LOGINPagi datang pelan, membawa cahaya lembut yang menyelinap lewat tirai jendela. Udara kamar rawat terasa lebih hangat dari biasanya, seolah malam yang panjang akhirnya memberi ruang untuk bernapas.
Kinanti tertidur di sisi Angga. Tubuhnya meringkuk, kepalanya bersandar di bahu Angga, tangannya masih menggenggam jemari suaminya. Angga terbangun lebih dulu. Ia menoleh, mendapati wajah Kinanti begitu dekat—mata sembab, tapi terlihat damai. Senyum tipis muncul di wajah Angga. Sudah lama ia tidak melihat istrinya setenang ini. Pintu kamar terbuka perlahan. Darmi masuk sambil menenteng beberapa kantong makanan. Langkahnya terhenti seketika. Ia tersenyum melihat pemandangan di hadapannya—dua orang yang terlelap dalam diam, saling menguatkan tanpa kata. Dalam hatinya, Darmi melangitkan doa. Ya Allah, jaga mereka. Beri kesehatan dan kebaikan untuk dua majikanku ini. IKeheningan kembali menyelimuti kamar. Tirai bergoyang pelan tertiup udara dari pendingin ruangan. Dua insan itu terengah, bukan oleh sakit, melainkan oleh luapan rindu yang terlalu lama tertahan. Ranjang rumah sakit berderit pelan—bukan karena gelisah, tapi karena dua hati yang saling mencari kehangatan di tempat yang seharusnya dingin dan steril. Tubuh Kinanti akhirnya luruh, bersandar di dada Angga. Nafas mereka perlahan kembali teratur. Beberapa saat kemudian, Kinanti bangkit perlahan. Ia merapikan bajunya, lalu dengan cekatan merapikan Angga—selimut ditarik, posisi infus dicek, bantal dirapikan seolah tak pernah terjadi apa-apa. Angga mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh anak rambut Kinanti yang sedikit berantakan. Ia merapikannya dengan hati-hati. Mata mereka bertemu. “Makasih ya, Ki,” ucap Angga lirih, penuh rasa. Kinanti melirik sambil mendengus kecil. “Dasar Pak Angga,” suara
“Ki, sini… tiduran di sebelahku,” pinta Angga pelan, nadanya manja. Kinanti ragu sebentar, lalu menurut. Ia naik ke ranjang dengan hati-hati, berbaring di sisi Angga. Posisi mereka dekat, terlalu dekat untuk sekadar diam. Angga tersenyum kecil, puas. Tangannya terangkat perlahan, menelusuri pipi Kinanti dengan ujung jari. Sentuhannya lembut, penuh rindu yang lama tertahan. Angga menarik napas pelan—ia tetaplah pria normal, dan suasana santai pagi itu membuat keinginannya muncul tanpa bisa dicegah. Kinanti mendongak. Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kata, hanya senyum kecil yang saling mengerti. Perlahan, Kinanti mendekat. Bibirnya menyentuh bibir Angga—awal yang lembut, lalu semakin dalam. Angga membalas dengan hati-hati, seolah takut melupakan infus dan tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih. Tiba-tiba— Pintu kamar terbuka. Keduanya refleks menghentikan ciuman.
Pagi datang pelan, membawa cahaya lembut yang menyelinap lewat tirai jendela. Udara kamar rawat terasa lebih hangat dari biasanya, seolah malam yang panjang akhirnya memberi ruang untuk bernapas. Kinanti tertidur di sisi Angga. Tubuhnya meringkuk, kepalanya bersandar di bahu Angga, tangannya masih menggenggam jemari suaminya. Angga terbangun lebih dulu. Ia menoleh, mendapati wajah Kinanti begitu dekat—mata sembab, tapi terlihat damai. Senyum tipis muncul di wajah Angga. Sudah lama ia tidak melihat istrinya setenang ini. Pintu kamar terbuka perlahan. Darmi masuk sambil menenteng beberapa kantong makanan. Langkahnya terhenti seketika. Ia tersenyum melihat pemandangan di hadapannya—dua orang yang terlelap dalam diam, saling menguatkan tanpa kata. Dalam hatinya, Darmi melangitkan doa. Ya Allah, jaga mereka. Beri kesehatan dan kebaikan untuk dua majikanku ini. I
Kinanti duduk lagi di samping Angga. Kali ini ia lebih tenang. Tangannya kembali menggenggam tangan suaminya, tapi tidak seerat tadi. “Sekarang tidur lagi ya,” katanya pelan. “Nanti kalau sudah lebih enakan, kita ngobrol.” Angga menghela nafas panjang, lalu mengangguk. “Kabar Yono gimana?" Dalam keadaan sakit pun Angga masih memikirkan orang lain. "Baik-baik aja, nggak separah kamu, udah pulang dari Rumah Sakit." Kinanti mengelus jidat Angga."Alhamdulillah. Maafin aku, Ki." Tatapan Angga sayu."Buat apa?" Dahi Kinanti mengernyit."Buat kejutan yang ingin aku berikan." Kinanti tersenyum kecil. “Aku sampe syok, bukan terkejut lagi." kekehan keluar dari mulut kinanti. "Udah tidur lagi, Mas. Aku tungguin di sini.""Ki, tidur di sebelahku sini, kasian dedek bayinya." Kinanti tersenyum, dia bangun dari duduk naik ke ranjang sebelah Angga. sebelum merebahkan tubuh Kinanti mengecup pipi Angga.
Ponsel Kinanti bergetar pelan di atas kursi kecil di samping ranjang. Getarannya nyaris tak bersuara, namun cukup membuat Kinanti terbangun. Ia mengusap wajahnya yang basah oleh sisa air mata, lalu meraih ponsel itu dengan tangan gemetar. Lisa menelepon. Kinanti menelan ludah sebelum menggeser layar. “Halo…” suaranya serak, nyaris habis. “Ki, gimana kabar kamu? Aku dengar Angga kecelakaan?” suara Lisa terdengar cepat, panik tak disembunyikan. Kinanti tak langsung menjawab. Dadanya sesak, dan air mata kembali jatuh tanpa bisa ditahan. “Lis…” Kinanti terisak. “Dia… dia masih belum sadar." Di seberang sana, Lisa terdiam sejenak, lalu suaranya melunak. “Banyak berdoa Ki, yang sabar ya kamu. Angga pasti bangun. Kamu jangan tinggalin dia." Kinanti mengangguk meski Lisa tak bisa melihat.
Lampu kamar VIP yang remang membuat suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara monitor detak jantung yang memecah keheningan. Kinanti duduk di kursi samping ranjang, wajahnya pucat karena begadang dan syok. Ningsih berdiri di belakangnya, memijat pelan bahu Kinanti yang tegang. “Non Kinanti… istirahat dulu ya. Dari tadi belum tidur sama sekali.” Kinanti menggeleng pelan, tatapannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Angga yang terbaring dengan berbagai selang infus. “Aku nggak bisa tidur, Ning… Aku masih dengar suara Angga waktu telpon tadi. Dia bilang mau kasih kejutan… Tapi kenapa kejutannya seperti ini?” Suara Kinanti pecah. Air matanya jatuh satu-satu lalu mengalir semakin deras. Dia meraih tangan Angga—tangan yang kini terasa dingin dan kaku oleh gips. “Angga… kamu dengar aku? Bangun, ya… aku butuh kamu…” Ia meremas telapak tangan Angga, mencoba memindahka







