Alexa terjaga dari tidurnya ketika tubuhnya terasa menggigil, sementara suhu panas menyerang dari dalam. Peluh membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar tak beraturan. Ketika meraih ponsel di atas nakas, waktu telah menunjukkan pukul delapan malam lewat beberapa menit.
Dia mendesah pelan. Hari ini terlalu panjang. Setelah duduk sejenak untuk menstabilkan kepalanya yang berat, Alexa akhirnya turun dari ranjang. Dia mencuci wajahnya dengan air dingin di wastafel kamar mandi, berharap sensasi sejuk itu bisa mengusir demam yang mulai menguasai tubuhnya. Malam di luar begitu dingin, hingga saat dia melangkah keluar, mantel tebal yang dikenakannya tetap tak cukup melindungi tubuh dari sapuan angin musim dingin. Dia memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menahan getaran yang merambat di kulit. Ketika Alexa berhenti sejenak di trotoar untuk menenangkan kepalanya yang berdenyut, sebuah suara dalam dan tenang terdengar dari belakangnya. “Apakah Anda baik-baik saja, Signorina?” Alexa membuka mata perlahan, lalu menoleh. Seorang pria berdiri di belakangnya, tinggi dan tegap, dibalut mantel gelap yang tampak mahal. Sorot mata pria itu tajam, namun bukan mengancam—lebih seperti menelisik sesuatu yang dalam. Pria itu tampan. Bahkan terlalu tampan untuk berada di tengah gang sempit yang hanya dilewati penduduk lokal. “Saya tidak apa-apa,” jawab Alexa cepat, buru-buru menepi agar tidak menghalangi jalan. Dia menyadari betapa tidak sopannya berdiri di tengah jalan seperti itu. Namun, pria itu tidak beranjak. Matanya memperhatikan wajah pucat Alexa dengan seksama, seolah mencoba mengingat. “Saya pernah melihat Anda ... siang tadi, bukan? Di Restoran La Voiture?” Langkah Alexa tertahan. Matanya sedikit melebar, refleks mundur setengah langkah—seperti gerakan alami saat waspada. Seseorang mengenali wajahnya? Itu tak biasa. “Maaf jika saya mengejutkan Anda.” Pria itu segera menyadari perubahan ekspresinya. “Saya hanya ... kebetulan melihat Anda tadi saat makan siang. Anda yang melayani saya.” Alexa menatap wajah pria itu, tetapi sayang ... dia tak mampu mengenali siapa pun dengan pasti. Sebagai pelayan restoran, dia terbiasa menunduk. Hanya sesekali mencuri pandang ketika keberanian menyelinap. Dia tahu, wajah para pelanggan bukanlah sesuatu yang boleh ia hafal. “Ingatan Anda bagus, Signore,” sahutnya, mencoba tersenyum meski napasnya terasa berat. Sorot mata pria itu masih tertuju padanya, penuh ketertarikan yang tidak ia pahami. “Anda terlihat kurang sehat.” “Sí, sedikit demam saja,” jawabnya jujur. Alexa mulai berjalan pelan, dan tanpa diundang, pria itu berjalan di sisinya. Mereka melintasi jembatan kecil yang membentang di atas kanal. Air di bawahnya memantulkan cahaya lampu kota yang temaram. Malam di Venesia memang selalu indah, meski bagi Alexa keindahan itu tak pernah cukup untuk menyembuhkan luka hidupnya. “Anda bukan orang sini?” tanya Alexa pelan. Pertanyaannya hanya basa-basi, tapi cukup untuk memecah keheningan. Pria itu menoleh, tersenyum kecil. “Tebakan Anda tepat. Bagaimana Anda tahu?” Alexa terkekeh pelan, suara tawanya jernih namun singkat. Suara itu membuat langkah pria itu berhenti sejenak—seperti baru mendengar nada yang menenangkan. “Aksen Anda kentara. Terlalu bersih untuk menjadi penduduk lokal,” jawab Alexa enteng. “Dan Anda juga bukan orang asli Venesia,” sahut pria itu, kali ini menatap langsung ke mata Alexa. “Warna mata Anda ... seperti orang Rusia.” Langkah Alexa terhenti. Sejenak tubuhnya menegang, wajahnya menoleh cepat, seperti seekor rusa yang sadar ada pemangsa. Tatapannya menyapu sekitar, seperti memastikan tidak ada yang membuntutinya. Lucas, pria itu, menyadari perubahan mendadak dalam gerak tubuh Alexa. Dia segera mengangkat tangannya sedikit, tidak menyentuh—tetapi cukup untuk menenangkan. “Maafkan saya. Tebakannya salah? Saya tak bermaksud lancang.” Alexa mengerjap beberapa kali, lalu menghembuskan napas panjang. “Tidak, bukan begitu. Saya hanya ... terkejut. Tebakan Anda melenceng jauh,” katanya, memaksakan senyum lebar, meski dadanya masih terasa sesak. Mereka kembali melanjutkan langkah. Suara kaki mereka menyatu dengan gemericik kanal di bawah jembatan, menjadi irama tenang dalam dinginnya malam. Tak lama kemudian, keduanya tiba di sebuah minimarket yang terletak di ujung dermaga. Alexa masuk, mengambil beberapa kebutuhan dasar—obat demam, camilan cepat saji, air mineral. Saat keluar, dia mendapati pria yang sama duduk santai di bangku depan minimarket, sebuah kaleng bir di tangannya. “Anda masih di sini?” “Saya butuh teman bicara sepanjang jalan kembali ke hotel,” jawab pria itu, lalu berdiri dan segera membantu membawa kantong belanja milik Alexa. “Fa niente,” ucapnya ketika Alexa menolak dengan halus. “Grazie,” bisik Alexa pelan, tak biasa diperlakukan dengan perhatian seperti itu. Mereka berjalan beriringan, membahas hal-hal ringan tentang kota Venesia—kanal, gondola, bangunan tua yang memesona, dan musim dingin yang mulai merayap pelan-pelan. Alexa tersenyum lebih banyak dari biasanya. Bahkan kadang tertawa ringan. Pria ini ... terlalu menyenangkan untuk seorang asing. “Di mana Anda tinggal?” tanya Alexa, sedikit curiga, sebab jalanan menuju flatnya tidak melewati area hotel manapun. “Hotel Victory,” jawabnya singkat. Alexa menoleh cepat, hampir tak percaya. “Itu hotel paling mahal di area dermaga.” Pria itu hanya mengangkat bahu, seolah tak ingin membahas lebih lanjut. Bukan pria biasa, pikir Alexa. Hidungnya bisa mencium aura kekuasaan dari jarak dekat. Entah apa yang dilakukan di gang sempit seperti ini. Ketika mereka sampai di jembatan terakhir yang mengarah ke flat Alexa, langkah keduanya melambat. Jalanan di depan terlalu sempit untuk mobil, terlalu gelap untuk sembarang orang melintas. “Saya sudah sampai. Seharusnya Anda tak perlu repot mengantar sejauh ini,” ucap Alexa. Lucas hanya menggeleng pelan. “Bukan masalah,” jawabnya. Lalu, dengan nada lembut, dia menambahkan, “Sekarang, bolehkah saya tahu nama Anda, Bella Signorina?” Alexa merasa jantungnya berdetak lebih keras. Pria itu menyebutnya ‘nona manis’ dengan aksen yang terlalu dalam untuk dilupakan. Senyum tipis muncul di wajah pria itu saat mengulurkan tangan. Alexa sempat ragu, tapi akhirnya menjabat tangan hangat itu. “Alexa.” “Lucas.” Nama mereka bertukar dalam keheningan malam, diiringi tawa kecil yang mengisi udara dingin. “Senang mengenal Anda, Lucas.” “Sebut Luke saja.” “Grazie, Luke.” Lucas mengangguk dan menyerahkan kantong belanjaan milik Alexa. Dia tidak langsung pergi, masih berdiri menatap punggung Alexa yang perlahan menjauh menuju lorong gelap tempat tinggalnya. Saat Alexa menoleh, dia mendapati pria itu masih berdiri di sana, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alexa merasa ... dilihat. Bukan sebagai pelayan, bukan sebagai wanita miskin. Namun, sebagai dirinya sendiri. “Sampai jumpa, Alexa,” bisik Lucas, nyaris tak terdengar, tetapi cukup untuk menggema di dada sendiri. To Be Continue ....Semenjak kejadian penculikan dan pelecehan yang dialami, Alexa lebih banyak diam. Dia bahkan menjadi pribadi pemurung dan selalu mengurung dirinya di kamar. Mereka sudah pindah ke rumah baru yang dibeli oleh Lucas beberapa waktu yang lalu. Lengkap dengan segala isinya. Pria itu juga telah menyiapkan segala keperluan untuk sang kekasih. Sebenarnya rumah ini adalah kejutan, tetapi semuanya tidak berjalan sesuai rencana gara-gara ulah si brengsek Sergio Semak. Ah, ingin sekali Lucas membunuh pria itu dengan tangannya sendiri saat setiap malam, dia harus melihat sang pujaan hati gelisah dalam tidurnya. Saat peluh membanjiri tubuhnya dengan teriakan tak berdaya yang memilukan. Mendengar itu setiap malam membuat emosinya selalu memuncak. Dia hanya mampu menenangkan dengan pelukan. Saat mata itu kembali terbuka, dia akan berteriak jika didekati oleh seorang pria. Seolah semua pria yang mendekatinya berwajah Sergio Semak. Setiap pukul sebelas malam, Lucas yang telah menyelesaikan pekerja
Sergio Semak sebenarnya bukanlah pria miskin seperti yang diceritakan pada teman-temannya. Pria itu adalah pemilik cafe, restoran dan juga beberapa hotel yang ada di Venesia. Salah satunya adalah restoran tempat mereka bekerja.Pria berperawakan tinggi dengan garis wajah yang tegas itu cukup tampan. Memilih menyamar menjadi Sergio si pria yatim piatu miskin adalah caranya untuk bisa dekat dengan Alexa, wanita yang pada pertemuan pertama mampu mencuri hatinya.Selama satu tahun dia mencoba mendekati Alexa, tetapi dia harus kalah dengan orang baru yang justru bisa lebih dulu mendapatkannya.Sergio marah. Dia merasa Alexa sama seperti wanita di luar sana yang tergoda dengan uang dan kemewahan. Jika tahu seperti itu, dia tidak akan susah payah menyamar menjadi pria miskin.Sergio menatap Alexa yang kini menatap matanya seolah menantang. Pria itu tersenyum sinis dan kembali mendekat ke arah ranjang. Ditatapnya tubuh wanita yang membuatnya tergila-gila.
Di dalam ruangan kamar yang temaram, seorang wanita terbaring di atas ranjang dengan kedua tangan terikat ke atas. Wajahnya tampak damai, tetapi dingin yang menyapu kulitnya membuat mata dengan bulu mata lentik itu berkedip beberapa kali sebelum akhirnya manik mata berwarna cokelat itu terbuka. Dia tampak bingung. Matanya menjelajahi seisi ruangan. Dia seperti mencoba mengingat sesuatu hingga bisa berakhir di tempat ini. “Brengsek! Sergio sialan!” makinya dengan kaki yang menendang-nendang. Dia mencoba untuk melepaskan tali yang mengikat tangannya. Menggoyangkan dengan kasar supaya simpulan itu bisa terlepas. Namun, justru tangan kecil itu terasa perih dan panas. Wanita itu kembali memejamkan mata sambil berpikir. Sebenarnya dia sekarang ada di mana dan ke mana perginya pria sialan yang telah menculiknya. Saat masih asyik berpikir, pintu terbuka dan sosok wanita yang tadi dilihat sebagai pelayan cafe datang membawa nampan berisi makanan. “Oh, kalian semua bersekongkol,” ucapnya
“Sayang, berhentilah bekerja di restoran. Aku akan bertanggung jawab dan memenuhi semua kebutuhanmu.” “Aku tidak mau mati kebosanan hanya menghabiskan waktu di tempat sempit ini, Luke.” Sejak Alexa menyerahkan diri, Lucas menawarkan banyak keistimewaan padanya. Namun, ditolak dengan banyak alasan. Contohnya beberapa waktu yang lalu saat Lucas memberikan debit card, credits card dan uang tunai. Alexa menolaknya, dia hanya mengambil beberapa lembar uang yang diperlukan untuk membeli bahan makanan dan membayar sewa apartemen. Selebihnya dia kembalikan lagi. Gaji yang diterima Alexa akhirnya utuh tak terpakai, karena Lucas juga melunasi hutangnya pada Emily. Bahkan memberikan lebih dari yang dia pinjam. Hidupnya benar-benar berubah. Dia dimanjakan dengan perhatian dan juga materi. Pria tampan itu benar-benar gila, tidak waras dan banyak sebutan lain yang bisa mendeskripsikan sikapnya. Bagaimana tidak, pria itu memenuhi apartemen kecilnya dengan barang-barang yang tidak diperlukan. Ba
Alexa menyerah. Dia membiarkan Lucas menempati ruang tamu karena pria itu bersikeras tinggal bersamanya. Bahkan beberapa lembar pakaian sudah berpindah di lemarinya. Genap seminggu keduanya tinggal bersama. Lucas melakukan pekerjaannya selepas Alexa pergi bekerja. “Kau semakin terlihat berisi, Alex.” Emily mengamati tubuh sahabatnya yang nampak segar. “Kau mau bilang aku gemuk?” tanya Alexa sinis. Harus diakui bahwa dirinya juga merasa demikian. Lucas memanjakannya dengan berbagai makanan enak dan melimpah. Dia tidak lagi kekurangan hanya untuk sekadar makan. Emily mengangguk. “Tapi kau semakin cantik dan kelihatan segar.” “Aku bisa besar kepala mendengar pujianmu.” Alexa balas terkekeh pelan. Sejujurnya dia sudah melarang Lucas menghamburkan uang hanya untuk membeli makanan mahal. Namun, sepertinya pria itu tidak pernah peduli dengan protes dan tetap melakukan apa pun semaunya. “Bagaimana dengan Luke?” “Ya begitulah,” ucap Alexa dengan helaan napas kasar. Tidak mungkin dia menj
‘Jadilah wanitaku seutuhnya.’ Kalimat itu terus berulang-ulang dalam ingatannya. Juga tawaran-tawaran yang diberikan oleh Lucas sedikit banyak mengusik hari-harinya. Sebenarnya, jika dipikirkan tawaran pria itu begitu menguntungkan. Alexa hanya perlu jadi wanitanya dan kehidupannya akan terjamin. Namun, sekali lagi ego dan harga dirinya terlalu tinggi untuk menyetujuinya begitu saja. Sudah hampir lima hari Lucas tak datang menemuinya. Pria itu mengirimkan pesan lewat pengawalnya, bahwa dia sedang ada urusan di Savona selama beberapa hari. Ketidakhadiran Lucas juga untuk memberikan Alexa waktu untuk berpikir, walaupun pria itu tak menerima penolakan, tetapi sebagai pria sejati dia ingin jawaban ‘ya’ tanpa paksaan. “Terus saja kau melamun,” kata Emily mengejutkan. “Kau mengganggu saja,” balas Alexa datar dengan raut wajah serius. “Kau terlihat serius sekali. Ada apa denganmu? Kau sedikit aneh beberapa hari ini.” “Tidak ada,” jawab Alexa acuh tak acuh. Lagipula Emily tahu bahwa di