Share

Info Penting

“Oi!” Sam melambaikan tangan ketika melihat Prima memasuki tokonya. Jambangnya masih sama-sama mengesankan seperti dulu. Wajahnya pun tetap terlihat lebih tua daripada umur aslinya.

“Wah keren nih punya toko sendiri,” kata Prima sembari melihat ke sekelilingnya.

“Ah cuma nerusin usaha kakek, ayo duduk-duduk!”

Sam membawa dua buah kursi kayu dari balik etalase dan mereka berdua kemudian duduk di bagian dalam toko menghadap ke jalanan. Setelah semalam bertemu dan bertukar nomor, Prima dengan senang hati mampir di toko kawan lamanya ini.

“Sehat bro?”

“Alhamdulillah sehat.. kayaknya makin kurus aja!”

“Ah masa?” Sam memegang-megang pinggangnya sendiri.

“Hahaha! Enak ya kurus terus, aku ini udah nambah sepuluh kilo sejak lulus dulu!”

“Iya enak sih tapi jadi kurus kan kurang mantep gitu haha, mukamu juga kayaknya makin tua!! hahaha.”

“Halah! hahaha, Jadi gimana, rame toko disini, kayaknya jalanan semakin macet aja ya..”

Sam melirik ke jalan raya. “Ya emang tambah macet sih, tapi sisanya masih sama.. tempatnya, memorinya..”

“Ah lebay! Hahaha,” kata Prima sambil menepuk bahu Sam hingga ia terpental kedepan. “Tapi ia sih, suasananya emang masih sama.. orang-orangnya masih ramah kayak dulu.. masih banyak kaki lima dimana-mana.. mahasiswa pendatang kayak kita juga masih ada dimana-mana..jadi kangen gak sih?”

Sam tertawa renyah, pesona rayuan nostalgia memang seringkali tidak terkalahkan. Berapa lama pun kita sudah melangkah mejauhi waktu. Gambar dan emosi yang tergores disana akan tetap mengikuti dari dekat, menunggu untuk dipanggil kembali. Memori yang melekat permanen di otak kita selalu muncul seketika kapanpun dibahas atau disinggung. Apalagi memori yang menyenangkan..

“Eh ngomong-ngomong aku baru ingat lho..” kata Prima sembari mengusap brewoknya.

“Apa?”

“Kamu ada grup W* anak alumni kita gak?”

“Eh.. enggak.. aku ganti nomor tiga tahun lalu.. dan memori kontaknya hilang semua..”

“Halah.. pantesaaan..”

“Apa sih?”

“Kita bulan depan tanggal 1 ada reuni lho!”

Sam yang sedari tadi bersandar lemas kini menegakkan punggungnya dan mencondongkan badan kedepan seketika. “Serius?”

Prima mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pesan di grup W* alumni kampusnya. Mata Sam berbinar-binar begitu melihat isi undangan reuni yang sepertinya memang sudah fix diadakan tanggal satu nanti.

“Bakalan seru nih..” kata Prima tersenyum lebar sembari mengangkat alisnya pada Sam.

“Apaaa?” Sam pura-pura tak paham maksud kawannya.

“Hahahaha.. ketemu lagi ntar broo! Itu lhooo..ituuuu..”

Sam ikut tertawa mendengar prospek itu untuk terjadi nanti. Itupun kalau mereka bertemu sama sekali. Tak ada jaminan Puspa akan datang kesana bukan?

“Anak-anak yang lain pada ikut?”

“Kebanyakan sih ikut, dateng aja deh nanti pokoknya.”

“Terus ini kamu mau balik lagi ke Jakarta apa gimana?”

Prima menjentikkan jarinya seperti baru mendapatkan wangsit.

“Lupa bilang.. aku lagi ada proyek dua bulan disini, jadi dua bulan kedepan pasti masih disini..”

“Oya?? tinggal dimana ini selama proyek?”

“Hotel Ibis.”

“Enak banget dah..” Sam membayangkan kasur empuk dan ruangan yang adem diberkati oleh AC.

“Halah, tapi maksudku ini lho.. perusahaan tempatku kerja itu kerjasama sama satu perusahaan dari Singapura..”

“Terus? Mau borong barang bekas??” Sam menjentikkan jari meniru Prima.

“Halah bukaaan..”

“Ada dana pinjaman buat usaha kecil kayak punyaku?”

“Halah bukaaan..”

“Terus apaa halah-halah mulu dah..”

“Hehehe.. perwakilan dari Singapura yang ngawasin proyek dua bulan kedepan disini itu namanyaaaa..... Ajeng Puspa Ningtias!”

Mendengar nama kramat itu Sam terdiam membantu diatas kursi kayunya. Ia melirik ke arah Prima yang masih nyengir lebar menunggu reaksi Sam. Tapi jangankan untuk bereaksi, mendengar namanya seperti itu saja sudah membuatnya gugup sampai rasanya tangan kakinya kram.

Tadinya ia menganggap remeh kesempatan untuk bertemu Puspa. Karena tentu saja kesempatan itu kecil sekali.. tadinya.... sekarang?? lain cerita.

“Masih ada rasa ya..” Prima mengusili Sam sembari menusuk-nusuk kakinya dengan telunjuk seperti anak kecil.

Sam melirik lagi ke arah Prima yang sepertinya sangat puas dengan reaksi Sam yang minimalistik namun cukup untuk menandakan ia masih punya perasaan pada Puspa.

“Ah enggak,” Sam mengibaskan tangannya pura-pura menjadi cowok cool.

“Ahahaha!” Prima makin tertawa keras melihat tingkah kawannya ini. “Dari jaman dulu kamu tuh paling enggak bisa nutupin perasaan bro!”

Benarkah Sam bertanya-tanya dalam hati.

Jadi paham kan, Puspa ada disini.. entah dimana.. mungkin lagi jalan-jalan di mall.. mungkin lagi main ke alun-alun.. atau mungkin tiba-tiba mampir kemari??”

“Hahaha.. kalau kemari kayaknya sih enggak..” Sam mengusir imajinasinya andaikan Puspa sampai datang kemari.

Kalau dia sampai mampir kesini aku bakal mati berdiri!

“Atau mau aku kasih aja langsung nomer hp nya?” kata Prima sembari menyodorkan ponselnya.

Sam melotot melihat ponsel Prima seperti sedang memandang benda keramat. Hanya tinggal minta maka ia akan bisa kembali berbicara dengan mantannya..

“Ah enggak-enggak..” Sam menolak sekuat tenaga dan sekuat hati.

“Hahaha.. eh aku harus balik ke hotel, atasanku pengen makan siang yang enak diluar,” kata Prima sembari mengecek jam tangannya.

“Sip.. makasih banyak lho udah mampir kesini.. ini malah belum sempat makan disini.”

“Ah santai.. aku disini masih dua bulan lho.. kita hangout lagi nanti lah.. jangan lupa ada Puspa juga disini dua bulan hehehe.. jangan lupa juga.. nomernya aku punya lho.. hahaha.”

Sam hanya ikut tertawa, padahal di dalam hatinya ia masih berkelahi dengan dirinya satu lagi yang ingin meminta nomornya.

Prima akhirnya pamit dan pria bertubuh tambun itu pergi menggunakan taksi. Sam menawarkannya untuk ia antar saja pakai motor tapi Prima menolak (‘males ah panass’ begitu ia bilang).

Sam kembali duduk di belakang etalase tokonya, Binar sedang sibuk membersihkan sepatu bekas yang baru saja kemarin dibeli online untuk dijual kembali. Sam mengetuk-ngetuk meja kaca etalase dengan jemarinya. Setiap ketukan yang jatuh membuatnya memikirkan ulang soal tawaran Prima.

Apa aku mestinya minta saja nomor telepon puspa? Toh kan sudah lama gak ketemu, jadi hitung-hitung kontak-kontak lagi saja kan...

Tapi tentu saja di satu sisi lain hatinya ia sangat mengerti bahwa jika ia sampai berkomunikasi dengan Puspa, bisa-bisa harapan yang sudah mati hidup kembali seperti zombie dan mengejar-ngejar akal sehatnya sampai ia gila!

Api yang dulu berkobar di dadanya memang sudah mati tapi tak berarti takkan bisa disulut kembali.

Sekilas bayangan gadis itu mampir di mata batinnya. Ia melihat sosok yang sama seperti ia lihat terakhir kali dua belas tahun yang lalu. Rambut sebahu yang selalu diikat, alisnya yang tebal dan tegas, suaranya yang keras, tingkahnya yang seperti anak kecil hiperaktif, dan perhatian yang ia berikan kepada Sam begitu total..

Sejauh ini bagi Sam, ia adalah gadis terbaik yang pernah hinggap di tangkai pohon kehidupannya. Meski sebetulnya ia juga tak pernah memiliki kekasih sebelum Puspa, dan tak juga setelah Puspa.

Hanya dia satu-satunya..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status