Share

Perjalanan menuju Lombok

Intan kembali ke ruang kerjanya. Baru hari pertama bekerja, Intan sudah mengalami kesulitan. Memang benar dengan dirinya bekerja, Intan mulai melupakan pengkhianatan mantan kekasih dan sahabatnya. Namun, masalah lain justru datang dari atasannya sendiri.

'Apa aku harus ikut ke Lombok? Aku kan baru bekerja, belum terlalu kenal dan tau bagaimana presdir di perusahaan ini. Kalau ternyata dia presdir mesum, bagaimana?' batin Intan, bergidik ngeri membayangkan hal itu.

Dirasa ragu dan takut, akhirnya Intan menghubungi sang ayah. Cukup lama panggilan Intan masuk, akhirnya tersambung juga.

"Ada apa Ntan? Kenapa nelepon Ayah? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya sang ayah.

"Intan bingung Yah, semuanya sih baik-baik saja," jawab Intan.

"Bingung kenapa? Ceritakan pada Ayah!"

"Tadi kan Intan menghadap pak Presdir. Katanya besok, Intan harus ikut pergi ke Lombok karena ada jadwal di sana. Ini kan hari pertama Intan bekerja, masa iya sudah harus ikut pergi?" keluh Intan.

"Ke Lombok? Memangnya jabatan kamu di sana sebagai apa? Biasanya yang mendampingi pimpinan pergi tugas itu sekretaris," sahut ayah Intan, menautkan keningnya.

"Nah itu, Intan ditunjuk jadi sekretaris sementara selama tiga bulan. Karena itu tugas baru Intan, Intan diharuskan ikut. Intan takut, Yah," ujar Intan.

"Oh jadi sekretaris. Bagus dong kalau begitu. Kamu ikuti saja perintah atasan kamu. Jangan terlalu banyak membantah, Lingga itu tidak suka dibantah. Kalau dia memerintahkan kamu ikut, ya ikut saja. Toh, memang itu tugas sekretaris," sahut ayah Intan dengan santainya.

"Tapi Yah! Kalau pak Presdir macam-macam, bagaimana? Intan takut," Intan terus mencari alasan agar tidak ikut.

"Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Setahu Ayah, Lingga itu bukan tipe pria yang seperti itu. Kamu tenang saja, kalau sampai dia berani macam-macam dengan kamu. Ayah sendiri yang akan menemuinya nanti," ucap ayah Intan, serius.

Mendengar itu, hati Intan merasa tenang. Ketakutan dan kekhawatirannya berangsur menghilang.

***

Hari ini Intan sudah bersiap untuk berangkat bersama Lingga. Beberapa peralatan sudah Intan siapkan, begitu juga dengan koper besarnya. Dengan memakai pakaian kasual, Intan terlihat begitu berbeda.

"Yah, Bun, Intan berangkat dulu!" pamit Intan, menyalami kedua orang tuanya.

"Iya Sayang, hati-hati. Jaga diri kamu baik-baik!" sahut sang bunda, mengusap kepala Intan lembut.

"Oh iya Tan, berapa lama tugas di Lombok?" tanya ayah Intan.

"Katanya sih satu minggu Yah, tidak tau juga berapa hari pastinya," sahut Intan, wajahnya nampak tidak senang.

"Lama juga. Yasudah, hati-hati kamu! Kalau ada apa-apa, langsung kabari Ayah saja!" ujar ayah Intan.

Intan berjalan taksi yang sebelumnya sudah dirinya pesan. Tak mau terlambat dan mendapat omelan dari sang atasan, Intan bergegas masuk ke dalam taksi itu.

"Ke bandara, Pak!" ujar Intan.

Setelah Intan mengucapkan itu, supir taksi dengan cepat melajukan mobil menuju alamat yang dituju. Dua puluh menit berlalu. Akhirnya taksi yang Intan tumpangi sampai juga di bandara. Baru saja Intan turun dari dalam taksi, Lingga sudah berdiri di depan pintu masuk bandara. Presdir tampan itu, rupanya sudah datang lebih dulu di luar perkiraan Intan.

"Kamu terlambat!" ucap Lingga, menunjuk ke arah Intan.

"Hah? Terlambat? Bapak yang benar saja? Ini masih pukul tujuh, kenapa bisa terlambat?" protes Intan, menunjukan jam tangannya.

"Ini memang jam tujuh, kamu tidak terlambat kalau mengikuti jam masuk kerja. Tapi, sekarang ini kita akan pergi berangkat ke lombok. Pesawat yang harusnya kita naiki berangkat pukul enam. Kamu terlambat satu jam lebih," omel Lingga.

Intan menganga tidak percaya. Sebelum berangkat, atasannya bahkan tidak mengatakan waktu keberangkatan mereka.

"Bukannya Bapak bilang, bertemu di bandara pagi? Kenapa malah pukul enam? Itu bukan pagi namanya, tapi subuh," protes Intan.

"Pukul enam, matahari sudah mulai terbit. Hari sudah mulai siang. Bagaimana kamu bisa mengatakan itu subuh? Sudah terlambat, banyak alasan dan protes lagi. Cepat masuk! Sebentar lagi pesawat berangkat. Awas saja kalau sampai terlambat lagi!" ancam Lingga, berjalan mendahului Intan.

Intan berjalan tepat di belakang Lingga. Dalam hatinya terus saja mengumpat dan mengatai atasannya.

'Bukannya kata ayah, Pak Lingga ini orangnya tegas dan disiplin? Kalau disiplin oke lah aku setuju, tapi kalau tegas? Rasa-rasanya itu jauh dari kata tegas. Yang ada menyebalkan. Apa ini bukan pak Lingga asli? Atau mungkin, ini memang pak Lingga, tapi otaknya sedikit bergeser.' gumam Intan pelan.

Mendengar suara samar dari arah belakangnya, Lingga menghentikan langkahnya mendadak. Intan yang berjalan tepa di belakangnya, tanpa sengaja menabrak tubuh tegap Lingga.

"Aduh, kenapa berhenti mendadak sih, Pak?" sungut Intan, mengusap keningnya.

"Kenapa kamu yang marah? Harusnya saya, kamu menabrak saya untuk yang kedua kalinya. Apa hobi kamu menabrak orang?" ketus Lingga, berbalik menatap Intan.

"Siapa yang menabraknya, dasar bos aneh!" gumam Intan pelan, namun dapat didengar jelas oleh Lingga.

"Apa kamu bilang? Bos aneh? Berani kami mengatai bos sendiri?" Lingga menatap tajam Intan.

"Eh, Bapak mendengarnya?" tanya Intan, tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Kamu masih berani bertanya? Tentu saja saya marah," Lingga menghentikan kata-katanya, saat rungunya mendengar pesawat yang ditumpangi akan berangkat. "Cepat ikuti saya! Masalah ini belum selesai," lanjut Lingga, tanpa sadar menarik tangan Intan.

Keduanya kini sudah berada di dalam pesawat dengan kursi yang bersebelahan. Ini perjalanan pertama Intan menaiki pesawat dengan pria yang baru dia kenal, rasanya sangat berbeda saat dirinya menaiki pesawat sendiri atau dengan Panji sekalipun.

"Siapa nama kamu?" tanya Lingga, tanpa menoleh ke arah Intan.

Indah langsung menoleh ke arah Lingga, saat pak Presdir itu bertanya siapa namanya. "Bapak tidak tau nama saya?" tanya Intan, tidak percaya.

"Justru saya tidak tau, makanya bertanya. Jawab saja!" titah Lingga.

"Nama saya Intan, Pak. Intan!" sahut Intan, mengulangi mengeja namanya.

"Tidak perlu diulang, saya tidak tuli!" ketus Lingga kesal.

Intan hanya menggerakkan pundaknya, lalu beralih menatap ke luar jendela. Beberapa jam bersama dengan Lingga, membuat Intan mulai terbiasa menghadapi sikap atasannya yang Intan nilai sangat aneh. Hingga waktu berjalan begitu cepat, pesawat yang mereka tumpangi akhirnya mendarat juga di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid.

"Kita check in dulu di hotel, setelah itu baru kita melakukan perjalan ke tempat sesuai jadwal," ujar Lingga, lagi-lagi meninggalkan Intan sendirian.

Intan segera menyeret kopernya, mulutnya terus komat kamit seperti membaca mantra karena mengumpat sang atasan. Jarak hotel dan bandara letaknya lumayan jauh. Untuk mencapai tempat tujuannya, Intan dan Lingga harus menaiki mobil dengan memakan waktu kurang lebih delapan jam.

"Kenapa jauh sekali?" tanya Intan, tubuhnya benar-benar lelah sekali rasanya.

"Sabar, sebentar lagi juga sampai. Jangan mengeluh!" ketus Lingga, kepalanya pusing mendengar keluhan sekretaris barunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status