya terus menggenggam tangan itu, enggan melepaskannya.

Namun sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Perlahan mata Arsya terpejam, tubuh kecil itu terdiam. Detak jantungnya berhenti. Monitor di samping ranjang berbunyi panjang.

Sesaat keheningan menguasai Arsya, sebelum…

Arsya menjerit histeris. Dunia runtuh, benar-benar runtuh. Anak yang menjadi alasan ia bertahan hidup, kini pergi meninggalkannya.

“Re… resya” Arsya masih berusaha menggoyangkan tubuh anaknya. “Sayang! Bangun sayang ngga ninggalin Mama kan? Reysa bilang kangen Mama kan? Bangun ya, Mama janji bawa kamu pulang…”

“Maaf bu, tapi anak ibu sudah tiada.” Perawat yang melihat Arsya terus menggoyangkan tubuh Resya membuatnya maju, berusaha menghentikan.

Ucapan itu sukses membuat Arsya berhenti, menoleh pada perawat itu. Kakinya tak sanggup lagi menopang tubuhnya, Arsya jatuh terduduk dilantai rumah sakit.

“Kita pulang sayang…”

-------------------------------------------------------------------------

Pemakaman Reysa berlangsung sederhana. Arsya berdiri di samping pusara kecil, tubuhnya gemetar, wajahnya basah oleh air mata. Ia merasa kosong, hampa.

Resa tidak muncul, sementara Bima hanya berdiri jauh dengan wajah dingin, seolah kematian anaknya bukan apa-apa.

Di hadapan pusara itu, Arsya berjanji pada dirinya sendiri.

“Reysa… Mama janji, semua orang yang bikin kamu menderita akan bayar. Mereka akan merasakan sakit yang lebih dalam dari yang kamu rasakan…”

Sejak hari itu, api dendam menyala di dalam hatinya. Ia tahu ia sudah kehilangan segalanya—rumah, suami, sahabat, anak. Tapi justru dari kehancuran itu, ia akan bangkit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 21 Lingkup Baru

    Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 20 Berpamintan

    Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 19 Peran Baru

    Pagi itu, langit Jakarta tampak sedikit mendung, seolah menandai sebuah keputusan besar yang akan diambil Yasa. Ia duduk di ruang kerjanya yang luas, jari-jarinya mengetuk meja kayu mahal itu dengan ritme pelan. Sudah dua hari sejak pembicaraannya dengan Arsya mengenai ide apartemen yang disarankan oleh Deon. Waktu itu, ia sempat ragu, mempertimbangkan kembali kekhawatiran yang diutarakan gadis itu mengenai jarak yang mungkin mengganggu kelancaran rencana mereka. Namun, dua hari terakhir, gelagat ibunya mulai menunjukkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal itu membuat Yasa semakin tak tenang juga.Ditambah kemarin ibunya datang dengan alasan makan malam, Yasapun mau tak mau menyuruh Arsya ikut makan malam dengan mereka. Malam itu Herlina mulai bertanya-tanya lebih sering, mulai mengamati gerak-gerik Arsya dengan sorot mata yang penuh selidik. Tidak lagi hanya tersenyum ramah seperti sebelumnya, kini ada tatapan menyipit yang seolah ingin menguliti sandiwara mereka. Yasa tahu betul si

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 18 Tawaran yang Mengguncang

    Langkah-langkah Yasa bergema pelan di koridor rumahnya yang malam itu terasa lebih sepi dari biasanya. Ia baru saja pulang, masih mengenakan jas kerjanya yang rapi namun sedikit kusut akibat hari yang panjang. Pikiran tentang pembicaraannya dengan Deon terus berputar di kepalanya. Malam sebelumnya ia menghabiskan waktu memikirkan cara terbaik untuk menjaga sandiwara ini tetap berjalan. Dan malam ini, ia sudah memutuskan untuk membicarakannya langsung dengan orang yang bersangkutan, yaitu Arsya.Lampu-lampu rumah sudah redup, hanya beberapa sudut yang masih menyala. Langkahnya berhenti di depan ruang kerjanya. Pintu sedikit terbuka, dan dari celahnya ia melihat cahaya lampu meja menyala. Yasa mengerutkan kening.Siapa di dalam?Ia mendorong pintu pelan. Di sana, ia melihat Arsya sedang merapikan beberapa dokumen yang tampaknya tadi digunakan olehnya. Di atas meja, terletak secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul.“Oh, Tuan Yasa,” sapa Arsya segera, berdiri sedikit kikuk saat m

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 17 Rencana Deon

    Makan malam itu berjalan jauh lebih mulus dari yang Yasa perkirakan. Meja makan yang biasanya hanya menjadi tempat pertukaran basa-basi dingin, malam itu menjadi saksi percakapan ringan, tawa kecil, dan obrolan yang mengalir lebih hangat. Arsya memainkan perannya dengan sempurna, bahkan sesekali melempar gurauan yang membuat Ibu Herlina tersenyum samar, sebuah pemandangan langka yang selama ini sulit Yasa dapatkan, bahkan dari dirinya sendiri.Usai makan malam, mereka bertiga berbincang sejenak di ruang tamu. Herlina tidak banyak bicara, namun tatapan matanya cukup untuk membuat Yasa paham. Ibunya tidak sepenuhnya percaya, tapi ia memberi mereka kesempatan. Dan bagi Herlina, kesempatan adalah bentuk kepercayaan awal yang sangat berharga.Namun Yasa terlalu mengenal ibunya. Wanita itu tidak pernah benar-benar percaya hanya karena satu malam berjalan baik. Ia pasti akan menimbang, meneliti, menguji, dan jika perlu menggali sampai ke akar.Malam itu setelah pulang

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 16 Undangan Makan Malam

    Malam telah larut ketika Yasa duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni yang tertata rapi. Lampu meja yang redup memantulkan cahaya hangat, namun pikirannya terasa jauh lebih berisik dari keheningan malam itu. Telepon dari ibunya sore tadi masih terngiang jelas di telinganya nada suara Herlina begitu tegas, tak memberi celah untuk bernegosiasi. Yasa benar-benar di buat sakit kepala oleh ibunya."Kamu berani membawa wanita lain di kencan yang sudah Mami siapkan? Besok kamu ke rumah Ibu, dan bawa dia. Mami mau lihat wanita pilihanmu."Yasa mendesah berat, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tahu ibunya bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dibujuk. Herlina memiliki ingatan yang tajam, matanya selalu awas, dan setiap gerak-gerik kecil tidak pernah luput dari perhatiannya. Membawa Arsya ke hadapan ibunya sama saja seperti membawa seekor rusa ke kandang singa, bisa saja semua kedok mereka terbongkar dalam sekejap. Harusnya ia juga mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status