“Ingat, Maudy, kamu hanya istri simpananku! Jadi jangan pernah menghubungi atau mencariku! Jika aku membutuhkanmu, aku sendiri yang akan datang ke apartemen ini, dan jika kita bertemu di luar, anggap kita tak pernah saling kenal!” Ucap Arya dengan tegas sambil melepas jas pengantinnya, lalu meninggalkan Maudy yang terduduk lesu di ranjang apartemen.
Maudy merasa pikirannya kosong, belum bisa memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Awalnya ia datang ke Jakarta untuk bekerja di perusahaan Pamannya, namun tak disangka setelah seminggu di sana, ia malah dipaksa menikah dengan seorang pria yang telah memiliki istri. “Kenapa semua ini harus terjadi?” Gumam Maudy dengan suara lemah, merenungkan keadaan yang begitu rumit dan menyakitkan baginya. Arya sendiri memang telah menikah sebelumnya, namun setelah tiga bulan pernikahan, istrinya mengalami penyakit hipotiroidisme. Dimana tubuhnya selalu terasa lemah, dan semakin lama, gairah dalam hubungan mereka pun memudar. Mereka telah mencoba berbagai cara, dari pengobatan di dalam negeri hingga ke luar negeri, namun hasilnya tetap nihil. Setelah tiga tahun menahan hasratnya, Arya akhirnya memutuskan untuk menikah lagi secara diam-diam. Meskipun Jasmine-istri pertamanya, sebenarnya tidak keberatan dengan keputusan pria itu jika ingin menikah lagi. Namun Arya memilih untuk merahasiakan pernikahannya dengan Maudy, demi menjaga perasaan Jasmine. Karena dia tahu, meskipun Jasmine berkata bahwa dia tak keberatan, tapi wanita mana yang mau dimadu. Setelah sepuluh menit kemudian, Arya akhirnya keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang menutupi area bawahnya. “Sekarang kamu mandi, setelah itu lakukan tugas pertamamu sebagai seorang istri!” Titahnya. Maudy, dengan hati yang berat, tak bisa menolak perintah itu. Langkahnya gemetar saat ia memasuki kamar mandi. Setelah pintu terkunci rapat, dia menatap pantulan dirinya di cermin, meratapi nasib yang tak pernah diinginkannya. “Ya Allah, mengapa harus begini? Aku tak ingin menjadi istri kedua, aku juga tak ingin menjadi penyebab luka bagi siapapun,” Lirih Maudy. Air mata hangat mulai mengalir tak terbendung, membasahi pipinya yang putih mulus. Dengan tangan gemetar, Maudy mulai melepaskan pakaian yang menempel erat pada tubuhnya, sementara air shower turun dengan perlahan membasahi tubuh wanita itu. Maudy berdiri di bawah aliran air, berharap kegelisahan dan kepedihan yang merasuk di dalam jiwanya dapat terbawa pergi oleh guyuran air yang dingin. Setelah selesai mandi, Maudy mengambil bathrobe yang sudah tersedia, lalu memakainya dengan hati-hati. Di dalam ruangan itu, ia merasa seperti berada dalam pusaran emosi yang tak terduga. Rasa ragu mulai menghantui pikirannya, dia merasa belum siap jika harus melayani Arya, meskipun mereka sudah resmi menjadi suami istri. Saat Maudy berdiri di depan pintu, langkah kaki Arya yang semakin dekat terdengar seperti dentuman guntur di telinganya. Detak jantungnya semakin cepat berdegup, mengimbangi ketegangan yang menyelimuti udara. Tiba-tiba, dentuman keras di pintu membuat Maudy terlonjak kaget. Suara keras Arya yang penuh urgensi memecah keheningan, “Maudy, cepat keluar! Aku tidak punya banyak waktu!” “I... Iya, Mas.” Saat Maudy melangkah keluar dari kamar mandi, Arya tak bisa menahan diri untuk tidak terpesona oleh kecantikan wanita yang baru saja dinikahinya. Maudy tampil begitu seksi hanya mengenakan bathrobe yang sepangkal paha, memperlihatkan kulit yang begitu halus dan mulus, rambutnya yang biasanya tertutup hijab kini tergerai indah menambah pesona yang memikat. Setiap lekukan tubuh Maudy terlihat begitu sempurna, menampilkan keindahan alami yang tak terbantahkan. “Kemari,” Pinta Arya dengan suara serak sambil mengulurkan tangannya, meminta Maudy untuk mendekat. Sebagai seorang pria yang menahan hasratnya hampir tiga tahun, jujur saja Arya juga merasa berdebar. Karena selama ini dia hanya satu kamar dengan Jasmine-istri pertama. Namun sore ini dia malah bersama dengan istri keduanya. Dengan hati yang berdebar kencang, Maudy merasa ragu namun juga tidak bisa menolak permintaan pria itu. Langkahnya terasa berat, seakan waktu berhenti sejenak di saat-saat seperti ini. Maudy berjalan secara perlahan, setiap langkahnya terasa begitu cemas. Saat akhirnya ia berdiri tepat di hadapan Arya, wajahnya hanya mampu menunduk tanpa berani menatap langsung ke arah mata pria itu. Ekspresi wajahnya mencerminkan perasaan gugup, seolah-olah mencoba menyembunyikan kelemahan dan ketidakmampuannya untuk menghadapi situasi yang begitu penuh dengan nafsu. “Kamu yakin masih perawan?” Tanya Arya sambil menggenggam tangan Maudy, perlahan membawanya ke arah ranjang. Raut wajah pria itu terlihat sudah tidak sabar, bahkan Maudy sendiri bisa mendengar suara nafasnya yang mulai tidak beraturan. “I-Iya, Mas,” Jawab Maudy dengan suara bergetar, merasakan perasaan campur aduk yang menyelimuti dirinya. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa gugup dan takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Apa kamu pernah berciuman sebelumnya?” Arya menatap Maudy intens, perlahan mulai membuka bathrobe yang dipakai wanita itu. Membuat detak jantung Maudy semakin kencang, ketika jemari suaminya terasa menyentuh tubuhnya dari pinggang hingga ke punggung, Maudy hanya bisa memejamkan mata dengan tangan mengepal kuat. “Be... Belum, Mas,” Bisik Maudy lirih. “Bagus,” Arya tersenyum puas, matanya terlihat bergelora saat ia memegang dagu Maudy dengan lembut dan mendekatkan wajahnya. “Ingat, Maudy! Sekarang kamu adalah istriku. Hanya aku yang berhak menyentuhmu,” Tegasnya. Dengan gerakan pelan, Arya mulai mencium bibir Maudy, mengeksplorasi betapa manis dan kenyalnya bibir istri keduanya itu. Gelombang kehangatan memenuhi ruangan, menyelimuti mereka berdua dalam kenikmatan yang belum pernah Maudy rasakan sebelumnya. Maudy, yang belum pernah melakukan hal tersebut, hanya diam tak berdaya tanpa merespon. Namun, justru hal itu malah memuaskan Arya, karena ia tahu bahwa Maudy memang benar-benar belum pernah merasakan ciuman seperti ini sebelumnya. “Buka bibirmu.” Mendengar perintah itu, Maudy dengan ragu membuka bibirnya. Namun tak lama kemudian, dia merasakan lidah suaminya yang lembut sekaligus dominan menghentak dan menjelajahi setiap sudut mulutnya, menciptakan sensasi yang begitu menggebu dan membius dirinya dalam sebuah hasrat yang meluap. Setengah jam berlalu, Maudy merasakan sensasi yang begitu intens di dalam dirinya. Perasaan sakit yang mulai menyelinap perlahan membuatnya hampir tak tertahankan. Air mata mulai mengalir di pipi yang halus, mencerminkan bagaimana rasa sakit yang dia rasakan. “Sakit, Mas,” Rintih Maudy dengan suara gemetar, mencoba menahan rasa sakit yang melanda tubuhnya.Maudy masih duduk di sudut kamar, terbenam dalam halaman-halaman buku peninggalan Jasmine yang penuh dengan catatan dan tulisan tangan.Setiap lembar seolah menceritakan kembali kisah hidup yang tertinggal, menghubungkannya dengan apa yang terjadi.la mengernyitkan kening, wajahnya tampak bingung.‘Kalau Kak Jasmine tau mamanya Mas Arya masih hidup, kenapa dia gak bilang sama Mas Arya? Kenapa dia menyimpan semua kebenaran ini sendiri?’Maudy masih ingat dimana, Arya pernah mengatakan bahwa Ibu pria itu telah tiada. Berarti suaminya memang tidak tahu bahwa Ibu kandungnya sebenarnya masih hidup.‘Kenapa banyak teka-teki seperti ini ya?’ pikirnya, frustasi.Maudy merasa seakan berada di tengah labirin misteri yang membingungkan, dan ia tahu harus memilih langkah berikutnya dengan hati-hati. ‘Aku harus kasih tau Mas Arya atau menyelidiki ini semua dulu ya?’ la menatap halaman-halaman yang tidak hanya berisi kata-kata, tetapi juga rahasia yang bisa mengubah hidup seseorang.Maudy menutup b
“Ka-Karena Azzam bisa cepat istirahat,” Jawab Arya dengan tersenyum kaku, sambil berharap putranya tidak bertanya lebih jauh.Azzam akhirnya hanya mengangguk, seolah menerima alasan itu tanpa terlalu memikirkannya Iagi.“Yuk, sekarang tidur, biar besok pagi Azzam bangun, badannya udah segar!” Maudy menghampiri mereka dan merapikan selimut di atas ranjang.Tidak ingin protes, Azzam naik ke tempat tidur di antara kedua orang tuanya. Membuat Arya sedikit tidak suka.Begitu Azzam naik ke tempat tidur, Arya duduk di tepi ranjang sambil memandangi istri dan anaknya. Namun, ada ide yang tiba-tiba terlintas di kepalanya.“Gimana kalau Mama tidurnya di tengah?” Ucap Arya santai. Di balik kalimatnya, jelas ada harapan tersembunyi, jika Maudy tidur di tengah, ia bisa dengan leluasa memeluk istrinya sepanjang malam, sesuatu yang sangat diinginkannya.Azzam langsung mengerutkan kening, ekspresi bingung muncul di wajahnya. “Terus, Azzam tidulnya di mana?” Tanyanya polos, matanya menatap bergantian
Pukul 17.00 wib,Setelah seharian bekerja di kantor, Arya memutuskan untuk mengunjungi makam Jasmine. Hati Arya terasa berat, mengingat kembali kenangan indah yang pernah terukir bersama mendiang istrinya.“Nggak apa-apa kan Maudy, kita ke makam Jasmine dulu?” Tanya Arya hati-hati.“Nggak apa-apa, Mas. Yuk cepetan keburu malem.” Jawab Maudy santai, sama sekali tak keberatan.Sesampainya di makam, suasana sekeliling terasa tenang. Arya melangkah mendekat, menatap nisan dengan penuh rasa rindu.“Sini, Maudy. Di samping aku!” Ucap Arya sambil menepuk tempat di sampingnya.“Iya, Mas...” Mereka berdua kemudian membaca tahlil, suara mereka bersatu dalam doa, mengharapkan agar Jasmine diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Setiap kata yang terucap membawa rasa tenang, menyampaikan semua yang tak terucap selama ini.Setelah selesai, Arya mengambil bunga yang mereka bawa dan mulai menaburkannya di atas makam. “Kamu tau, Maudy... Sebelum Jasmine meninggal, dia sempat berpesan agar aku membahagi
Aurora tersentak. Ia mencoba membuka suara, meskipun ragu. “Mas... Aku nggak ganggu dia! Dia duluan yang siram aku dengan kuah panas!” Jawabnya membela diri.Arya mendekat, langkahnya mantap dan dingin. “Istriku bukan wanita kasar seperti kamu. Dia nggak mungkin melakukan hal seperti itu!” Bentaknya lagi.“Mas, dia itu ular! Dia pura-pura di depan kamu! Dia_”“DIAMM!!” Bentak Arya, menyela pembicaraan Aurora dengan suara yang bergema, membuat Aurora ersentak mundur. “Kalau kamu berani sentuh istriku lagi, aku akan pastikan Papamu dipecat dari perusahaan ini!!” Tegas Arya, matanya yang tajam tak lepas dari menatap Aurora.Aurora terdiam, kata-kata Arya menghantamnya seperti pukulan keras. Napasnya tercekat, wajahnya memucat. Tak ada lagi yang bisa ia katakan.Arya kemudian berbalik, memeluk Maudy erat-erat, dan melangkah menuju lift tanpa menoleh ke belakang. Suasana tegang masih menyelimuti ruangan, tetapi Aurora tak mampu bergerak atau bersuara.Di pelukan Arya, Maudy menyandarkan k
“Bukannya ini almarhum Mama kandungnya Mas Arya? Jadi mereka saling kenal?” Gumam Maudy sambil mencerna setiap detail yang muncul di layar. Ia menemukan foto-foto Elizabeth di berbagai acara.Maudy merasa semakin terdesak untuk mengumpulkan informasi. Ia melakukan pencarian lebih dalam, menggunakan teknik-teknik peretasan sederhana untuk mencari data yang lebih pribadi, jika ada.“Kok aku curiga ya sama Mama tirinya Mas Arya? Aku yakin dia juga pasti lagi nyiapin rencana jika aku muncul!”Mengingat bagaimana kejamnya Elizabeth pada Jasmine saja sudah menjelaskan bagaimana jahatnya wanita itu.“Apa meninggalnya Mama Mas Arya juga ada campur tangan Mama tirinya ya?” Gumam Maudy lagi, menebak.Saat Maudy menyelidiki lebih dalam mengenai hubungan Elizabeth dengan orang-orang terdekatnya, ia mendapati pesan chat antara Elizabeth dan Aurora. Namun sebelum membukanya, tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Arya masuk ke dalam.“Lagi cek pabrik ya?” Tanya Arya, meletakkan tas kerjanya, lalu mengh
Maudy tengah sibuk memasak di dapur, matanya fokus pada panci yang mengepul di depan. Namun, tiba-tiba ia merasakan sepasang lengan kuat melingkari pinggangnya dari belakang.Arya memeluknya erat, tubuh pria itu yang masih basah sehabis mandi menyentuh punggung Maudy. Kehangatan yang tiba-tiba, membuatnya terdiam sejenak, tubuhnya membeku karena terkejut.“Mas...” Ucap Maudy, menoleh sedikit, matanya membelalak saat menyadari Arya hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggang. “Kamu cuma pakai itu?!”Arya tersenyum penuh arti dan semakin mempererat pelukan. “Aku gak tahan jauh dari kamu,” bisiknya di telinga Maudy, suaranya rendah dan menggoda. Ia menunduk sedikit, menanamkan ciuman kecil di leher istrinya.audy menahan napas, wajah bersemu. Tangannya yang memegang spatula bergetar sedikit. “Mas... Aku lagi masak. Kalau begini, nanti makanannya gosong!” Ucapnya.“Nggak apa-apa, nanti bisa masak lagi... Atau pesen aja!” Jawab Arya, ciumannya semakin menyusuri tengkuk Maudy. Sudah