MasukLampu sorot itu terasa panas di kulitnya, kontras dengan dingin yang merambat di ujung jemarinya. Di tengah panggung Grand Hall yang megah, Elena Wijaya duduk sendirian di depan sebuah grand piano Steinway hitam yang mengkilap.
Dunia di sekelilingnya gelap gulita, hanya menyisakan dirinya dan instrumen itu dalam lingkaran cahaya putih yang menyilaukan. Hening. Ribuan pasang mata menatap dari kegelapan, menahan napas, menunggu not pertama memecah kebisuan. Elena menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan aroma kayu tua, vernis, dan debu beludru yang khas dari gedung teater tua. Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan dunia nyata—tagihan listrik yang menunggak, ancaman pemilik apartemen, dan wajah ayahnya yang selalu tampak gelisah—luruh dari benaknya. Di sini, di atas bangku piano ini, dia bukan Elena si gadis miskin yang berjuang melunasi utang ayahnya. Di sini, dia adalah ratu. Tangannya terangkat, lalu mendarat dengan tegas di atas tuts. Rachmaninoff. Prelude in C Sharp Minor. Tiga not pembuka yang berat dan menggelegar menghantam udara, seperti lonceng kematian yang berbunyi dari kejauhan. Bunyi itu bergaung, memantul di dinding-dinding akustik, menciptakan getaran yang merambat hingga ke tulang rusuk para penonton. Musik itu gelap, penuh amarah, dan menuntut perhatian penuh. Jari-jari Elena menari dengan kecepatan yang memusingkan saat tempo lagu meningkat. Ada keputusasaan dalam melodi itu, sesuatu yang sangat dipahami Elena. Setiap tekanan pada tuts adalah pelampiasan dari rasa frustrasi yang dia pendam selama bertahun-tahun. Rasa lelah menjadi tulang punggung keluarga di usia dua puluh tiga tahun, rasa takut akan masa depan yang suram, dan rasa sepi yang tak pernah benar-benar hilang sejak ibunya meninggal. Keringat dingin menetes di pelipisnya, menelusuri rahangnya yang tegas. Gaun hitam sederhana yang dia kenakan—hasil jahitan tangan karena dia tak mampu membeli gaun desainer—membalut tubuh rampingnya dengan anggun. Rambut hitam panjangnya yang digelung mulai sedikit berantakan seiring intensitas permainannya. Saat dia mencapai bagian fortissimo, Elena tidak lagi sekadar bermain piano. Dia sedang bertarung. Dia memukul tuts itu dengan seluruh tenaganya, menyalurkan kemarahan yang membakar dadanya. Musik itu menjerit, memohon, dan akhirnya, melambat menuju keheningan yang tak terelakkan. Not terakhir bergema, menggantung di udara selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Kemudian, tepuk tangan meledak. Suara gemuruh itu menarik Elena kembali ke realitas. Dia berdiri, lututnya sedikit gemetar, lalu membungkuk hormat. Senyum tipis, terlatih dan sopan, terukir di bibirnya. Namun, matanya tidak tersenyum. Matanya, yang berwarna cokelat gelap seperti kopi pahit, menyapu lautan penonton dengan tatapan kosong. Dia tidak mencari pujian. Dia mencari wajah ayahnya. Handry Wijaya berjanji akan datang malam ini. "Kali ini Ayah tidak akan ingkar, El. Ayah sudah menang besar kemarin. Ayah akan duduk di barisan depan," begitu katanya tiga hari yang lalu. Elena menyipitkan mata, mencoba menembus silau lampu sorot. Barisan depan dipenuhi oleh para donatur yayasan, kritikus musik berwajah masam, dan beberapa pejabat kota. Kursi nomor 12 di barisan A kosong. Hati Elena mencelos. Kekecewaan itu terasa familiar, seperti teman lama yang datang berkunjung tanpa diundang. Dia menegakkan tubuh, mempertahankan postur anggunnya, lalu berjalan keluar panggung dengan langkah terukur. Begitu dia berada di balik tirai beludru merah yang berat, topengnya runtuh. Bahunya merosot. Suara tepuk tangan di belakangnya terdengar jauh dan asing. "Penampilan yang luar biasa, Elena! Benar-benar... menusuk jiwa." Elena menoleh, mendapati Pak Baskoro, manajer panggung, tersenyum lebar padanya. Pria paruh baya itu menepuk bahunya dengan bangga. "Direktur Konservatorium sangat terkesan. Aku dengar dia sedang mempertimbangkanmu untuk beasiswa master di Vienna." Vienna. Kota impiannya. "Terima kasih, Pak," jawab Elena, suaranya serak. Dia mencoba tersenyum, tapi rasanya kaku. "Apa... apa ada pesan untukku? Atau mungkin seseorang mencariku di lobi?" Pak Baskoro mengerutkan kening, berpikir sejenak. "Tidak ada. Hanya buket bunga dari panitia. Kenapa? Kau menunggu seseorang?" "Ayahku," gumam Elena pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia bilang dia akan datang." Ekspresi Pak Baskoro berubah simpati. Dia tahu reputasi Handry Wijaya—siapa yang tidak tahu di lingkungan ini? Seorang mantan akuntan cerdas yang hancur karena judi dan alkohol setelah kematian istrinya. "Ah... mungkin dia terjebak macet. Hujan deras sekali di luar, Nak." Elena mengangguk, meski dia tahu itu bohong. Ayahnya tidak terjebak macet. Ayahnya mungkin sedang berada di meja hijau, mempertaruhkan uang sewa apartemen mereka, atau lebih buruk lagi, meminjam uang dari orang-orang yang salah. "Mungkin," kata Elena singkat. Dia tidak ingin dikasihani. "Saya permisi ganti baju dulu, Pak." Ruang ganti terasa sempit dan lembap. Cermin rias yang retak di sudut memantulkan wajah Elena yang pucat. Dia menghapus riasan tebalnya dengan kapas kasar, menatap bayangannya sendiri. Cantik, kata orang-orang. Tapi Elena hanya melihat kelelahan di bawah matanya. Dia mengganti gaun hitamnya dengan kemeja flanel kebesaran dan celana jeans usang. Sepatu hak tingginya digantikan oleh sneakers putih yang sudah berubah warna menjadi abu-abu. Dalam sekejap, sang pianis virtuoso lenyap, digantikan oleh seorang gadis biasa yang harus pulang naik bus di tengah badai. Saat dia meraih tasnya, ponselnya bergetar di atas meja rias. Jantung Elena melompat. Dia menyambar benda pipih itu dengan cepat. Layarnya menyala, menampilkan nama 'Ayah' dengan foto Handry yang sedang tersenyum canggung. Kelegaan membanjiri dadanya, tapi segera diikuti oleh amarah. "Di mana Ayah?" sergah Elena begitu menempelkan ponsel ke telinga. Dia tidak memberi kesempatan ayahnya bicara. "Aku menyisakan tiket VIP untuk Ayah. Kursi itu kosong, Yah! Kosong! Apa Ayah tahu betapa malunya aku saat—" "El... dengarkan Ayah." Suara di seberang sana memotong omelannya. Suara itu bukan suara ayahnya yang biasanya—bukan suara penuh alasan atau permintaan maaf yang manis. Itu adalah suara ketakutan murni. Suara seseorang yang sedang menatap laras senapan. Napas Elena tercekat. "Yah? Ada apa?" "Jangan pulang," bisik Handry, suaranya gemetar hebat dan terengah-engah, seolah dia sedang berlari atau bersembunyi di ruang sempit. "Demi Tuhan, Elena, jangan pulang ke apartemen." Darah Elena membeku. Suara hujan yang menghantam atap gedung teater tiba-tiba terdengar sangat jauh. "Apa maksud Ayah? Ayah di mana?" "Mereka menemukanku, El. Aku pikir... aku pikir aku bisa menang kali ini. Aku pikir aku bisa melunasi semuanya." Isak tangis tertahan terdengar di ujung telepon. "Tapi jumlahnya terlalu banyak. Bunganya... mereka gila." "Siapa 'mereka', Yah?" Elena mencengkeram ponselnya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia mulai berjalan mondar-mandir di ruang ganti yang sempit itu. "Black Viper," desis Handry. Nama itu asing bagi Elena, tapi aura bahaya yang menyertainya terasa nyata. "Ayah, tenanglah. Kita bisa lapor polisi. Katakan Ayah di mana, aku akan jemput," kata Elena, berusaha terdengar rasional meski kakinya lemas. "TIDAK! Jangan polisi!" teriak Handry histeris. "Jika ada sirine, mereka akan memotong lidahku! Mereka ada di mana-mana, El. Dengar... lari. Pergi ke rumah Bibi Marni di Bandung. Bawa paspormu. Jangan cari Ayah." "Aku tidak akan meninggalkan Ayah!" BRAK! Suara pintu didobrak terdengar jelas dari sambungan telepon. Diikuti bunyi pecahan kaca dan langkah kaki berat yang berderap. Elena mematung. "Yah? Ayah!" "Katakan selamat tinggal pada putrimu, Handry." Itu bukan suara ayahnya. Itu suara pria lain—dalam, tenang, dan mengerikan. Suara yang terdengar seperti gesekan belati di atas batu. "Tolong... jangan libatkan dia," suara Handry terdengar menjauh, seolah ponselnya telah terlempar atau jatuh. "Dia tidak tahu apa-apa! Ambil saja aku!" "Kami tidak menginginkan nyawamu yang tidak berharga, Pak Tua. Tapi Bos kami mungkin tertarik dengan asetmu yang lain." Suara tawa dingin terdengar, lalu suara pukulan tumpul—daging bertemu daging. Handry menjerit kesakitan. "AYAH!" Elena berteriak di ruang ganti, tidak peduli jika orang di luar mendengarnya. Air mata mulai mengalir deras di pipinya. "JANGAN SAKITI DIA! HALO?! SIAPA KAU?!" Hening sejenak. Lalu, seseorang mengangkat ponsel itu. Elena bisa mendengar napas orang itu—teratur dan tenang. "Elena Wijaya," suara pria asing itu menyapanya. Nada bicaranya santai, seolah sedang memesan kopi, bukan sedang menyiksa seseorang. "Ayahmu membuat kesalahan fatal." "Siapa kau? Apa maumu? Uang? Aku akan membayarnya!" Elena memohon, suaranya pecah. "Aku akan bekerja, aku akan jual semua yang aku punya. Tolong jangan bunuh dia." "Uang?" Pria itu mendengus. "Jumlah yang dicuri ayahmu dari Tuan Kael bukan jumlah yang bisa dibayar dengan main piano di gedung usang ini, Nona Manis." Tuan Kael? "Beri aku waktu," pinta Elena putus asa. "Waktumu habis saat ayahmu memutuskan untuk menggelapkan dana kasino kami," jawab pria itu dingin. "Tapi Tuan Kael adalah pebisnis yang adil. Jika kau ingin ayahmu tetap bernapas... datanglah ke apartemenmu sekarang. Kami menunggu." "Kau bilang jangan pulang tadi..." "Itu kata ayahmu. Kata-kataku adalah hukum sekarang. Datanglah, atau kami akan mengirim ayahmu dalam paket-paket kecil ke alamat konservatoriummu besok pagi." Klik. Sambungan terputus. Elena berdiri mematung, menatap layar ponsel yang kini gelap. Dunia di sekitarnya terasa runtuh. Kakinya lemas, memaksanya berpegangan pada tepi meja rias agar tidak ambruk ke lantai. Dia harus lari. Insting pertamanya meneriakkan itu. Ayahnya menyuruhnya lari ke Bandung. Tapi jika dia lari, ayahnya mati. Potongan tubuh. Paket kecil. Imajinasi mengerikan itu membuat perutnya mual. Elena menelan ludah, rasa empedu naik ke tenggorokannya. Dia menyeka air matanya dengan kasar menggunakan lengan kemejanya. Dia tidak punya pilihan. Elena menyambar tasnya, berlari keluar dari ruang ganti, mengabaikan sapaan bingung beberapa staf panggung yang berpapasan dengannya. Dia menerobos pintu keluar belakang, langsung disambut oleh hujan deras yang mengguyur Jakarta malam itu. Air hujan yang dingin menusuk kulitnya, membasahi pakaiannya dalam sekejap, tapi Elena tidak merasakannya. Dia berlari menuju halte, melompat ke dalam taksi pertama yang lewat tanpa mempedulikan biayanya. "Jalan Cempaka Putih. Cepat, Pak!" perintahnya dengan napas terengah. Di dalam taksi yang melaju menembus kemacetan dan tirai hujan, Elena meremas tangannya sendiri. Dia berdoa pada Tuhan yang sudah lama tidak dia sapa. Selamatkan dia. Ambil apa saja dariku, tapi jangan biarkan dia mati. Apartemen Elena terletak di lantai tiga sebuah gedung tua tanpa lift di pinggiran kota. Biasanya, lingkungan ini ramai oleh pedagang nasi goreng dan anak-anak muda yang nongkrong. Tapi malam ini, jalanan sepi. Hujan telah mengusir semua orang masuk ke dalam rumah. Taksi berhenti. Elena melempar uang lima puluh ribu, tidak menunggu kembalian, dan langsung berlari menaiki tangga beton yang licin. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga telinganya berdenging. Lantai satu. Aman. Lantai dua. Lampu koridor berkedip-kedip mau mati. Lantai tiga. Pintu apartemen nomor 304—rumahnya—terbuka sedikit. Darah Elena berdesir. Dia berhenti sejenak di depan pintu, napasnya tertahan. Tidak ada suara dari dalam. Tidak ada teriakan, tidak ada bentakan. Hanya suara rintik hujan yang menghantam jendela koridor. Dengan tangan gemetar, dia mendorong pintu itu. Engsel pintu berderit pelan, suara yang biasanya tidak dia pedulikan kini terdengar seperti ledakan di telinganya. "Ayah?" panggilnya lirih. Pemandangan di depannya membuat lututnya benar-benar menyerah. Apartemen kecil itu hancur total. Sofa murah mereka terbalik dengan isi busa yang berhamburan keluar. Rak buku—harta paling berharga Elena berisi partitur musik klasik—roboh, kertas-kertas berserakan di lantai yang basah oleh... sesuatu yang berwarna merah. Itu bukan anggur. Baunya anyir. Logam. Darah. "AYAH!" Elena berteriak, rasa takutnya kini berubah menjadi kepanikan total. Dia berlari masuk, kakinya tersandung pecahan vas bunga ibunya. Dia memeriksa kamar tidur ayahnya. Kosong. Kasurnya tercabik-cabik. Lemari pakaian terbuka, isinya diacak-acak seolah mereka mencari sesuatu yang spesifik. Elena berlari ke kamarnya sendiri. Sama hancurnya. Bahkan piano tegak (upright piano) tua miliknya—hadiah ulang tahun ke-17—tuts-tutsnya dihantam hingga patah. Mereka tidak hanya mencari orang. Mereka ingin mengirim pesan. Elena mundur, punggungnya menabrak dinding ruang tamu. Dia merosot ke lantai, di antara pecahan kaca dan kertas partitur yang ternoda darah. Dia sendirian. Mereka sudah pergi. Dan mereka membawa ayahnya. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di atas meja makan yang posisinya sudah miring. Satu-satunya benda yang tampak utuh di ruangan itu. Sebuah kartu hitam. Elena merangkak mendekat, tangannya gemetar hebat saat meraih kartu itu. Kartu itu tebal, terbuat dari bahan mahal, dengan tekstur beludru. Tidak ada nama, tidak ada nomor telepon. Hanya ada gambar seekor ular melilit sebuah pedang, dicetak dengan tinta emas yang mengkilap. Dan di bawahnya, sebuah alamat di kawasan elite Jakarta Selatan, ditulis tangan dengan tinta merah yang masih basah. Penthouse Sky Tower. Datang sendiri sebelum tengah malam. Atau kami kirim kepalanya. Elena melirik jam dinding yang retak di lantai. Pukul 10.30 malam. Dia punya waktu sembilan puluh menit. Sembilan puluh menit untuk menyerahkan diri ke sarang singa. Sembilan puluh menit sebelum hidupnya berubah selamanya. Elena berdiri perlahan. Dia tidak lagi menangis. Air matanya sudah kering, digantikan oleh tekad dingin yang baru pertama kali dia rasakan. Rasa takut itu masih ada, melilit perutnya seperti ular, tapi dia tidak membiarkannya melumpuhkannya. Dia memungut jaket tebal yang tergeletak di lantai, mengenakannya untuk menutupi tubuhnya yang basah kuyup. Dia menatap cermin pecah di dinding, melihat pantulan matanya yang kini tampak lebih gelap, lebih keras. Malam ini, pianis itu mati. Elena memasukkan kartu hitam itu ke saku jeans-nya, lalu melangkah keluar dari apartemen yang hancur itu, menuju kegelapan malam yang menunggunya dengan mulut terbuka lebar.Benda itu terasa dingin di telapak tangan Elena, namun memancarkan kehangatan sejarah yang aneh.Elena duduk di tepi tempat tidur, sinar matahari pagi membanjiri kamarnya, membuat berlian-berlian kecil pada bros perak berbentuk bunga lili itu berkilauan. Bros itu tidak besar, tidak mencolok seperti perhiasan orang kaya baru yang norak. Desainnya kuno, Art Nouveau, dengan lekukan perak yang elegan menyerupai kelopak bunga yang sedang mekar. Logamnya sedikit kusam di bagian lipatan, tanda bahwa benda ini sering disentuh, sering dipegang, mungkin ditenangkan."Terima kasih."Dua kata di kertas kuning itu masih tergeletak di meja nakas. Tulisan tangan Damian—tajam, miring ke kanan, penuh tekanan—seolah menatapnya.Pintu kamar Elena terbuka setelah ketukan singkat. Victor masuk membawa nampan sarapan dan koran pagi yang sudah disetrika (kebiasaan aneh orang kaya lama)."Selamat pagi, Nona," sapa Victor. Wajahnya segar, seolah semalam dia tidak sedang memegang senapan serbu di lobi. "
Pintu itu terkunci. Gerendel besi itu terpasang kokoh. Namun, Elena belum pernah merasa seterbuka dan serentan ini seumur hidupnya.Di dalam kamar tidurnya yang mewah namun menyesakkan, Elena duduk meringkuk di sudut ruangan, di celah sempit antara lemari pakaian dan dinding. Dia memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha membuat tubuhnya sekecil mungkin agar tidak terlihat oleh bahaya yang sedang mengamuk di luar sana.Jam digital di nakas menunjukkan pukul 02.45 dini hari.Sudah lima jam sejak Damian membentaknya untuk masuk. Lima jam sejak Clair de Lune yang damai digantikan oleh dering telepon yang membawa kabar kematian.Selama lima jam itu, Sky Tower tidak lagi menjadi hunian sunyi di atas awan. Tempat ini telah berubah menjadi markas komando perang.Meskipun dinding kamarnya kedap suara, getaran dari aktivitas di luar merembes masuk. Elena bisa merasakan langkah-langkah kaki berat yang berlari di koridor marmer—bukan satu atau dua orang, tapi lusinan. Dia mendengar suara bip t
Bunyi bor listrik yang mendengung tajam memecah keheningan sore di penthouse Sky Tower. Suaranya menyakitkan telinga, menggema di lorong marmer yang biasanya sunyi senyap seperti makam.Elena berdiri di ambang pintu kamarnya, melipat tangan di dada, mengawasi pekerjaan itu dengan tatapan kosong.Seorang teknisi bertubuh kekar, mengenakan jumpsuit abu-abu tanpa logo perusahaan, sedang melubangi pintu kayu mahoni kamarnya yang tebal. Serbuk kayu berjatuhan ke karpet mahal. Di sebelahnya, Victor berdiri tegak seperti patung penjaga, mengawasi setiap gerakan teknisi itu dengan mata elang."Besi baja padat, silinder ganda," jelas Victor tanpa diminta, suaranya berusaha menyaingi bunyi bor. "Tidak bisa dibobol dari luar tanpa alat peledak atau kunci induk elektronik yang hanya dipegang oleh saya dan sistem keamanan pusat. Tuan Kael sendiri tidak memegang kunci fisiknya."Elena menatap lubang yang baru terbentuk di pintu itu. "Jadi, ini kandang di dalam kandang?""Ini privasi, Nona," koreksi
Cermin tidak pernah berbohong, dan pagi ini, kejujuran cermin itu terasa brutal.Elena berdiri di kamar mandi pribadinya, jemarinya yang gemetar menyentuh kulit lehernya. Di sana, tercetak jelas jejak malam neraka yang baru saja ia lewati. Kulitnya yang putih pucat kini dinodai oleh warna ungu kebiruan dan merah padam. Bentuknya bukan sekadar memar acak; itu adalah cetakan jari. Empat di satu sisi, satu jempol di sisi lain.Tanda cengkeraman.Setiap kali Elena menelan ludah, rasa sakit yang tajam menjalar hingga ke rahangnya, mengingatkannya betapa dekatnya ia dengan kematian beberapa jam yang lalu.Dia masih hidup. Jantungnya masih berdetak, meski iramanya kacau. Namun, bayangan Damian—mata yang melebar tanpa pupil, gigi yang gemeretuk, dan teriakan *"Mama"* yang memilukan—terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.Elena mundur dari cermin, menarik kerah piyama sutranya tinggi-tinggi untuk menutupi tanda itu. Dia merasa mual. Bukan hanya karena rasa sakit fisik, tapi karena ke
Air dingin itu membasuh wajahnya, namun tidak bisa membasuh rasa panas yang tertinggal di bahunya. Di depan cermin kamar mandi tamu yang mewah—berlapis marmer hitam dengan keran emas—Elena menatap pantulan dirinya sendiri.Dia masih Elena. Matanya masih cokelat gelap, hidungnya masih sama, bibirnya masih miliknya. Namun, ada sesuatu yang redup di dalam sana. Cahaya perlawanan yang biasanya menyala terang kini berkedip-kedip, terancam padam oleh tiupan angin dingin yang dibawa oleh Damian Kael.Jejak tangan pria itu di bahunya terasa seperti stempel kepemilikan. Damian tidak memukulnya, tidak melukainya secara fisik, namun cara pria itu "memainkannya" di depan piano tadi lebih merusak daripada tamparan. Damian telah mengambil satu-satunya tempat perlindungan Elena—musiknya—dan mengubahnya menjadi arena dominasi.Elena mengeringkan wajahnya dengan handuk tangan yang begitu tebal dan lembut hingga terasa seperti selimut. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yan
di Sky Tower memiliki berat jenisnya sendiri.Itu bukan jenis keheningan damai yang biasa Elena temukan di perpustakaan tua kampusnya, atau keheningan khusyuk di dalam gereja sebelum misa dimulai. Keheningan di tempat ini bersifat menekan, seolah oksigen di udara dipadatkan secara artifisial, membuat setiap tarikan napas terasa seperti perjuangan kecil.Setelah Victor pergi dan pintu tertutup, Elena berdiri mematung di tengah ruang tamu penthouse yang luas itu. Ponsel hitam dengan satu kontak bernama "My Owner" itu terasa panas di telapak tangannya, seolah benda itu radioaktif. Dia ingin melemparnya. Dia ingin menjerit hingga kaca-kaca tebal itu retak. Namun, insting bertahan hidupnya—suara kecil di kepalanya yang terdengar seperti suara almarhum ibunya—memintanya untuk tetap waras.Jangan bodoh, El. Kau tidak bisa melawan ombak dengan meninju air. Kau harus belajar berenang.Elena memasukkan ponsel itu ke saku gaun sutra cream-nya. Dia menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan







