Dalam ruang kerja Presdir sebuah perusahaan, Akbar (34 tahun) yang sedang sibuk dengan fokus pada layar komputer juga setumpuk berkas di mejanya menunggu approval darinya. Larut dalam kesibukan dan sengaja menyibukan diri sudah ia lakukan selama beberapa tahun ini. Kurang lebih 5 tahun sejak ia bercerai dengan Inggrid.
Ponselnya sejak pagi beberapa kali menerima panggilan dan notifikasi pesan dari Zudith, Mamihnya yang mengharuskan ia pulang untuk bergabung mengikuti makan malam keluarga. Tepatnya keluarga Yudha Mahesa, Papih dari Akbar Putra Mahesa.
Akbar mengernyitkan dahi membaca pesannya Zudith kali ini.
"Pokoknya kalau enggak hadir, kamu Mamih jodohkan dengan wanita pilihan Mamih. Entah itu hanya gertakan atau memang Zudith serius dalam ucapannya. Memang benar, jika Akbar selalu menghindari acara keluarga. Bukan tanpa alasan, tapi memang hanya menjaga hati dan telinga.
Akbar bukan pria tidak laku sampai-sampai Zudith harus mengancam dengan perjodohan. Kalau sekedar menyalurkan hasratnya sangat mudah karena banyak wanita yang antri untuk mendapatkan kesempatan menjadi pendamping Akbar. Tapi Akbar, just do it with friend, friend with benefit. Yang sama-sama membutuhkan kepuasan bukan cinta.
"Pak, jangan lupa acara nanti malam," ucap Bowo asistennya mengingatkan Akbar.
Akbar menoleh pada Bowo yang tadinya fokus menandatangan berkas yang disodorkan Bowo. "Kamu tau dari mana acara keluarga saya?"
"Yah biasa Pak, nyonya besar yang mengingatkan saya. Mohon maaf pak, sebaiknya Bapak jangan sampai tidak hadir karena status pekerjaan saya ditaruhkan di sini. Nyonya bilang saya bisa dipecat kalau cuma memastikan Bapak untuk pulang tepat waktu saja tidak bisa," ungkap Bowo panjang kali lebar bagai rumus matematika.
Akbar bergidik dan berdecak mendengar pernyataan Bowo, "Pengingat sudah dari segala penjuru." Akbar memperlihatkan log panggilan di layar ponselnya. Mulai dari Papih, Bira adiknya juga Laras adik iparnya. "Jangan-jangan nanti Ayu juga ...." kalimat Akbar terpotong karena suara pintu diketuk.
Ayu masuk setelah mengetuk pintu, lalu berjalan menghampiri meja kerja Akbar. "Permisi Pak, saya mengingatkan bahwa sore nanti jadwal Bapak sudah saya kosongkan, jadi Bapak bisa pulang tepat waktu. Ibu Zudith bilang Bapak ada acara penting." Setelah menyampaikan informasi tersebut Ayu mohon ijin ke luar dari ruangan. Akbar menyugar rambutnya dan bersandar pada kursi kerjanya. Menghela nafas sedangkan Bowo hanya terkekeh sejak Ayu meninggalkan ruangan.
Disinilah Akbar berada, kediaman Yudha Mahesa. Turun dari mobil mewah yang selalu mengantarkan ke mana pun ia pergi, masih mengenakan pakaian kerjanya. Hanya ia sudah melepas jas dan dasi, sedangkan kemeja sudah ia gulung sampai siku. Melewati ruang tamu menuju ruang keluarga yang sudah ramai dengan keluarga Mahesa. Ia hanya menjawab pertanyaan seperlunya, dengan memasang wajah datar.
Memeluk Zudith dari belakang, yang terlihat sibuk menata meja makan. Zudith yang terkejut hanya memukul ringan tangan yang sedang memeluknya. "Kalau enggak diancam enggak bakal datang ‘kan."
Akbar melepaskan pelukannya dan berdecak. "Aku ke kamar dulu." Zudith terus memandang Akbar yang menjauh, menghela nafas. Hatinya sedih melihat kehidupan Akbar, anak sulungnya.
Beberapa saat kemudian meja telah siap, semua anggota keluarga telah duduk. Bik Nur mengetuk kamar Akbar untuk memintanya turun. "Akhirnya datang juga," ujar Yudha Papih Akbar menoleh pada sang istri setelah Akbar menyapanya dan duduk.
Makan malam itu awalnya berjalan normal seperti makan malam pada umumnya, sampai sebuah kalimat menjadi awal ketidaksukaan Akbar ketika ia harus berkumpul dengan keluarganya.
"Akbar, kamu mau tetap melajang begini? Enggak kepingin mesra-mesraan bareng istri, ada yang ngurus kamu." Meri adik Yudha menjadi orang yang membuka pembahasan.
"Mau aku kenalin enggak Bar, ada nih cewek matang, siap nikah mana cantik," cetus Arlan yang juga adik dari Yudha. Yudha adalah anak pertama dari 3 bersaudara.
"Kalau hanya mesra-mesraan enggak harus nikah."
"Akbar," ucap Zudith.
"Tidak Paman, kalau mau Mamih juga udah siap dengan calonnya tapi aku belum siap."
"Kenapa?" tanya beberapa orang dengan serempak. Akbar hanya mengedikkan bahunya. "Tapi bukan berarti hidup kamu harus stack begini Bar, kamu mau nunggu sampai kapan? Kamu juga perlu keturunan, perlu penerus."
Akbar menyuapkan kembali makanan ke dalam mulutnya, apa yang diucapkan Paman Arlan ada benarnya. Bira adiknya saja sudah mendapatkan keturunan, perut istrinya sudah membola karena sedang hamil. Sedangkan anak pertamanya belum genap dua tahun. Ia tersenyum miris membayangkan Bira yang tidak dapat menikmati tubuh istrinya dengan puas karena terhalang perut gendut istrinya yang sedang hamil.
Statement-statement berikutnya hanya bisa ia dengarkan dan dijawab dengan senyum. Zudith yang memaksa Akbar datang dalam hatinya menyesal karena putranya jadi topik diskusi malam ini dan membuatnya kesal adalah Akbar menanggapi pertanyaan dengan konyol dan arrogant. Ia menghela nafas, "Bar, kamu katanya buru-buru karena masih ada acara?"
Akbar menoleh bingung, kemudian senyum terbit dari bibirnya. "Iya, ini baru mau pamit." Setelah menghabiskan air putihnya, ia pun menghampiri Zudith, mencium puncak kepala wanita yang sudah melahirkannya juga menyalami Yudha tidak lupa pamit kepada semua orang yang hadir.
"Mau ke mana sih Mas? Ada yang nungguin juga enggak," ucap Bira.
"Menyalurkan hasrat."
"Akbarrr!!" Teriak Zudith, Yudha hanya tertawa sedangkan Laras istri Bira hanya menggelengkan kepala. Akbar melambaikan tangan sambil tetap berjalan ke luar rumah.
Akbar bukan tidak ingin menikah kembali, tapi mengingat mantan istrinya dulu yang ternyata diam-diam mengkonsumsi pil penunda kehamilan selama bertahun-tahun berumah tangga dengannya membuat Akbar murka. Belum lagi aktifitas sosialitanya dan ternyata Inggrid saat itu memiliki simpanan. Yang sangat memalukan simpanannya adalah laki-laki yang masih duduk di bangku SMA.
Inggrid yang dulu selalu memanjakan lidahnya dengan berbagai macam menu masakan serta memuaskannya di ranjang. Semua kelebihan dan kenangan itu seakan hancur, hilang bahkan sirna tatkala Akbar mengetahui kebenaran. Mode bahagia seakan beralih 180 derajat menjadi mimpi buruk. Tahun kedua perceraiannya, Inggrid mengalami kecelakaan dan Koma. Cukup lama sampai akhirnya wanita itu kembali merasakan kehidupan. Sejak itu hidupnya berubah bahkan tidak jarang ia mendekati Zudith, memohon agar dapat kembali rujuk dengan Akbar.
Berbeda dengan yang tadi diucapkan oleh Akbar saat di rumah orangtuanya, ia pulang menuju apartement tidak menghadiri acara atau pun menemui seseorang. Setelah membersihkan diri ia menuju kamarnya ia berbaring menatap langit-langit kamarnya. Memikirkan ucapan paman Arlan dan kerabat lainnya, untuk berhenti berman-main dengan wanita tapi berumah tangga dan memiliki keturunan.
Zudith, pagi ini dia sengaja mengunjungi Akbar setelah semalam putranya itu menjadi bahan utama pembicaraan di acara makan malam keluarga Mahesa. "Akbar!!" teriak Zudith dari luar kamar Akbar. Mengetahui passcode pintu apartement Akbar, membuatnya mudah kapan pun untuk masuk ke dalam.
Belum terdengar respon dari Akbar, namun terdengar bunyi bel. Zudith melangkahkan kakinya menuju pintu.
"Pagi Mas__" sapaan wanita di depan pintu terhenti saat melihat bukan Akbar yang membuka pintu.
Sepulang dari Rumah Sakit, Akbar dan Sussana mengunjungi rumah yang akan mereka tempati. Sussana memeriksa kamar bayi dan kebutuhannya, sedangkan Akbar mengecek bagian-bagian yang sebelumnya direnovasi. “Bibi,” panggil Sussana dari ujung anak tangga. “Iya Non.” “Kesini dulu ya.” Salah satu asisten rumah tangga bergegas melangkah menghampiri Sussana. “Ada apa Non?” “Bantu saya menggeser ini, sepertinya lebih baik di sebelah sana,” ujar Sussana menunjuk sofa untuk menyusui. “Biar nanti saya saja, Non Sussana sedang hamil besar tidak boleh angkat yang berat-berat.” “Berdua sama Bibi, sepertinya nggak berat juga sih,” ucap Sussana. “Tapi Non.” “Sudah, ayo angkat.” “Sussana.” Suara Akbar mengejutkan Sussana dan Bibi. Melihat situasi tidak kondusif, Bibi pun keluar dari kamar. “Tinggalkan itu, biar nanti aku minta yang lain menggeser. Itu bahaya untuk kehamilan kamu, sayang.” Akbar merangkul bahu Sussana dan mengajaknya keluar. “Nanti dulu, masih ada yang harus aku cek. Khawatir
Kehamilan Sussana sudah memasuki trimester ketiga, tepatnya tiga puluh tiga minggu. Akbar sangat menikmati perannya sebagai seorang suami dan Ayah untuk kedua anaknya. Melewatkan moment bersama keluarga saat mengalami amnesia benar-benar membuatnya menyesal. Bahkan dia tidak dapat menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan Arka. Sangat sabar menghadapi Sussana yang manja dan selalu mengeluh juga menyalahkan Akbar karena kondisinya saat ini. Kehamilan kali ini terlalu banyak keluhan hingga Sussana berkali-kali mengatakan tidak ingin hamil lagi. Seperti malam ini, Akbar sudah terlelap tapi Sussana yang tidak bisa tidur merengek membuat Akbar terjaga. "Iya sayang, kenapa?" sahut Akbar sambil menguap. "Aku sesak, nggak bisa tidur." Akbar langsung terperanjat, "Sesak napas?" Sussana mengangguk. "Bangun dulu sayang, coba atur pernafasan kamu seperti waktu kemarin ikut senam hamil. Tarik nafas, lalu buang," ujar Akbar memberi contoh dan diikuti Akbar. Berkali-kali, sampai Sussana tidak m
Akbar sudah kembali ke kantor seperti biasa dan mereka masih tinggal di kediaman orang tua Sussana. Ketika Akbar berada di rumah, Sussana akan sangat manja dengan Akbar. Namun, saat Akbar di kantor Sussana tidak akan mengganggu sedikitpun. Mengerti jika Akbar butuh privacy dan konsentrasi mengurus masa depan perusahaan. Sussana sudah mulai beraktivitas ringan, dia juga bosan jika harus terus berada di ranjang. Lama menjalankan bedrest, membuatnya menjadi pecinta drama. Yang dikerjakan saat di ranjang adalah menonton drama dan mendengarkan musik. Sussana duduk di taman rumahnya menyaksikan Yuna yang sedang bermain di kolam balon air. Arka duduk di baby chair dan disuapi oleh Sussana. Setelah selesai makan, Arka dibawa masuk oleh pengasuhnya untuk mengganti bajunya yang kotor karena tumpahan makanan. “Yuna, sudah yuk. Kamu sudah kedinginan, lain kali main lagi,” ajak Sussana. Yuna menggelengkan kepala, dia masih asyik dengan aktivitasnya. “Masuklah, biar Yuna Bunda yang jaga,” ujar Ha
“Ada apa ini?” tanya Gerry yang baru saja tiba. Melihat kehadiran keluarga besannya, dia pun ikut bergabung. Yudha kembali menyampaikan permohonan maafnya pada keluarga Sussana. Jika menuruti emosi, rasanya Gerry ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi melihat Akbar yang sudah sembuh dan Sussana yang membutuhkan Akbar di sisinya, Gerry pun mengalah demi kebaikan sang putri. Setelah Yudha, Zudith dan Bira undur diri, Akbar menyempatkan bermain bersama Yuna sambil menggendong Arka. “Loh, Sussananya mana?” tanya Gerry baru menyadari sejak tadi tidak melihat Sussana. “Sedang istirahat, sudah biarkan saja. Biar Akbar yang menemani,” ujar Halimah. Halimah pun kembali menemani cucunya bersama baby sitter, Akbar diminta mengecek kondisi Sussana dan menemani di kamar. Khawatir jika Sussana membutuhkan sesuatu, sedangkan dia masih harus bedrest. Melihat Sussana yang masih terlelap, Akbar pun memilih membersihkan diri. Sussana mengerjapkan kedua matanya, perlahan beranjak duduk. Menatap sekeli
“Sussana,” panggil Akbar. Sussana yang berdiri di balkon tidak menyahut atau menoleh. Menganggap suara yang baru saja dia dengar hanya halusinasi karena rasa rindu pada Akbar. Akbar tetap berdiri di tempatnya memandang punggung Sussana, wanita yang sudah setia dan sabar menghadapi Akbar.“Sayang,” panggil Akbar lagi. Sussana menghela nafas, “Mas Akbar, rinduku sudah tidak terbendung. Sampai suaramu terdengar begitu jelas,” lirih Sussana.“Sussana, aku di sini sayang.”Sussana perlahan menoleh, tangannya masih mencengkram pinggiran balkon. Sussana tertawa, “Bahkan sekarang aku bisa melihat Mas Akbar,” ucapnya.“Aku bukan halusinasimu, sayang.” Akbar merentangkan kedua tangannya, siap menerima Sussana dalam pelukannya. “Mas Akbar,” ucap Sussana. “I-ini bukan halusinasi aku,” ucapnya.Akbar menggelengkan kepalanya. “Kemarilah, sayang.”Sussana melangkah perlahan, raut wajahnya sudah terlihat seperti akan menangis. Kini keduanya berhadapan, “Mas Akbar,” ucap Sussana sambil terisak lalu me
Zudith, Yudha dan Akbar berada di meja makan. Menikmati makan malam mereka dalam diam. Dalam benak Akbar, dia hanya memikirkan rencana untuk menemui Sussana esok hari. Zudith dan Yudha saling pandang sebelum memandang putra sulungnya. “Akbar,” panggil Yudha. Akbar menghela nafasnya sebelum menoleh. “Tidak usaha dibahas, aku yang akan selesaikan sendiri masalahku dengan Sussana,” tutur Akbar seakan tahu apa yang akan disampaikan oleh Yudha. “Maksud kamu menyelesaikan bagaimana?” tanya Zudith. Merasa bersalah pada Sussana dan khawatir jika Akbar akan memutuskan hal yang nanti akan disesali olehnya. “Mamih tenang saja, Sussana dan anak-anak adalah tanggung jawabku. Aku sudah selesai, permisi,” ujar Akbar lalu meninggalkan meja makan. “Pih, Mamih khawatir kalau ....” “Sudahlah Mih, Akbar sudah dewasa. Ingat umur Akbar sekarang berapa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendoakan dan mendukung segala keputusannya.” Pagi itu, Akbar sudah tiba di kantor. Pagi ini dia harus memimpin rapat
Seorang wanita berdiri tidak jauh dari tempat Sussana berada. “Mirip Sussana, tapi lebih kurus.” Wanita itu masih menatap ke arah Sussana berada. Terlihat Sussana yang beranjak bangun. “Benar itu Sussana. Tunggu, perutnya seperti ... Sussana sedang hamil,” ucapnya. Laras, istri dari Bira yang sedang berada di Rumah sakit melihat Sussana. Tanpa menyapa, wanita itu mengikuti Sussana dan yakin saat ini Sussana sedang hamil karena perutnya sudah terlihat buncit. Melihat Sussana menaiki taksi dan meninggalkan rumah sakit, Laras mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Bira. Panggilannya tidak dijawab, akhirnya Laras menyusul Bira ke kantor. "Loh, bukannya kamu ke Rumah sakit?" tanya Bira melihat Laras ada di ruang kerjanya setelah Bira menghadiri rapat. "Mas, sini dulu," pinta Laras pada Bira dengan menepuk sofa di sebelahnya.” Bira pun patuh dengan menghampiri dan duduk di samping Laras. “Bagaimana hubungan Mas Akbar dan Sussana?” tanya Laras. Bira menghela nafas mendengar pertany
“Sussana, apa kamu sakit?” tanya Bira sejak tadi penasaran.Sussana hanya menggelengkan kepalanya. Bira menghela nafasnya, “Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu. Ponsel Mamih hilang jadi dia tidak bisa mengabari kamu dan ternyata aku juga tidak punya kontak kamu.”Sussana menyebutkan nomor ponselnya. Setelah cukup berbincang masalah kondisi Akbar, Sussana hanya bisa mendukung semua keputusan keluarga Akbar. Bira pamit undur diri, tapi sebelum pergi dia kembali menanyakan kondisi Sussana.“Aku nggak apa-apa, Mas,” jawab Sussana.“Baiklah, jaga kesehatan kamu. Pasti berat harus berjuang untuk anak-anak kalian,” ujar Bira. Sussana hanya menyunggingkan senyumnya. Setelah kepergian Bira, Sussana tak sadarkan diri. Halimah memanggil dokter karena khawatir dengan kondisi Sussana. “Bagaimana kondisi Sussana?” tanya Gerry yang baru saja datang.“Sedang diperiksa Dokter,” jawab Halimah. Kedua orang tua Sussana menanti penjelasan dokter dengan cemas. Terdengar suara tangisan Yuna, “Biar
Sussana sudah berada di kursi tunggu UGD rumah sakit bersama kedua orangtua Akbar. Menunggu Akbar di periksa dan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi dengan Akbar. Cukup lama, tapi belum ada dokter atau perawat yang datang untuk menyampaikan kondisi Akbar. Meskipun Sussana tau jika Akbar hanya pingsan tapi penyebab pingsannya yang membuat khawatir karena saat ini Akbar masih dinyatakan amnesia. Hari sudah semakin siang, karena sinar matahari sudah tinggi. Zudith menawarkan Sussana untuk bergantian sarapan di kantin. Sussana hanya menggelengkan kepalanya. “Keluarga pasien atas nama Akbar,” ucap seorang perawat. “Saya, Dok,” jawab Yudha. Zudith dan Sussana pun ikut menghampiri. “Ini silahkan diurus dulu untuk kamar rawat inapnya.” “Bagaimana kondisi Akbar? Kami boleh bertemu?” Zudith lebih dulu bertanya, walaupun isi pertanyaannya akan sama dengan Sussana. “Dokter yang akan menjelaskan di ruang rawat ya, silahkan diurus dulu.” Yudha yang tadi menerima dokumen untuk pemindahan A