INICIAR SESIÓNLima Tahun Kemudian.Pagi di Kebayoran Baru tidak lagi sunyi.Rumah townhouse tua yang dulu lembap dan suram itu telah direnovasi. Fasadnya tetap mempertahankan gaya kolonial klasik dengan cat putih bersih, namun interiornya telah berubah total. Dinding-dinding penyekat dirobohkan untuk menciptakan ruang terbuka yang hangat, lantai tegel kunci dipoles hingga mengkilap, dan jendela-jendelanya kini dilengkapi kaca anti-peluru yang tersamar sempurna.Di ruang tengah, sebuah piano Yamaha U3 tua—piano yang sama yang dibeli Damian dari pasar loak lima tahun lalu—masih berdiri di sudut kehormatan. Kayunya semakin kusam, namun suaranya tetap hangat dan akrab.Seorang anak laki-laki berusia lima tahun duduk di bangku piano, kakinya menggantung belum menyentuh lantai. Rambut hitamnya tebal, dan matanya... matanya adalah replika sempurna dari mata abu-abu ayahnya. Tajam, cerdas, dan sedikit terlalu serius untuk anak seusianya.Alexander "Alex" Kael.Jari-jari kecilnya menekan tuts dengan
Suara baling-baling helikopter yang membelah udara pagi terdengar seperti musik di telinga Elena.Dia berdiri di balkon kamar medis Benteng Zero, menggendong Alexander yang terlelap dalam selimut tebal. Angin laut menerbangkan rambutnya yang berantakan, tapi dia tidak peduli. Matanya terpaku pada titik hitam di langit yang semakin membesar, mendekat ke landasan pacu pulau itu.Helikopter itu mendarat. Debu berterbangan.Pintu terbuka.Seorang pria turun. Dia masih mengenakan seragam tempur hitamnya, kotor oleh debu dan sisa-sisa malam yang panjang. Jalannya sedikit pincang—mungkin kakinya terkilir saat pendaratan HALO atau pertarungan di kapal—tapi punggungnya tegak.Damian Kael.Dia melepas helm taktisnya, menjinjingnya di satu tangan. Rambutnya kacau, wajahnya ditumbuhi berewok kasar, dan ada luka gores baru di pipinya.Tapi dia hidup.Elena tidak berlari menyambutnya karena dia sedang menggendong bayi. Dia menunggu di pintu balkon, air mata mengalir diam-diam di pipinya.
Ruang kerja Jenderal Hadi di Benteng Zero adalah sebuah museum perang pribadi. Dindingnya dilapisi peta navigasi kuno, lemari pajangan berisi senjata antik dari berbagai konflik dunia, dan kepala binatang buas yang diawetkan—singa, macan, beruang—yang menatap kosong dari dinding dengan mata kaca.Damian duduk di kursi kulit di hadapan meja kerja mahoni besar Hadi. Dia sudah mandi dan berganti pakaian dengan setelan taktis pinjaman (karena pakaiannya penuh darah persalinan).Di atas meja, terbentang peta digital Selat Malaka dan Semenanjung Malaysia yang diproyeksikan dari meja hologram."Ivanov bukan sekadar pedagang senjata, Damian," kata Hadi, menuangkan brandy ke dua gelas kristal. "Dia mantan KGB. Dia punya koneksi di Kremlin, di Triad, dan di kartel Amerika Selatan. Kau sedang mengajak perang separuh dunia hitam.""Aku tidak peduli siapa teman minum kopinya," jawab Damian dingin, mengabaikan gelas brandy yang disodorkan. "Aku hanya peduli di mana dia tidur malam ini."Hadi
Selat Malaka tidak pernah ramah pada malam hari.Speedboat curian itu menghantam ombak setinggi dua meter dengan bunyi BAM yang keras, melemparkan tubuh Elena yang sedang berbaring di kursi belakang ke udara, lalu menghempaskannya kembali ke bantalan kulit yang keras."Argh!" Elena menjerit, tangannya mencengkeram perutnya seolah berusaha menahan bayinya agar tidak jatuh."Bertahanlah!" teriak Damian dari balik kemudi. Wajahnya basah oleh cipratan air laut, matanya menyipit menembus kegelapan, mencari tanda kehidupan di kejauhan. "Lima menit lagi! Aku sudah melihat lampunya!"Elena tidak menjawab. Dia menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Rasa sakit itu datang lagi—bukan lagi kram biasa, melainkan gelombang kontraksi yang meremas rahimnya dengan kekuatan yang melumpuhkan.Air ketubannya sudah pecah sepuluh menit yang lalu, membasahi gaun dan jok kapal. Tidak ada jalan kembali. Bayi ini akan lahir. Sekarang."Damian..." rintih Elena, suaranya hilang ditelan deru mesin 400 te
Tiga Bulan Kemudian.Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, adalah tempat di mana waktu seolah melambat dan berhenti untuk bernapas.Di sini, tidak ada gedung pencakar langit yang menusuk langit, tidak ada suara sirine polisi, dan tidak ada sinyal seluler yang konsisten. Yang ada hanyalah deru ombak Samudera Hindia yang legendaris—ombak setinggi empat meter yang menjadi kiblat bagi para peselancar dunia—dan hutan hujan lebat yang menyembunyikan segala rahasia.Di ujung sebuah teluk terpencil yang jarang dijamah turis, berdiri sebuah bungalow kayu sederhana di atas panggung (stilt house). Atapnya terbuat dari rumbia, dindingnya dari papan kayu kelapa yang kokoh. Di bawah kolong rumah, tergantung sebuah hammock jaring dan beberapa papan selancar tua.Seorang wanita hamil besar sedang duduk di beranda kayu, kakinya menjuntai ke bawah, menikmati angin sore yang sejuk.Elena—kini dikenal oleh penduduk lokal sebagai "Maya"—terlihat sangat berbeda dari Nyonya Kael yang elegan di Jakarta. Ku
Samudera Hindia bukanlah tempat untuk orang yang lemah hati.Berbeda dengan Laut Jawa yang relatif tenang atau perairan kepulauan yang biru jernih, Samudera Hindia adalah monster raksasa yang bernapas lambat namun mematikan. Ombaknya bukan riak, melainkan bukit-bukit air berwarna biru-hitam yang bergulung setinggi tiga meter, menghantam lambung kapal MV Black Pearl tanpa henti.Sudah dua hari mereka berlayar menjauh dari Padang.Di dalam kabin penumpang yang sempit—bekas kamar mualim yang dikosongkan untuk mereka—Elena berbaring di tempat tidur tingkat (bunk bed) yang keras. Wajahnya pucat kehijauan. Setiap kali kapal terangkat oleh ombak lalu jatuh kembali (heaving), perutnya serasa dikocok.Mabuk laut biasa sudah buruk. Mabuk laut saat hamil lima bulan adalah siksaan neraka.Damian duduk di lantai di samping tempat tidur, memegang baskom plastik. Satu tangannya yang lain memegang tangan Elena erat-erat, mengusap punggung tangan istrinya dengan ibu jari."Minumlah," bujuk Dami







