Vania telah berada di dapur. Wanita itu tampak celingukan, kebingungan mencari di mana tempat penyimpanan kopi dan gula berada. "Duh, di mana ya tempat kopinya?" Sembari mulai bergerak mendekati lemari dapur, wanita itu mulai sibuk mencari. Hingga di saat yang tepat salah satu pelayan ada yang datang ke dapur. Satu pelayan wanita yang tadi sempat berkenalan dengan Vania di kamar pelayan pun menyapanya. "Loh, Laras. Kok, kamu ada di sini? Bukannya tadi kamu dipanggil sama Bu Farida, ya?" Pelayan wanita yang kira-kira sebaya dengan Vania itu tampak keheranan. "Eh, Nanik." Vania yang sempat terjingkat, reflek menoleh ke arahnya. "Ini tadi Tuan Rafka minta dibuatin kopi. Tapi, aku gak tau di mana tempat penyimpanan kopinya." "Oh, gitu. Kalau kopi, gula beserta lainnya, tempatnya di sini." Nanti membuka pintu lemari yang berada di samping kanan Vania. "Dan, ingat. Kamu harus meracik kopi dengan baik-baik ya! Karena kalau rasanya tak sesuai dengan selera yang diinginkan Tuan Rafka
Dengan pandangan yang sulit untuk diartikan, tanpa sadar bibir lelaki tampan itu tampak tersungging kecil. Walaupun samar, tetapi Dinda yang melihat bagaimana perubahan raut wajahnya pun, tampak keheranan. Bak terbakar oleh api cemburu, hati gadis jutek itu menjadi panas seketika. Sungguh ia tak habis pikir, ada apa dengan suaminya ini? Entah kenapa ia merasa, kalau Rafka sepertinya bahagia jika sedang melihat si pengasuh bayinya tersebut. Lalu, dengan sedikit kasar, wanita ber-piama biru muda itu langsung saja mengambil paksa Baby Al dari tangan Vania. Sontak saja baik itu Vania dan juga Rafka langsung terkejut dibuatnya. "E-eh, Nona, hati-hati!" Vania yang kaget jadi terbengong. "Dinda, kau ini apa-apaan? Kasar banget!" Seketika raut wajah lelaki tampan itu berubah garang, dengan kesal ia langsung saja memarahi istrinya. Kerena merasa terganggu, bayi kecil yang semula nyaman berada di pelukan sang ibu asuh, jadi menangis. "Lihat! Baby Al jadi menangis," ucap Rafka sediki
"Em, maaf, Bu. Kalau boleh saya tahu. Ada apa Anda mencari saya?" Vania memberanikan diri untuk bertanya. "Non Dinda membutuhkan bantuan mu untuk mengurus Baby Al sekarang." "Oh, begitu." Vania yang sempat merasa keheranan juga sedikit ketakutan pun tampak manggut-manggut merasa lega. "Huff! Kirain aku ada apaan?" ucapnya membatin. Setelah menaiki lift menuju ke lantai tiga. Kini mereka telah sampai di dekat kamar Dinda. Dari luar kamar bisa terdengar jelas kalau baby Al kini sedang menangis. Sehingga membuat Vania otomatis merasa sedikit khawatir padanya. Tanpa disuruh, Vania langsung saja menerobos masuk kamar Dinda yang memang dalam keadaan pintu terbuka. "Maaf, Nona. Ada apa dengan Baby Al?" tanyanya sedikit panik. Sementara sang kepala pelayan, langsung undur diri kembali ke kamarnya. "Ikh, kamu ini lama banget sih, datangnya! Itu buruan kamu gantiin popoknya Baby Al sana! Kayaknya dia habis pup, jadi dia menangis tau!" bentak Dinda merasa kesal dan juga jijik, s
"Dinda?!" Reflek, dengan perasaan kagok, keduanya pun langsung segera menjauh. "Oh, aku hanya ingin melihat Baby Al sebentar. Ya sudah, Laras. Kau gendong Baby Al lagi." Dengan sangat hati-hati, lelaki itu menyerahkan kembali bayi kecil itu pada Vania. Senyuman manis di bibirnya tadi seakan langsung menghilang, dan ia kembali ke mode awal. Dingin, datar juga kaku tanpa senyum sedikitpun. "Ini sudah malam, sebaiknya kau bawa Baby Al untuk tidur sekarang!" ucap Rafka menoleh ke arah Dinda. Dengan wajah cemberut, Dinda hanya mengangguk. Lalu, dengan sewot ia merebut bayinya dari tangan Vania. "E-eh!" Membuat Vania pun jadi kaget melihatnya. Setelah itu Rafka langsung keluar dan ingin segera masuk menuju kamarnya sendiri. Namun, dengan cepat Dinda yang menggendong bayi kecil itu langsung mencegahnya. "Tunggu, Rafka? Apa kau tidak ingin tidur bareng dengan kami?" ucap Dinda keceplosan. Rafka yang mendengarnya pun, menaikan sebelah alis, menoleh sinis ke arahnya. Dinda yang
Di kamar sang bayi. Vania sedang duduk memangku baby Al yang tengah asyik menyusu padanya. Wanita itu tampak begitu ceria memandangi wajah imut dan menggemaskan bayi kecil yang ada di dalam pangkuannya kini. "Mimi yang banyak ya, Sayang! Agar nanti pas ditinggal sama Ibu, kamu udah kenyang dan bisa tidur dengan nyenyak." Seraya mengusap-usap lembut kepala Baby Al, Vania tampak sibuk berceloteh ria, seolah sedang mengajak ngobrol bayi kecil tersebut. Namun, sedetik kemudian ia jadi teringat akan mendiang bayinya yang telah meninggal. Seketika wajahnya berubah menjadi muram dan perlahan air matanya pun mengalir mulai membasahi pipi. Walau ia sudah berusaha untuk tetap terlihat tegar juga ikhlas. Tapi, rasa penyesalan yang mendalam, masih saja sering kali menyiksa batinnya. Seakan ia menyalahkan dirinya sendiri yang tak bisa menyelamatkan atau melindungi sang buat hatinya tersebut. "Hiks ... hiks. Maafkan, Mama, Sayang," ucapnya pelan. Kleek! Tiba-tiba saja pintu terbuka. Va
Di sore hari. Sesaat, setelah kepulangan Rafka dari kantor, lelaki itu tampak dengan lesu memasuki kamar. Hari ini ia benar-benar merasa lelah, karena kepadatan pekerjaannya di kantor, cukup menguras tenaga dan juga pikirannya. Pria itu mengendorkan dasi, dan mulai melangkah mendekati ranjang. Setelah melepaskan dasi, ia meletakkannya di pinggir kasur tempatnya terduduk kini. "Huff, benar-benar sangat melelahkan," gumamnya seraya menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Sungguh ia ingin merebahkan diri untuk sekedar beristirahat sejenak. Namun, baru saja ia akan memejamkan mata, tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu. Tok-tok-tok! "Rafka, bolehkah aku masuk?" ucap seorang wanita yang tengah berdiri di depan pintu kamar. "Hais, ngapain lagi sih nih, cewek? Ganggu aja!" Tanpa mau menjawab, dengan sangat malas, pria itu hanya dengkusnya kesal. Karena tak segera mendapat jawaban, dengan lancang Dinda langsung saja membuka pintu. Kleek! Tanpa disuruh, wanita yang