Beranda / Mafia / Jerat Sang Iblis / Bab 3: Sangkar Kaca

Share

Bab 3: Sangkar Kaca

Penulis: anakkampungsaja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-30 23:03:39

Kata-kata itu menggantung di udara, dingin dan berat, seperti kabut yang menyelimuti puncak gedung pencakar langit ini. "Selamat datang di neraka."

Damian tidak menunggu jawaban. Dia tidak menunggu air mata Elena, atau permohonan susulan, atau bahkan anggukan patuh. Bagi Damian Kael, kesepakatan sudah terjadi saat kata "ya" keluar dari bibir Elena. Transaksi selesai. Barang sudah dibeli.

Pria itu berbalik, punggungnya yang lebar memunggungi Elena seolah kehadirannya tidak lagi menarik minatnya. Dia berjalan menuju dinding kaca yang menghadap ke arah kota yang masih diamuk badai, menyesap sisa whisky di gelasnya dengan gestur santai yang menjengkelkan.

Elena masih berdiri di tempatnya, tubuhnya gemetar bukan lagi karena kedinginan sisa hujan, tapi karena adrenalin yang mulai surut, meninggalkan rasa lelah yang menghantam tulang-tulangnya. Dia merasa kosong. Seolah jiwanya baru saja dicabut paksa dan diserahkan ke tangan iblis yang kini berdiri memandang kilat di kejauhan.

"Victor," panggil Damian tanpa menoleh. Suaranya datar, tanpa emosi.

"Ya, Tuan," sahut Victor yang muncul entah dari mana, langkahnya senyap seperti hantu.

"Bawa dia ke Sayap Timur. Pastikan dia dibersihkan. Dia bau sampah dan hujan."

Wajah Elena memanas. Rasa malu menusuk dadanya. Dia menunduk melihat pakaiannya—kemeja flanel basah, jeans kotor yang bernoda lumpur, dan sepatu kets yang meninggalkan jejak air di karpet mahal itu. Di tempat yang berkilau dan steril ini, dia memang terlihat seperti sampah.

"Mari, Nona Wijaya," kata Victor. Nada suaranya sopan, tapi matanya menyiratkan ketegasan yang tidak bisa dibantah. "Saya akan mengantar Anda ke kamar Anda."

Elena melirik punggung Damian satu kali lagi, berharap pria itu setidaknya menoleh. Mungkin memberikan sedikit jaminan tentang ayahnya. Tapi Damian tetap diam, berdiri tegak seperti patung pualam yang tak tersentuh.

Dengan langkah berat, Elena membalikkan badan dan mengikuti Victor.

Mereka berjalan keluar dari ruang utama penthouse, melewati lorong panjang yang lantainya dilapisi marmer hitam. Dinding lorong itu dihiasi lampu-lampu temaram yang tersembunyi, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang seolah bergerak mengikuti mereka.

Tidak ada foto di dinding. Tidak ada lukisan pemandangan. Hanya ada karya seni abstrak dari logam yang tajam dan dingin. Tempat ini tidak terasa seperti rumah; ini terasa seperti benteng. Atau mausoleum.

"Ayahku..." suara Elena memecah keheningan langkah kaki mereka. "Apa kau yakin dia... dirawat?"

Victor tidak menghentikan langkahnya. "Tuan Kael adalah pria yang memegang kata-katanya, Nona. Sekejam apa pun kata-kata itu. Jika dia bilang ayah Anda akan tetap hidup, maka ayah Anda akan tetap hidup. Dokter pribadi kami sedang menangani luka-lukanya di lantai dasar saat ini."

"Kapan aku bisa melihatnya?"

Victor berhenti mendadak. Dia berbalik, menatap Elena dengan ekspresi yang sulit diartikan di balik kacamata bingkai peraknya.

"Anda tidak mengerti posisi Anda saat ini, Nona," katanya tenang. "Anda bukan tamu. Anda adalah kolateral. Jaminan. Selama satu tahun ke depan, hak Anda untuk menuntut, bertanya, atau meminta sesuatu telah dicabut, kecuali Tuan Kael mengizinkannya."

Kata-kata itu menampar Elena lebih keras daripada bentakan kasar.

"Jadi aku tahanan?" desis Elena.

"Anda adalah aset," koreksi Victor, lalu kembali berjalan. "Dan aset harus dijaga agar tetap bernilai tinggi."

Mereka sampai di ujung lorong, di depan sebuah pintu ganda berwarna putih gading. Victor membuka pintu itu dan mempersilakan Elena masuk.

Elena melangkah masuk, dan napasnya tertahan.

Kamar itu sangat luas, mungkin tiga kali lipat ukuran kamar tidur apartemennya yang hancur. Desainnya modern dan minimalis, didominasi warna putih, abu-abu, dan perak. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur king size dengan seprai sutra putih terlihat begitu menggoda sekaligus mengintimidasi.

Namun, yang paling menyita perhatian adalah dinding di seberang tempat tidur. Seluruhnya terbuat dari kaca, menampilkan pemandangan Jakarta dari ketinggian lima puluh lantai. Dari sini, lampu-lampu kota terlihat seperti kunang-kunang yang sekarat di bawah hujan deras.

Indah. Dan mengerikan.

Elena berjalan mendekati kaca itu. Dia menempelkan telapak tangannya ke permukaan dingin itu. Di bawah sana, mobil-mobil terlihat sekecil mainan. Jika dia jatuh dari sini, tubuhnya akan hancur bahkan sebelum menyentuh aspal.

"Kaca itu anti-peluru dan anti-pecah, Nona," suara Victor terdengar dari ambang pintu, seolah bisa membaca pikiran gelap Elena. "Jendelanya disegel. Tidak bisa dibuka. Sistem sirkulasi udara diatur secara sentral."

Elena berbalik, menatap Victor dengan tatapan nanar. "Sangkar burung," gumamnya.

"Sangkar emas," koreksi Victor lagi. Dia menunjuk ke sebuah pintu di sisi kiri ruangan. "Kamar mandi ada di sebelah sana. Semua kebutuhan Anda sudah disiapkan di dalam lemari. Pakaian, perlengkapan mandi, semuanya baru."

"Kalian sudah merencanakan ini," tuduh Elena. Matanya menyipit. "Kalian tahu aku akan datang. Pakaian itu... kalian sudah menyiapkannya sebelum aku setuju."

Victor tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduk Elena meremang. "Tuan Kael tidak pernah bermain judi, Nona Wijaya. Dia selalu memastikan dia memegang semua kartu sebelum permainan dimulai. Dia tahu Anda tidak akan membiarkan ayah Anda mati. Anda terlalu... berhati lembut."

Victor membungkuk sedikit, sebuah gestur hormat yang terasa palsu.

"Istirahatlah. Pintu ini tidak dikunci dari luar, tapi saya sarankan Anda tidak berkeliaran. Ada sensor gerak di lorong, dan jika Anda tertangkap berkeliaran tanpa izin di area pribadi Tuan Kael... konsekuensinya tidak akan menyenangkan."

"Apa konsekuensinya?" tantang Elena.

"Anda tidak ingin tahu," jawab Victor. Dia mundur, lalu menutup pintu perlahan.

Klik.

Suara kunci pintu tidak terdengar. Victor benar, pintu itu tidak dikunci. Tapi bagi Elena, suara pintu yang tertutup itu terdengar seperti suara penutup peti mati.

Dia sendirian sekarang.

Keheningan di kamar itu begitu absolut hingga menyakitkan telinga. Tidak ada suara tetangga yang bertengkar, tidak ada suara motor knalpot bising, tidak ada suara televisi dari unit sebelah. Hanya ada suara humming pelan dari pendingin ruangan.

Elena merosot duduk di lantai berkarpet tebal. Kakinya tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Dia memeluk lututnya, membenamkan wajahnya di sana.

Dia ingin menangis, tapi air matanya seolah sudah kering diperas habis di penthouse tadi. Yang tersisa hanyalah rasa takut yang dingin, yang merayap di bawah kulitnya. Dia telah menjual dirinya. Satu tahun. Tiga ratus enam puluh lima hari.

Bagaimana dia bisa bertahan selama itu dengan pria seperti Damian? Pria yang menodongkan pistol ke kepala ayahnya tanpa berkedip?

Elena memaksa dirinya berdiri. Jangan hancur sekarang, El. Jika kau hancur, mereka menang.

Dia berjalan menuju kamar mandi yang ditunjuk Victor.

Kamar mandi itu lebih mirip spa pribadi. Dindingnya dilapisi marmer putih Carrara, dengan bathtub berdiri bebas yang cukup besar untuk dua orang. Ada bilik shower kaca dengan berbagai jenis pancuran.

Elena menatap pantulan dirinya di cermin besar di atas wastafel ganda. Wajahnya pucat pasi, matanya merah dan bengkak, maskaranya luntur membentuk jejak hitam di pipinya. Rambutnya kusut masai. Dia terlihat seperti hantu korban tenggelam.

Dengan gerakan mekanis, dia melepas pakaiannya yang basah dan kotor, melemparnya ke sudut ruangan. Dia masuk ke bawah shower, memutar keran ke posisi paling panas.

Air panas menyembur, menusuk kulitnya yang dingin. Elena mendesis, tapi dia tidak mematikan airnya. Rasa sakit dari air panas itu membuatnya merasa hidup. Dia menggosok kulitnya dengan sabun beraroma vanila dan cendana—aroma yang maskulin dan mahal, mungkin aroma yang sama dengan sabun yang dipakai Damian.

Dia menggosok kulitnya keras-keras, seolah ingin menghapus jejak tangan Damian di dagunya, menghapus memori tentang darah ayahnya, menghapus rasa hinanya malam ini.

Kulitnya memerah, tapi rasa kotor itu tidak mau hilang.

Setelah hampir tiga puluh menit berdiri di bawah guyuran air, Elena keluar. Dia membungkus tubuhnya dengan handuk putih tebal yang sangat lembut.

Dia berjalan ke walk-in closet—lemari pakaian yang bisa dimasuki. Benar kata Victor, lemari itu sudah terisi.

Tapi isinya membuat perut Elena mual.

Tidak ada jeans. Tidak ada kaos oblong. Tidak ada kemeja flanel.

Gantungan baju itu dipenuhi oleh gaun-gaun sutra, dress malam yang elegan, kemeja bahan sifon yang tipis, dan pakaian rumah yang... terbuka. Di laci khusus, berderet pakaian dalam renda dengan harga yang mungkin lebih mahal dari uang makan Elena selama sebulan.

Semuanya dalam ukuran tubuhnya. Pas.

Ini bukan sekadar persiapan. Ini adalah obsesi. Bagaimana Damian tahu ukurannya? Apakah dia sudah diawasi sejak lama? Pikiran itu membuat Elena merasa diawasi bahkan di dalam lemari tertutup ini.

Elena mengambil sepotong nightgown sutra berwarna merah marun. Itu adalah pilihan yang paling sopan di antara yang lain, meski tetap saja memperlihatkan lekuk tubuh dan punggungnya. Dia mengenakannya dengan cepat, merasa asing dengan kain mahal yang menempel di kulitnya.

Dia kembali ke kamar tidur, lampu kota di luar masih berkedip menatapnya.

Elena duduk di tepi tempat tidur king size yang terlalu besar untuknya sendiri. Matanya tertuju pada meja nakas di samping tempat tidur.

Di sana, tergeletak sebuah benda yang tidak seharusnya ada di kamar tamu.

Sebuah buku partitur musik tua. Sampulnya sudah agak sobek, tapi Elena mengenalnya. Itu adalah buku Rachmaninoff miliknya. Buku yang seharusnya ada di apartemennya, di atas pianonya yang hancur.

Tangan Elena gemetar saat meraih buku itu. Bagaimana benda ini bisa ada di sini?

Dia membukanya. Di halaman pertama, di atas notasi Prelude in C Sharp Minor, ada sebuah tulisan tangan dengan tinta hitam yang tegas dan tajam.

"Mainkan dengan benar lain kali. Temponya terlalu cepat di bar ke-12."

Napas Elena tercekat.

Damian ada di sana.

Malam ini. Di gedung teater.

Dia menonton pertunjukan itu. Dia melihat Elena bermain. Dia mendengarkan setiap not.

Kenyataan itu menghantam Elena lebih keras daripada tamparan fisik. Damian tidak hanya menunggu di apartemen. Dia sudah mengintai Elena sejak dari gedung pertunjukan. Dia melihat Elena menunggu ayahnya di kursi kosong itu. Dia melihat harapan Elena hancur.

Pria itu menikmati pertunjukannya. Bukan hanya pertunjukan musiknya, tapi pertunjukan kehancuran hidup Elena.

Elena membanting buku partitur itu ke lantai. Dia mundur hingga punggungnya menabrak headboard tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuhnya seolah kain tipis itu bisa melindunginya dari monster yang menguasai gedung ini.

Dia menatap pintu kamar yang tertutup. Dia tahu Victor bilang pintu itu tidak dikunci, tapi Elena tidak berani menyentuh gagangnya. Di luar sana ada lorong gelap, dan di ujung lorong itu ada sang Iblis yang sedang menunggunya.

Malam ini, di lantai 50, di tengah badai yang mengamuk, Elena menyadari satu hal yang mengerikan.

Dia tidak hanya terjebak karena utang.

Dia terjebak karena dia telah dipilih.

Dan Damian Kael tidak pernah melepaskan apa yang sudah dia klaim sebagai miliknya.

Elena memeluk lututnya, matanya terpaku pada pintu, menunggu. Menunggu pagi yang mungkin tidak akan pernah membawa matahari baginya.

Di luar, kilat menyambar, menerangi ruangan itu sekejap, menciptakan bayangan jeruji di dinding.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Sang Iblis   Bab 10: Pisau Cukur dan Kepercayaan

    ​Benda itu terasa dingin di telapak tangan Elena, namun memancarkan kehangatan sejarah yang aneh.​Elena duduk di tepi tempat tidur, sinar matahari pagi membanjiri kamarnya, membuat berlian-berlian kecil pada bros perak berbentuk bunga lili itu berkilauan. Bros itu tidak besar, tidak mencolok seperti perhiasan orang kaya baru yang norak. Desainnya kuno, Art Nouveau, dengan lekukan perak yang elegan menyerupai kelopak bunga yang sedang mekar. Logamnya sedikit kusam di bagian lipatan, tanda bahwa benda ini sering disentuh, sering dipegang, mungkin ditenangkan.​"Terima kasih."​Dua kata di kertas kuning itu masih tergeletak di meja nakas. Tulisan tangan Damian—tajam, miring ke kanan, penuh tekanan—seolah menatapnya.​Pintu kamar Elena terbuka setelah ketukan singkat. Victor masuk membawa nampan sarapan dan koran pagi yang sudah disetrika (kebiasaan aneh orang kaya lama).​"Selamat pagi, Nona," sapa Victor. Wajahnya segar, seolah semalam dia tidak sedang memegang senapan serbu di lobi. "

  • Jerat Sang Iblis   Bab 9: Malam Para Serigala

    Pintu itu terkunci. Gerendel besi itu terpasang kokoh. Namun, Elena belum pernah merasa seterbuka dan serentan ini seumur hidupnya.Di dalam kamar tidurnya yang mewah namun menyesakkan, Elena duduk meringkuk di sudut ruangan, di celah sempit antara lemari pakaian dan dinding. Dia memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha membuat tubuhnya sekecil mungkin agar tidak terlihat oleh bahaya yang sedang mengamuk di luar sana.Jam digital di nakas menunjukkan pukul 02.45 dini hari.Sudah lima jam sejak Damian membentaknya untuk masuk. Lima jam sejak Clair de Lune yang damai digantikan oleh dering telepon yang membawa kabar kematian.Selama lima jam itu, Sky Tower tidak lagi menjadi hunian sunyi di atas awan. Tempat ini telah berubah menjadi markas komando perang.Meskipun dinding kamarnya kedap suara, getaran dari aktivitas di luar merembes masuk. Elena bisa merasakan langkah-langkah kaki berat yang berlari di koridor marmer—bukan satu atau dua orang, tapi lusinan. Dia mendengar suara bip t

  • Jerat Sang Iblis   Bab 8: Gencatan Senjata

    Bunyi bor listrik yang mendengung tajam memecah keheningan sore di penthouse Sky Tower. Suaranya menyakitkan telinga, menggema di lorong marmer yang biasanya sunyi senyap seperti makam.Elena berdiri di ambang pintu kamarnya, melipat tangan di dada, mengawasi pekerjaan itu dengan tatapan kosong.Seorang teknisi bertubuh kekar, mengenakan jumpsuit abu-abu tanpa logo perusahaan, sedang melubangi pintu kayu mahoni kamarnya yang tebal. Serbuk kayu berjatuhan ke karpet mahal. Di sebelahnya, Victor berdiri tegak seperti patung penjaga, mengawasi setiap gerakan teknisi itu dengan mata elang."Besi baja padat, silinder ganda," jelas Victor tanpa diminta, suaranya berusaha menyaingi bunyi bor. "Tidak bisa dibobol dari luar tanpa alat peledak atau kunci induk elektronik yang hanya dipegang oleh saya dan sistem keamanan pusat. Tuan Kael sendiri tidak memegang kunci fisiknya."Elena menatap lubang yang baru terbentuk di pintu itu. "Jadi, ini kandang di dalam kandang?""Ini privasi, Nona," koreksi

  • Jerat Sang Iblis   Bab 7: Tanda Kepemilikan

    Cermin tidak pernah berbohong, dan pagi ini, kejujuran cermin itu terasa brutal.Elena berdiri di kamar mandi pribadinya, jemarinya yang gemetar menyentuh kulit lehernya. Di sana, tercetak jelas jejak malam neraka yang baru saja ia lewati. Kulitnya yang putih pucat kini dinodai oleh warna ungu kebiruan dan merah padam. Bentuknya bukan sekadar memar acak; itu adalah cetakan jari. Empat di satu sisi, satu jempol di sisi lain.Tanda cengkeraman.Setiap kali Elena menelan ludah, rasa sakit yang tajam menjalar hingga ke rahangnya, mengingatkannya betapa dekatnya ia dengan kematian beberapa jam yang lalu.Dia masih hidup. Jantungnya masih berdetak, meski iramanya kacau. Namun, bayangan Damian—mata yang melebar tanpa pupil, gigi yang gemeretuk, dan teriakan *"Mama"* yang memilukan—terus berputar di kepalanya seperti kaset rusak.Elena mundur dari cermin, menarik kerah piyama sutranya tinggi-tinggi untuk menutupi tanda itu. Dia merasa mual. Bukan hanya karena rasa sakit fisik, tapi karena ke

  • Jerat Sang Iblis   Bab 6: Mimpi Buruk Sang Raja

    Air dingin itu membasuh wajahnya, namun tidak bisa membasuh rasa panas yang tertinggal di bahunya. Di depan cermin kamar mandi tamu yang mewah—berlapis marmer hitam dengan keran emas—Elena menatap pantulan dirinya sendiri.Dia masih Elena. Matanya masih cokelat gelap, hidungnya masih sama, bibirnya masih miliknya. Namun, ada sesuatu yang redup di dalam sana. Cahaya perlawanan yang biasanya menyala terang kini berkedip-kedip, terancam padam oleh tiupan angin dingin yang dibawa oleh Damian Kael.Jejak tangan pria itu di bahunya terasa seperti stempel kepemilikan. Damian tidak memukulnya, tidak melukainya secara fisik, namun cara pria itu "memainkannya" di depan piano tadi lebih merusak daripada tamparan. Damian telah mengambil satu-satunya tempat perlindungan Elena—musiknya—dan mengubahnya menjadi arena dominasi.Elena mengeringkan wajahnya dengan handuk tangan yang begitu tebal dan lembut hingga terasa seperti selimut. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yan

  • Jerat Sang Iblis   Bab 5: Boneka Porselen

    di Sky Tower memiliki berat jenisnya sendiri.Itu bukan jenis keheningan damai yang biasa Elena temukan di perpustakaan tua kampusnya, atau keheningan khusyuk di dalam gereja sebelum misa dimulai. Keheningan di tempat ini bersifat menekan, seolah oksigen di udara dipadatkan secara artifisial, membuat setiap tarikan napas terasa seperti perjuangan kecil.Setelah Victor pergi dan pintu tertutup, Elena berdiri mematung di tengah ruang tamu penthouse yang luas itu. Ponsel hitam dengan satu kontak bernama "My Owner" itu terasa panas di telapak tangannya, seolah benda itu radioaktif. Dia ingin melemparnya. Dia ingin menjerit hingga kaca-kaca tebal itu retak. Namun, insting bertahan hidupnya—suara kecil di kepalanya yang terdengar seperti suara almarhum ibunya—memintanya untuk tetap waras.Jangan bodoh, El. Kau tidak bisa melawan ombak dengan meninju air. Kau harus belajar berenang.Elena memasukkan ponsel itu ke saku gaun sutra cream-nya. Dia menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status