Share

Terjebak.

Author: Azzurra
last update Last Updated: 2025-12-27 09:00:44

“Sialan!”

Bram menggebrak meja hingga gelas di atasnya terguncang. Rahangnya mengeras, napasnya memburu. Di layar ponsel, kabar tentang Angga yang selamat masih terpampang.

“Harusnya mati, atau cacat.” gumamnya penuh amarah.

Ia meraih jaket, menyampirkannya kasar, lalu keluar tanpa menoleh. Mesin mobil menderu, membawa Bram menuju satu-satunya orang yang masih bisa ia kendalikan.

Lisa.

Di rumahnya, Lisa duduk di atas sof, tangannya lincah menggonta ganti channel, tak ada firasat apa-apa. Tiba-tiba Ketukan keras di pintu membuat tubuhnya menegang.

“Lisa. Buka.”

Suara Bram dingin, tanpa pilihan.

Lisa membuka pintu perlahan. Bram langsung masuk, menutup pintu dengan satu hentakan. Tatapannya menusuk, senyum tipis terbit—senyum yang selalu membuat Lisa merasa kecil.

“Kamu gagal,” kata Lisa lirih, nyaris tak terdengar.

Bram tertawa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Jerat Obsesi Masa Laluku.   Terjebak.

    “Sialan!” Bram menggebrak meja hingga gelas di atasnya terguncang. Rahangnya mengeras, napasnya memburu. Di layar ponsel, kabar tentang Angga yang selamat masih terpampang. “Harusnya mati, atau cacat.” gumamnya penuh amarah. Ia meraih jaket, menyampirkannya kasar, lalu keluar tanpa menoleh. Mesin mobil menderu, membawa Bram menuju satu-satunya orang yang masih bisa ia kendalikan. Lisa. Di rumahnya, Lisa duduk di atas sof, tangannya lincah menggonta ganti channel, tak ada firasat apa-apa. Tiba-tiba Ketukan keras di pintu membuat tubuhnya menegang. “Lisa. Buka.” Suara Bram dingin, tanpa pilihan. Lisa membuka pintu perlahan. Bram langsung masuk, menutup pintu dengan satu hentakan. Tatapannya menusuk, senyum tipis terbit—senyum yang selalu membuat Lisa merasa kecil. “Kamu gagal,” kata Lisa lirih, nyaris tak terdengar. Bram tertawa

  • Jerat Obsesi Masa Laluku.   Flashback Gerry

    Lorong rumah sakit cukup lengang. Cahaya siang memantul di lantai keramik yang mengilap. Gerry berjalan santai sambil berbincang melalui ponsel. Nada suaranya rendah, profesional, seolah membahas hal biasa. “Iya… kamu kumpulkan bukti-bukti, mungkin sore aku sudah di Jakarta,” ucapnya singkat. “Tenang.” Ia mematikan panggilan, memasukkan ponsel ke saku jasnya. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu kamar Angga. Tangannya terangkat hendak mengetuk—Namun ia mengurungkan niatnya.Dari balik pintu, terdengar suara samar. Bukan percakapan jelas, tapi cukup untuk membuat alis Gerry terangkat sedikit. Insting lelaki dewasa langsung bekerja. Ia menarik napas kecil, lalu tersenyum tipis. “Oh…” gumamnya pelan. “Timing-nya pas banget. Di manapun dan kapanpun, Bos." Gerry tersenyum. Ia hendak melenggang pergi, memberi ruang tanpa perlu tahu lebih jauh, Namun langkah kaki terdengar mendekat dari ujung lorong. Beberapa perawat

  • Jerat Obsesi Masa Laluku.   Menyenangkan Kinanti.

    Keheningan kembali menyelimuti kamar. Tirai bergoyang pelan tertiup udara dari pendingin ruangan. Dua insan itu terengah, bukan oleh sakit, melainkan oleh luapan rindu yang terlalu lama tertahan. Ranjang rumah sakit berderit pelan—bukan karena gelisah, tapi karena dua hati yang saling mencari kehangatan di tempat yang seharusnya dingin dan steril. Tubuh Kinanti akhirnya luruh, bersandar di dada Angga. Nafas mereka perlahan kembali teratur. Beberapa saat kemudian, Kinanti bangkit perlahan. Ia merapikan bajunya, lalu dengan cekatan merapikan Angga—selimut ditarik, posisi infus dicek, bantal dirapikan seolah tak pernah terjadi apa-apa. Angga mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh anak rambut Kinanti yang sedikit berantakan. Ia merapikannya dengan hati-hati. Mata mereka bertemu. “Makasih ya, Ki,” ucap Angga lirih, penuh rasa. Kinanti melirik sambil mendengus kecil. “Dasar Pak Angga,” suara

  • Jerat Obsesi Masa Laluku.   Dapet Jatah.

    “Ki, sini… tiduran di sebelahku,” pinta Angga pelan, nadanya manja. Kinanti ragu sebentar, lalu menurut. Ia naik ke ranjang dengan hati-hati, berbaring di sisi Angga. Posisi mereka dekat, terlalu dekat untuk sekadar diam. Angga tersenyum kecil, puas. Tangannya terangkat perlahan, menelusuri pipi Kinanti dengan ujung jari. Sentuhannya lembut, penuh rindu yang lama tertahan. Angga menarik napas pelan—ia tetaplah pria normal, dan suasana santai pagi itu membuat keinginannya muncul tanpa bisa dicegah. Kinanti mendongak. Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kata, hanya senyum kecil yang saling mengerti. Perlahan, Kinanti mendekat. Bibirnya menyentuh bibir Angga—awal yang lembut, lalu semakin dalam. Angga membalas dengan hati-hati, seolah takut melupakan infus dan tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih. Tiba-tiba— Pintu kamar terbuka. Keduanya refleks menghentikan ciuman.

  • Jerat Obsesi Masa Laluku.   Meminta.

    Pagi datang pelan, membawa cahaya lembut yang menyelinap lewat tirai jendela. Udara kamar rawat terasa lebih hangat dari biasanya, seolah malam yang panjang akhirnya memberi ruang untuk bernapas. Kinanti tertidur di sisi Angga. Tubuhnya meringkuk, kepalanya bersandar di bahu Angga, tangannya masih menggenggam jemari suaminya. Angga terbangun lebih dulu. Ia menoleh, mendapati wajah Kinanti begitu dekat—mata sembab, tapi terlihat damai. Senyum tipis muncul di wajah Angga. Sudah lama ia tidak melihat istrinya setenang ini. Pintu kamar terbuka perlahan. Darmi masuk sambil menenteng beberapa kantong makanan. Langkahnya terhenti seketika. Ia tersenyum melihat pemandangan di hadapannya—dua orang yang terlelap dalam diam, saling menguatkan tanpa kata. Dalam hatinya, Darmi melangitkan doa. Ya Allah, jaga mereka. Beri kesehatan dan kebaikan untuk dua majikanku ini. I

  • Jerat Obsesi Masa Laluku.   Takut kehilangan.

    Kinanti duduk lagi di samping Angga. Kali ini ia lebih tenang. Tangannya kembali menggenggam tangan suaminya, tapi tidak seerat tadi. “Sekarang tidur lagi ya,” katanya pelan. “Nanti kalau sudah lebih enakan, kita ngobrol.” Angga menghela nafas panjang, lalu mengangguk. “Kabar Yono gimana?" Dalam keadaan sakit pun Angga masih memikirkan orang lain. "Baik-baik aja, nggak separah kamu, udah pulang dari Rumah Sakit." Kinanti mengelus jidat Angga."Alhamdulillah. Maafin aku, Ki." Tatapan Angga sayu."Buat apa?" Dahi Kinanti mengernyit."Buat kejutan yang ingin aku berikan." Kinanti tersenyum kecil. “Aku sampe syok, bukan terkejut lagi." kekehan keluar dari mulut kinanti. "Udah tidur lagi, Mas. Aku tungguin di sini.""Ki, tidur di sebelahku sini, kasian dedek bayinya." Kinanti tersenyum, dia bangun dari duduk naik ke ranjang sebelah Angga. sebelum merebahkan tubuh Kinanti mengecup pipi Angga.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status