Sepertinya, doa Fjola terkabul. Hujan salju reda tepat ketika ia sampai ke balik pintu belakang istana calon selir. Meski begitu, ia masih merasa kedinginan.
Padahal ia sudah memakai gaun dengan lengan panjang, ditambah mantel dan syal dari wol. Ia juga memaki sarung tangan tebal.
Fjola mengetuk pintu tiga kali. Jantungnya berdegup lebih keras. Ia menangkupkan tangannya, berdoa supaya pintu itu membalas ketukannya. Namun, setelah menunggu beberapa detik, pintu itu bergeming.Gadis itu mendongak. Awan hitam mengerumun di atas. Embusan napasnya beruap. Hidung dan pipinya memerah karena dingin. Ia mengetuk lagi pintu itu. Tak lama kemudian, sang pintu menjawab. Fjola girang bukan kepalang. “Barrant! Kau kah di situ?”“Tentu saja, Nona Cantik. Sekarang, bukalah pintu ini kalau kau tidak mau aku mati membeku,” sahut Barrant dari luar.Fjola segera menarik slot dan membuka pintu. Tampak di sana pemuda itu bZargar berjalan dengan tergesa. Dingin membuat tubuhnya menggigil. Salju yang turun menghiasi rambutnya yang kini semakin panjang awut-awutan. Perjalanan yang akan ditempuhnya masih panjang. Kakinya sudah lelah, rasanya nyut-nyutan. Akan sangat bersyukur apabila ada tumpangan yang tak disangka-sangka.Pucuk dirindu, ulam pun tiba. Bagai keajaiban, ada kereta yang lewat. Ia segera keluar dari semak, mencegatnya. Seorang yang tak asing tampak menjadi kusirnya. Ia mengernyit heran, tetapi diam saja. Ia hanya butuh tumpangan, bukan konfrontasi.“Ada apa?” Seorang pemuda melongokkan kepalanya dari jendela. Kemudian, seorang gadis juga melongokkan kepalanya keluar jendela.Zargar terbelalak sesaat ketika memandangnya, begitupun dengan gadis itu. Melihat kesempatan, ia berseru senang. “Fjola!” tangannya terentang. Ia melangkah menghampiri kereta.Gadis yang namanya diserukan itu mengumpat. Ia menarik kepalanya ke dalam ker
“Fjola,” panggil Barrant ketika mereka kembali ke pintu belakang istana. “Ada yang ingin kukatakan. Kuharap kau tidak marah.”Fjola yang setengah badannya sudah melewati pintu kembali keluar. Matanya mengernyit ketika memandang ekspresi aneh Barrant. “Ada apa?”“Begini ... aku ... kita ....” Tiba-tiba Barrant menjadi salah tingkah. Beberapa kali ia mengusap dagunya.“Ada apa, Barrant?”Pemuda itu mengirup napas dalam-dalam. Ia mengembuskannya kuat-kuat, sembari menyusun keteguhan hatinya. “Sebaiknya kita tidak usah ketemu lagi.”“Apa?” Fjola terkejut. “Kenapa?”Buru-buru, Barrant menjelaskan, “Aku tidak bisa terus sembunyi-sembunyi begini. Aku ... aku ....”“Apa maksudmu, Barrant? Kenapa tiba-tiba begini? Bukankah tadi kau bilang kalau kau mencintaiku?” Pandangan Fjola bergan
Tak terasa, sebulan hampir berlalu. Hari pemilihan tinggal seminggu lagi. Dalam waktu seminggu itu para kandidat akan dibawa ke istana raja. Mereka akan berinteraksi dengan Raja Valdimar. Dalam seminggu itu mereka harus mampu menggaet hati raja itu.“Kalian sudah mengerti bagaimana adab dan peraturan yang berlaku di negeri ini. Aku tidak mau kalian berbuat hal memalukan di depan raja. Akibatnya akan sangat fatal.” Margaret berdiri di depan istana calon selir. Para pelayan bersiap-siap, memasukkan peti-peti gaun para calon selir ke dalam kereta. Mereka akan pindah ke istana raja. “Jangan berbuat hal yang kurang ajar.”Para calon selir menunduk hormat. Satu persatu berpamitan kepada Margaret. Wanita tua itu membisikkan wejangan-wjangan kepada mereka. Khusus untuk Fjola, dia berbisik, “Sebaiknya jaga sikapmu, Nona, kalau tidak akibatnya akan sangat mengerikan.”Fjola malas menanggapinya. Ia hanya mengangkat bahu
Tubuh Fjola tiba-tiba lemas. Benaknya kacau. Ia menatap Barrant dengan pandangan terluka. Perasaannya campur aduk. Marah, sedih, dan kecewa menjadi satu. Ia tak tahu apa alasan Barrant berbohong. Pemuda itu begitu tega mempermainkannya. Ia benci kepadanya. Tanpa berkata-kata lagi, Fjola berbalik. Ia melangkah pergi, meninggalkan Lilija, Aguste, dan Barrant.“Fjola!” Barrant memanggil. Tetapi, gadis itu memilih mengabaikannya. “Fjola, kumohon! Dengarkan aku!”Gadis itu menggeleng. Langkahnya goyah. Hatinya hancur. “Biarkan aku sendiri.”“Tidak, tidak! Kumohon, dengarkan aku dulu!”Air mata gadis itu mengalir. “Kau tega sekali membohongiku!”“Aku tidak bermaksud membohongimu Demi Tuhan, Fjola, dengarkan aku.” Barrant meraih lengan gadis itu.“Jangan sentuh aku!”Barrant terhenyak. Pandangannya tampak terluk
Raja Valdimar masuk ke ruang makan ditemani Alexnder. Di belakangnya ada Barrant. Pemuda itu memakai pakaian formal berupa kemeja dengan kerah tinggi. Celananya yang ketat membuatnya tampak tinggi. Rambutnya yang merah disisir rapi ke belakang. Sepatu bot dengan hak dikenakannya. Aura kebangsawanannya memancar. Senyum menghiasi wajahnya yang tampan.Semua gadis yang ada di sana menatapnya tanpa berkedip, kecuali Fjola yang menunduk, memandang piring kosong di meja di depannya.Setelah duduk di kursinya—di ujung meja—Raja Valdimar menyilakan semua orang yang diundangnya makan siang duduk di tempatnya masing-masing. Alexander duduk di samping kanan Raja Valdimar. Di depan dan sampingnya duduk para selir.Barrant duduk di ujung meja satunya. Di samping kanannya ada Elisabet. Di samping Elisabet, ada Ylfa. Di depan Elisabet, di samping kiri Barrant duduk Lilija yang tersenyum manis. Fjola duduk di samping Lilija. Gadis itu masih menundu
Ishak menata gaun yang dipakai Fjola dengan teliti. Mereka tengah berada di depan cermin di kamar Fjola. Lelaki kemayu itu memastikan tak ada kain yang tertekuk, atau kotor. Sedangkan Fjola bergeming seperti patung. Wajahnya yang cantik merengut.“Untuk apa dandan cantik-cantik? Aku hanya ingin berkeliling istana,” katanya.“Kau akan berkeliling istana dengan Barrant,” sahut Ishak yang sekarang menyugar rambut Fjola yang panjang.“Lalu, apa bedanya?”“Bedanya,” kata Ishak sembari memegang kedua bahu Fjola, “dia yang akan menyelamatkanmu dari bayang-bayang kematian di luar tembok.”Fjola mendesah. “Aku sudah bilang padamu, aku tidak mau menikah, baik dengannya atau dengan pemuda lain.”“Jangan keras kepala, Fjola.” Ishak mendorong gadis itu keluar pintu kamar. “Selamat bersenang-senang.” Ia lantas menutup pintu kamar.
Fjola merengut. Ia tengah berjalan di lorong-lorong istana yang panjang dan megah. Batu-batu pualam yang kokoh menjadi dindingnya. Sebenarnya istana Raja Veggur itu amatlah menarik, tetapi Fjola tak dapat menikmatinya. Ia terganggu dengan Aguste yang berada di antara dirinya dan Barrant. Seharusnya ini merupakan kencan mereka.“Kau ingin ke mana, Putri Fjola?” tanya Aguste sopan.“Tidak. Aku tidak ingin ke mana-mana,” jawabnya sembari memelotot kepada Barrant.Pemuda itu terkikik. “Bagaimana kalau kita berkuda.”Fjola tersenyum. “Aku idak bisa berkuda. Maukah kau mengajariku, Pangeran?” dustanya.Dengan polos, Aguste berkata, “Oh, ya? Kudengar dulu ada insiden pada acara penyambutan? Raja bilang—““Ah, tidak. Jangan mengada-ada, Aguste.” Fjola kesal karena prajurit itu tidak peka.Senyum Brrant semakin lebar. “
Fjola kembali ke kamar dengan hati mendongkol. Hari sudah gelap. Makan malam akan dilaksanakan sebentar lagi. Ishak sudah bersiap dengan gaun yang akan dikenakan Fjola nanti. Saat melihat wajah gadis itu merengut, lelaki kemayu itu bertanya, “Ada apa lagi?”Fjola mendengkus. “Kau tahu bahwa Barrant harus berkencan dengan putri yang lain?”Dengan santai, Ishak menjawab, “Memang begitu peraturannya.” Dia mengulurkan gaun baru kepada gadis itu. “Buka gaunmu. Ganti yang ini.”Fjola menerimanya dengan wajah tertekuk. Ia membuka gaunnya, berganti dengan gaun yang dibawa Ishak. Ia teringat tadi, saat pulang dari danau bersama Barrant dan Aguste. Dalam perjalanan, Fjola diam saja. Hatinya kesal karena diberitahu bahwa besok, kekasihnya menghabiskan waktunya dengan gadis lain.Fjola tahu betul bahwa itulah risiko mencintai seorang pangeran. Jika nanti dia terpilih menjadi istri Barrant,