“Ingat, Maudy, kamu hanya istri simpananku! Jadi jangan pernah menghubungi atau mencariku! Jika aku membutuhkanmu, aku sendiri yang akan datang ke apartemen ini, dan jika kita bertemu di luar, anggap kita tak pernah saling kenal!” Ucap Arya dengan tegas sambil melepas jas pengantinnya, lalu meninggalkan Maudy yang terduduk lesu di ranjang apartemen.
Maudy merasa pikirannya kosong, belum bisa memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Awalnya ia datang ke Jakarta untuk bekerja di perusahaan Pamannya, namun tak disangka setelah seminggu di sana, ia malah dipaksa menikah dengan seorang pria yang telah memiliki istri. “Kenapa semua ini harus terjadi?” Gumam Maudy dengan suara lemah, merenungkan keadaan yang begitu rumit dan menyakitkan baginya. Arya sendiri memang telah menikah sebelumnya, namun setelah tiga bulan pernikahan, istrinya mengalami penyakit hipotiroidisme. Dimana tubuhnya selalu terasa lemah, dan semakin lama, gairah dalam hubungan mereka pun memudar. Mereka telah mencoba berbagai cara, dari pengobatan di dalam negeri hingga ke luar negeri, namun hasilnya tetap nihil. Setelah tiga tahun menahan hasratnya, Arya akhirnya memutuskan untuk menikah lagi secara diam-diam. Meskipun Jasmine-istri pertamanya, sebenarnya tidak keberatan dengan keputusan pria itu jika ingin menikah lagi. Namun Arya memilih untuk merahasiakan pernikahannya dengan Maudy, demi menjaga perasaan Jasmine. Karena dia tahu, meskipun Jasmine berkata bahwa dia tak keberatan, tapi wanita mana yang mau dimadu. Setelah sepuluh menit kemudian, Arya akhirnya keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang menutupi area bawahnya. “Sekarang kamu mandi, setelah itu lakukan tugas pertamamu sebagai seorang istri!” Titahnya. Maudy, dengan hati yang berat, tak bisa menolak perintah itu. Langkahnya gemetar saat ia memasuki kamar mandi. Setelah pintu terkunci rapat, dia menatap pantulan dirinya di cermin, meratapi nasib yang tak pernah diinginkannya. “Ya Allah, mengapa harus begini? Aku tak ingin menjadi istri kedua, aku juga tak ingin menjadi penyebab luka bagi siapapun,” Lirih Maudy. Air mata hangat mulai mengalir tak terbendung, membasahi pipinya yang putih mulus. Dengan tangan gemetar, Maudy mulai melepaskan pakaian yang menempel erat pada tubuhnya, sementara air shower turun dengan perlahan membasahi tubuh wanita itu. Maudy berdiri di bawah aliran air, berharap kegelisahan dan kepedihan yang merasuk di dalam jiwanya dapat terbawa pergi oleh guyuran air yang dingin. Setelah selesai mandi, Maudy mengambil bathrobe yang sudah tersedia, lalu memakainya dengan hati-hati. Di dalam ruangan itu, ia merasa seperti berada dalam pusaran emosi yang tak terduga. Rasa ragu mulai menghantui pikirannya, dia merasa belum siap jika harus melayani Arya, meskipun mereka sudah resmi menjadi suami istri. Saat Maudy berdiri di depan pintu, langkah kaki Arya yang semakin dekat terdengar seperti dentuman guntur di telinganya. Detak jantungnya semakin cepat berdegup, mengimbangi ketegangan yang menyelimuti udara. Tiba-tiba, dentuman keras di pintu membuat Maudy terlonjak kaget. Suara keras Arya yang penuh urgensi memecah keheningan, “Maudy, cepat keluar! Aku tidak punya banyak waktu!” “I... Iya, Mas.” Saat Maudy melangkah keluar dari kamar mandi, Arya tak bisa menahan diri untuk tidak terpesona oleh kecantikan wanita yang baru saja dinikahinya. Maudy tampil begitu seksi hanya mengenakan bathrobe yang sepangkal paha, memperlihatkan kulit yang begitu halus dan mulus, rambutnya yang biasanya tertutup hijab kini tergerai indah menambah pesona yang memikat. Setiap lekukan tubuh Maudy terlihat begitu sempurna, menampilkan keindahan alami yang tak terbantahkan. “Kemari,” Pinta Arya dengan suara serak sambil mengulurkan tangannya, meminta Maudy untuk mendekat. Sebagai seorang pria yang menahan hasratnya hampir tiga tahun, jujur saja Arya juga merasa berdebar. Karena selama ini dia hanya satu kamar dengan Jasmine-istri pertama. Namun sore ini dia malah bersama dengan istri keduanya. Dengan hati yang berdebar kencang, Maudy merasa ragu namun juga tidak bisa menolak permintaan pria itu. Langkahnya terasa berat, seakan waktu berhenti sejenak di saat-saat seperti ini. Maudy berjalan secara perlahan, setiap langkahnya terasa begitu cemas. Saat akhirnya ia berdiri tepat di hadapan Arya, wajahnya hanya mampu menunduk tanpa berani menatap langsung ke arah mata pria itu. Ekspresi wajahnya mencerminkan perasaan gugup, seolah-olah mencoba menyembunyikan kelemahan dan ketidakmampuannya untuk menghadapi situasi yang begitu penuh dengan nafsu. “Kamu yakin masih perawan?” Tanya Arya sambil menggenggam tangan Maudy, perlahan membawanya ke arah ranjang. Raut wajah pria itu terlihat sudah tidak sabar, bahkan Maudy sendiri bisa mendengar suara nafasnya yang mulai tidak beraturan. “I-Iya, Mas,” Jawab Maudy dengan suara bergetar, merasakan perasaan campur aduk yang menyelimuti dirinya. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa gugup dan takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Apa kamu pernah berciuman sebelumnya?” Arya menatap Maudy intens, perlahan mulai membuka bathrobe yang dipakai wanita itu. Membuat detak jantung Maudy semakin kencang, ketika jemari suaminya terasa menyentuh tubuhnya dari pinggang hingga ke punggung, Maudy hanya bisa memejamkan mata dengan tangan mengepal kuat. “Be... Belum, Mas,” Bisik Maudy lirih. “Bagus,” Arya tersenyum puas, matanya terlihat bergelora saat ia memegang dagu Maudy dengan lembut dan mendekatkan wajahnya. “Ingat, Maudy! Sekarang kamu adalah istriku. Hanya aku yang berhak menyentuhmu,” Tegasnya. Dengan gerakan pelan, Arya mulai mencium bibir Maudy, mengeksplorasi betapa manis dan kenyalnya bibir istri keduanya itu. Gelombang kehangatan memenuhi ruangan, menyelimuti mereka berdua dalam kenikmatan yang belum pernah Maudy rasakan sebelumnya. Maudy, yang belum pernah melakukan hal tersebut, hanya diam tak berdaya tanpa merespon. Namun, justru hal itu malah memuaskan Arya, karena ia tahu bahwa Maudy memang benar-benar belum pernah merasakan ciuman seperti ini sebelumnya. “Buka bibirmu.” Mendengar perintah itu, Maudy dengan ragu membuka bibirnya. Namun tak lama kemudian, dia merasakan lidah suaminya yang lembut sekaligus dominan menghentak dan menjelajahi setiap sudut mulutnya, menciptakan sensasi yang begitu menggebu dan membius dirinya dalam sebuah hasrat yang meluap. Setengah jam berlalu, Maudy merasakan sensasi yang begitu intens di dalam dirinya. Perasaan sakit yang mulai menyelinap perlahan membuatnya hampir tak tertahankan. Air mata mulai mengalir di pipi yang halus, mencerminkan bagaimana rasa sakit yang dia rasakan. “Sakit, Mas,” Rintih Maudy dengan suara gemetar, mencoba menahan rasa sakit yang melanda tubuhnya.“Tahan, ini hanya sakit di awal,” Ucap Arya, berusaha menenangkan istrinya yang kesakitan. Melihat bagaimana Maudy meringis, hatinya berkecamuk. Arya hanya melakukan penembakan sekali, berjuang mengekang hasrat yang mulai membakar dadanya. Tubuh Maudy yang memikat sungguh sulit untuk dilepaskan dari dekapannya, namun dia juga tidak tega memaksa wanita itu terus melayaninya. “Kamu tidur aja, istirahat dulu. Udah mau maghrib, aku harus pulang, takut Jasmine mencariku nantinya,” Arya bangkit dari ranjang dengan perasaan bahagia, wajahnya tersenyum sumringah meski sebenarnya ia masih merasa belum sepenuhnya puas. Namun, apa yang baru saja terjadi sukses membuat ombak kebahagiaan di hatinya tampak begitu jelas. Arya berjalan menuju kamar mandi, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar kencang. Maudy sendiri hanya meremas selimut yang menutupi tubuhnya yang polos, hatinya begitu hancur. Dulu dia membayangkan akan menyerahkan tubuhnya dengan ikhlas pada suaminya, pria yang dia c
Di apartemen...Maudy memutuskan untuk bangun dan menuju kamar mandi. Walaupun masih terasa nyeri, namun wanita itu harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.Di bawah guyuran air shower yang menyegarkan, Maudy merasakan tubuhnya bergetar perlahan melepaskan ketegangan. Maudy memejamkan mata, mencoba menenangkan diri dari situasi yang sedang di hadapinya. Meski begitu, Maudy sadar bahwa dirinya harus terus berjalan dan menghadapi kenyataan, karena hidup tidak mungkin diam di tempat saja.Setelah selesai, Maudy mengambil sejadah dan menggelarnya dengan hati-hati di atas lantai. Maudy menunaikan sholat, berusaha khusyuk meski pikirannya terus saja melayang memikirkan hari esok yang masih menjadi misteri.“Ya Allah, mengapa takdirku harus begini? Aku tak sanggup menerima kenyataan ini,” Maudy berdoa dengan air mata yang kembali membasahi pipinya, “Walaupun rasa Cinta itu belum ada untuk Mas Arya, tapi hatiku terasa remuk menghadapi keadaan ini, Ya Allah... Bagaimana juga pera
Tak berselang lama, wanita itu tiba di rumah sakit, Maudy segera menuju area pendaftaran untuk mendaftarkan dirinya. Dengan langkah mantap, ia mengisi formulir dan menyerahkan berkas yang diperlukan. Setelah selesai, Maudy duduk di ruang tunggu. Saat sedang duduk di ruang tunggu, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang duduk di kursi roda. Wajah wanita itu begitu pucat, seolah kehilangan segenap warna. Maudy merasa simpati melihat keadaan wanita itu, apalagi tidak terlihat ada orang disekelilingnya.Maudy memutuskan untuk mendekati wanita itu, karena melihat ingin minum dari botol tapi kesusahan.“Biar aku bantu bukain, Kak.” Ucap Maudy, mengambil botol minum dari tangan wanita tersebut.Wanita itu menatap Maudy dengan sorot mata lelah, namun senyuman kecil terukir di bibirnya, “Terima kasih, maaf merepotkan,” jawab wanita itu pelan.Setelah berhasil membuka botol minum tersebut, Maudy meletakkan sedotan agar wanita itu mudah untuk meminumnya.“Kakak sendirian?” Tanyanya ingin
Pukul 17.00 wib, setelah minum obat dan istirahat yang cukup, Maudy merasa tubuhnya mulai membaik, bahkan sekarang ia sudah sibuk memasak untuk dirinya sendiri. “Untungnya isi kulkas penuh, jadi aku gak perlu belanja.” Sebenarnya menjadi istri Arya cukup menguntungkan, ia tidak perlu kerja keras untuk mencari uang, namun rasa bersalah pada Kakak madunya terus menghantui pikirannya. Saat Maudy sedang sibuk membuat ayam goreng mentega, juga tumis kangkung, Maudy terlonjak kaget saat merasakan ada yang menggelung rambutnya yang tergerai bebas. “Astaghfirullah hal adzim, Mas... Kamu ngagetin aku tau,” Bagaimana tidak kaget, ia tinggal di apartemen ini sendiri, jadi saat merasakan ada yang memainkan rambutnya, Maudy langsung kaget. “Kalau lagi masak itu rambutnya di ikat, biar gak ganggu,” Maudy melepas dasinya, lalu mengikatkan dasi itu pada rambut panjang Maudy, “Kamu ngapain masak sih, emang kamu udah mendingan??” Tanya Arya, khawatir. Maudy mengangguk pelan, tak berani men
Tiba-tiba, ponsel Arya yang terletak di nakas berbunyi. Nada deringnya yang khas, sebuah lagu romantis yang sering ia dengarkan bersama Jasmine, membuat Maudy tersentak, kembali ke kenyataan. Arya mengernyit, melihat layar ponselnya. “Istriku menelepon,” gumamnya, nada suaranya berubah, sedikit gugup. Maudy menunduk, hatinya mulai berdesir. Ia tahu, itu istri pertama suaminya, adalah sosok yang sangat penting dalam hidup Arya. Jasmine adalah wanita yang telah menemani Arya selama bertahun-tahun, wanita yang telah memberikannya cinta, kasih sayang, pada pria di sampingnya. “Saya angkat telepon dulu, kamu diam jangan bersuara!” Tegas Arya, namun ada sedikit kekhawatiran yang tersirat di dalamnya. Maudy mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Entah apakah dia sudah mulai merasa cemburu atau bagaimana. Ia tahu, prioritas Arya adalah Jasmine, dan pria itu tidak ingin istri pertamanya tahu jika sedang bersama Maudy. Maudy juga tidak protes karena tidak ingin menjadi penyebab keretakan
“Karena aku gak mau kalau sampai Mas jajan di luar sana! Bagaimana pun juga, aku gak mau nyiksa hasrat Mas. Aku gak bisa melayani Mas dan juga gak bisa memberikan anak. Jadi, aku mohon menikahlah lagi, Mas!” Pinta Jasmine. Arya terdiam, hatinya merasa bersalah. Ia merasa sangat bersyukur memiliki istri seperti Jasmine, yang begitu tulus mencintainya dan selalu mengutamakan kebahagiaannya. Arya merasa terharu dengan pengorbanan Jasmine, yang rela melepaskan kebahagiaan wanita itu demi kebahagiaan Arya. “Jasmine...” Arya tidak bisa berkata apa-apa. Merasa sulit untuk menjelaskan bahwa saat ini ia sudah menikah lagi. Namun Arya takut jika istrinya itu sebenarnya tidak siap bahkan nanti malah membuat sakit wanita itu semakin parah. “Aku mohon, Mas... Mas nikah lagi ya! Aku akan bahagia melihat Mas bahagia, asal Mas menikah dengan wanita yang juga mau menerimaku sebagai kakak madunya!” Jelas Jasmine. “Mas akan memikirkan semuanya dulu, sayang.” Jasmine mengangguk, air matanya terus m
“Mas...” Panggil Maudy. Arya tersenyum, sebuah senyum yang penuh makna. Pria itu kemudian ikut masuk ke dalam bathtub. Air hangat membasahi tubuh keduanya, menciptakan suasana yang menggoda. Maudy yang awalnya gugup, mulai merasakan sensasi yang berbeda. Arya dengan tangannya yang hangat, menelusuri lekuk tubuh wanita itu. Maudy yang awalnya menolak, mulai merasakan ketertarikan yang sama. “Mas, stop! Jangan ke bawah!” Maudy mencegah tangan Arya yang hampir menyentuh area miliknya. “Kenapa?” Suara Arya terdengar semakin berat, gairahnya sudah memuncak. “A-Aku lagi datang bulan,” Jawab Maudy sedikit tersengal. Arya dengan tubuh yang bergetar karena hasrat, menatap Maudy dalam-dalam. Uap air hangat mengepul, membasahi kulit istri mudanya itu, semakin menonjolkan lekuk tubuh Maudy yang indah. Arya merasakan tubuhnya panas, napasnya tersengal-sengal. la merasakan sebuah gelombang keinginan yang tak tertahankan, menyerbu dirinya. “Maudy, saya_” Arya terdiam, kata-kata yang ingin i
~SUPERMARKET~Maudy mengambil sebuah troli dan mulai berkeliling, mencari bahan makanan yang dibutuhkan.Maudy mengambil beras yang cukup untuk dirinya selama satu bulan. Setelah itu, ia mengambil beberapa kotak telur ayam. Kemudian beralih ke bagian sayur dan buah, memilih beberapa jenis sayuran hijau dan buah lainnya.Tidak lupa Maudy mengambil beberapa jenis cemilan, juga beberapa minuman.Setelah merasa sudah lengkap, Maudy mendorong troli menuju kasir. Wanita itu menata barang-barang belanjaannya dengan rapi, menunggu giliran untuk membayar.Saat Maudy tengah mengantri, tatapannya terhenti pada seorang wanita yang duduk di kursi roda, dengan wajah pucat pasi. Maudy mengenal wanita itu, Jasmine seseorang yang ia temui di rumah sakit waktu itu.Sementara itu_Jasmine begitu terlihat lemah, tangan wanita itu gemetar, dan keringat dingin menetes di kening. Di samping Jasmine, terdapat seorang asisten rumah tangga dengan wajah panik. “Kan saya sudah bilang, Nyonya. Nyonya jangan ikut,
“Arya, kamu mau kemana? Kita belum selesai makan,” Tanya Andika. “Aku gak mau makan di sini lagi. Aku mau pulang saja!!” Kekeuh Arya, muak. “Arya, jangan marah-marah. Kita kan cuma mau bersenang-senang,” Tambah Rian, mencoba merayu sahabatnya itu. Arya mengerutkan kening, “Bersenang-senang? Dengan cara seperti ini?” Tanyanya tergelak sinis. “Kalian berdua sudah gila!!” Bentak Arya, makin geram. “Aku gak mau lagi ngobrol sama kalian. Aku mau pulang!!” “Arya, udah lah... Kita itu kasian sama kamu. Lagian kamu ngapain masih mempertahankan dan setia sama wanita penyakitan begitu, mending cari hiburan. Tenang, wanita-wanita di sini sangat pandai memuaskan kita.” Kata-kata Rian menusuk di telinga Arya seperti belati. Darah di tubuhnya seketika mendidih, amarah yang selama ini dipendam meledak. Arya menarik kemeja Andika dengan kasar, matanya menatap tajam sahabatnya itu. “Kamu boleh menghinaku sepuasmu, tapi jika istriku yang kamu hina dan kamu rendahkan, AKU GAK AKAN TINGGAL DIAM!
“Mas Arya?” Ulang Maudy, membuat Jasmine menoleh. “Nama suami kakak, Arya??” “lya, kenapa?” “Namanya mirip dengan suami aku, kak.” Jawab Maudy apa adanya. “Wah, serius? Kebetulan banget ya.” Jawab Jasmine, tak curiga sama sekali. “Iya, Kak... Maudy yakin kakak pasti sembuh, dan kakak bisa menjalani rumah tangga seperti awal menikah dengan suami kakak.” Maudy merasa iba melihat Jasmine yang terlihat merasa bersalah pada suami wanita itu, padahal ini semua juga bukan kemauan Jasmine. “Itu semua gak mungkin, Maudy. Karena sakit yang kakak alami udah stadium akhir. Bisa dibilang kakak hanya tinggal menunggu waktu.” Ungkap Jasmine dengan mata berkaca-kaca, bayangan dirinya pergi sebelum melihat suaminya menikah lagi rasanya begitu berat. “Kakak jangan ngomong gitu, kita baru kenal bahkan baru beberapa hari bersama. Maudy ingin terus mengenal kak Jasmine dan menghabiskan waktu bersama.” Maudy memeluk Jasmine, rasanya tidak mau berpisah dengan wanita itu. Walaupun yang namanya kematian
Pukul 19.00 wib,Maudy tengah membuat bubur di dapur untuk Jasmine. Sesekali gadis itu mencicipi rasanya, memastikan bubur yang dibuatnya tidak terlalu hambar atau terlalu asin.“Semoga Kak Jasmine suka,” gumamnya sambil tersenyum.Setelah bubur matang, Maudy menuangkannya ke dalam mangkuk. Berjalan keluar menghampiri Jasmine yang tengah beristirahat di kamar.“Kak, buburnya udah jadi. Ini Mudy bikinin khusus buat kakak,” Ucap Maudy tersenyum.Jasmine membuka matanya perlahan, menatap gadis itu, “Makasih, Maudy. Kamu baik banget.”Maudy dengan cekatan membantu Jasmine duduk bersandar, lalu menyuapi Jasmine dengan hati-hati. Jasmine menikmati bubur yang dibuat Maudy dengan Iahap. Membuat gadis itu merasa senang.“Enak gak, kak?” Tanya Maudy menatap wanita di depannya itu, berharap Jasmine suka bubur buatannya.“Hu'um, enak banget.” Jawab Jasmine manggut-manggut sambil mengunyah.Maudy seketika tersenyum senang melihat Jasmine makan bubur itu dengan lahap.Jasmine menghabiskan bubur bu
~SUPERMARKET~Maudy mengambil sebuah troli dan mulai berkeliling, mencari bahan makanan yang dibutuhkan.Maudy mengambil beras yang cukup untuk dirinya selama satu bulan. Setelah itu, ia mengambil beberapa kotak telur ayam. Kemudian beralih ke bagian sayur dan buah, memilih beberapa jenis sayuran hijau dan buah lainnya.Tidak lupa Maudy mengambil beberapa jenis cemilan, juga beberapa minuman.Setelah merasa sudah lengkap, Maudy mendorong troli menuju kasir. Wanita itu menata barang-barang belanjaannya dengan rapi, menunggu giliran untuk membayar.Saat Maudy tengah mengantri, tatapannya terhenti pada seorang wanita yang duduk di kursi roda, dengan wajah pucat pasi. Maudy mengenal wanita itu, Jasmine seseorang yang ia temui di rumah sakit waktu itu.Sementara itu_Jasmine begitu terlihat lemah, tangan wanita itu gemetar, dan keringat dingin menetes di kening. Di samping Jasmine, terdapat seorang asisten rumah tangga dengan wajah panik. “Kan saya sudah bilang, Nyonya. Nyonya jangan ikut,
“Mas...” Panggil Maudy. Arya tersenyum, sebuah senyum yang penuh makna. Pria itu kemudian ikut masuk ke dalam bathtub. Air hangat membasahi tubuh keduanya, menciptakan suasana yang menggoda. Maudy yang awalnya gugup, mulai merasakan sensasi yang berbeda. Arya dengan tangannya yang hangat, menelusuri lekuk tubuh wanita itu. Maudy yang awalnya menolak, mulai merasakan ketertarikan yang sama. “Mas, stop! Jangan ke bawah!” Maudy mencegah tangan Arya yang hampir menyentuh area miliknya. “Kenapa?” Suara Arya terdengar semakin berat, gairahnya sudah memuncak. “A-Aku lagi datang bulan,” Jawab Maudy sedikit tersengal. Arya dengan tubuh yang bergetar karena hasrat, menatap Maudy dalam-dalam. Uap air hangat mengepul, membasahi kulit istri mudanya itu, semakin menonjolkan lekuk tubuh Maudy yang indah. Arya merasakan tubuhnya panas, napasnya tersengal-sengal. la merasakan sebuah gelombang keinginan yang tak tertahankan, menyerbu dirinya. “Maudy, saya_” Arya terdiam, kata-kata yang ingin i
“Karena aku gak mau kalau sampai Mas jajan di luar sana! Bagaimana pun juga, aku gak mau nyiksa hasrat Mas. Aku gak bisa melayani Mas dan juga gak bisa memberikan anak. Jadi, aku mohon menikahlah lagi, Mas!” Pinta Jasmine. Arya terdiam, hatinya merasa bersalah. Ia merasa sangat bersyukur memiliki istri seperti Jasmine, yang begitu tulus mencintainya dan selalu mengutamakan kebahagiaannya. Arya merasa terharu dengan pengorbanan Jasmine, yang rela melepaskan kebahagiaan wanita itu demi kebahagiaan Arya. “Jasmine...” Arya tidak bisa berkata apa-apa. Merasa sulit untuk menjelaskan bahwa saat ini ia sudah menikah lagi. Namun Arya takut jika istrinya itu sebenarnya tidak siap bahkan nanti malah membuat sakit wanita itu semakin parah. “Aku mohon, Mas... Mas nikah lagi ya! Aku akan bahagia melihat Mas bahagia, asal Mas menikah dengan wanita yang juga mau menerimaku sebagai kakak madunya!” Jelas Jasmine. “Mas akan memikirkan semuanya dulu, sayang.” Jasmine mengangguk, air matanya terus m
Tiba-tiba, ponsel Arya yang terletak di nakas berbunyi. Nada deringnya yang khas, sebuah lagu romantis yang sering ia dengarkan bersama Jasmine, membuat Maudy tersentak, kembali ke kenyataan. Arya mengernyit, melihat layar ponselnya. “Istriku menelepon,” gumamnya, nada suaranya berubah, sedikit gugup. Maudy menunduk, hatinya mulai berdesir. Ia tahu, itu istri pertama suaminya, adalah sosok yang sangat penting dalam hidup Arya. Jasmine adalah wanita yang telah menemani Arya selama bertahun-tahun, wanita yang telah memberikannya cinta, kasih sayang, pada pria di sampingnya. “Saya angkat telepon dulu, kamu diam jangan bersuara!” Tegas Arya, namun ada sedikit kekhawatiran yang tersirat di dalamnya. Maudy mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Entah apakah dia sudah mulai merasa cemburu atau bagaimana. Ia tahu, prioritas Arya adalah Jasmine, dan pria itu tidak ingin istri pertamanya tahu jika sedang bersama Maudy. Maudy juga tidak protes karena tidak ingin menjadi penyebab keretakan
Pukul 17.00 wib, setelah minum obat dan istirahat yang cukup, Maudy merasa tubuhnya mulai membaik, bahkan sekarang ia sudah sibuk memasak untuk dirinya sendiri. “Untungnya isi kulkas penuh, jadi aku gak perlu belanja.” Sebenarnya menjadi istri Arya cukup menguntungkan, ia tidak perlu kerja keras untuk mencari uang, namun rasa bersalah pada Kakak madunya terus menghantui pikirannya. Saat Maudy sedang sibuk membuat ayam goreng mentega, juga tumis kangkung, Maudy terlonjak kaget saat merasakan ada yang menggelung rambutnya yang tergerai bebas. “Astaghfirullah hal adzim, Mas... Kamu ngagetin aku tau,” Bagaimana tidak kaget, ia tinggal di apartemen ini sendiri, jadi saat merasakan ada yang memainkan rambutnya, Maudy langsung kaget. “Kalau lagi masak itu rambutnya di ikat, biar gak ganggu,” Maudy melepas dasinya, lalu mengikatkan dasi itu pada rambut panjang Maudy, “Kamu ngapain masak sih, emang kamu udah mendingan??” Tanya Arya, khawatir. Maudy mengangguk pelan, tak berani men
Tak berselang lama, wanita itu tiba di rumah sakit, Maudy segera menuju area pendaftaran untuk mendaftarkan dirinya. Dengan langkah mantap, ia mengisi formulir dan menyerahkan berkas yang diperlukan. Setelah selesai, Maudy duduk di ruang tunggu. Saat sedang duduk di ruang tunggu, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang duduk di kursi roda. Wajah wanita itu begitu pucat, seolah kehilangan segenap warna. Maudy merasa simpati melihat keadaan wanita itu, apalagi tidak terlihat ada orang disekelilingnya.Maudy memutuskan untuk mendekati wanita itu, karena melihat ingin minum dari botol tapi kesusahan.“Biar aku bantu bukain, Kak.” Ucap Maudy, mengambil botol minum dari tangan wanita tersebut.Wanita itu menatap Maudy dengan sorot mata lelah, namun senyuman kecil terukir di bibirnya, “Terima kasih, maaf merepotkan,” jawab wanita itu pelan.Setelah berhasil membuka botol minum tersebut, Maudy meletakkan sedotan agar wanita itu mudah untuk meminumnya.“Kakak sendirian?” Tanyanya ingin